Tantangan Penyuluh Agama Islam di Era Reformasi
Oleh
Ust H Hasbullah Ahmad
(Dosen
Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN STS
Jambi)
Kementerian
Agama, khususnya Kanwil Kemenag Provinsi Jambi sebagai aparatur pemerintah
memiliki posisi dan tugas menjadi fasilitator dalam membangun iklim keagamaan
yang kondusif bagi perkembangan masyarakat yang dinamis, progresif, toleran dan
damai di atas dasar nilai keagamaan dan kekayaan budaya yang berkeadaban
(Sudijono, 2000 : 78). Untuk menjabarkan tugas itu, maka Keputusan Menteri
Agama (KMA) Nomor 1 Tahun 2001 telah menggariskan fungsi Kementerian Agama
meliputi empat masalah pokok, yaitu : Pertama, memperlancar pelaksanaan
pembangunan di bidang keagamaan. Kedua, membina dan mengkoordinasikan
pelaksanaan tugas serta administrasi Kementerian. Ketiga, melaksanakan
penelitian dan pengembangan terapan pendidikan dan pelatihan tertentu dalam
rangka mendukung kebijakan di bidang keagamaan. Keempat, melaksanakan
pengawasan fungsional.
Dalam
usaha mengimplementasikan fungsi di atas, maka penyuluhan agama Islam merupakan
salah satu bentuk satuan kegiatan yang memiliki nilai strategis, khususnya
dalam menjalankan fungsi memperlancar pelaksanaan pembangunan di bidang
keagamaan. Kemudian, untuk menjalankan penyuluhan ini, pemerintah telah
melakukan reposisi kedudukan dan fungsi penyuluh, berdasarkan Keputusan
Presiden No. 87 Tahun 1999, yaitu yang menempatkan penyuluh Dalam Keppres itu
disebutkan bahwa Rumpun Keagamaan adalah rumpun jabatan fungsional Pegawai
Negeri Sipil yang tugasnya berkaitan dengan penelitian, peningkatan atau
pengembangan konsep, teori, dan metode operasional serta pelaksanaan kegiatan
teknis yang berhubungan dengan pembinaan rohani dan moral masyarakat sesuai
dengan agama yang dianutnya. Keppres ini kemudian dijabarkan dalam Keputusan
Bersama Menteri Agama dan Kepala Badan Kepegawaian Negara no: 574 tahun 1999
dan no: 178 Tahun 1999 tentang petunjuk pelaksanaan jabatan fungsional Penyuluh
Agama dan Angka Kreditnya.
Jadi, berdasarkan Keppres No: 87/1999 ini, berarti bahwa Penyuluh Agama Islam secara de-jure memiliki kedudukan yang sama dengan jabatan fungsional lainnya, seperti; peneliti, dosen/guru, widyaiswara, dokter, pengawas sekolah, akuntan, pustakawan, penyuluh KB, penyuluh pertanian dan sebagainya (Departemen Agama RI Sekretariat Jenderal Biro Kepegawaian: 1999).
Identifikasi Tantangan Penyuluh dan Penyuluhan
Reposisi penyuluh sampai sekarang telah berjalan selama tiga belas tahun. Dalam proses perjalanan sebuah perbaikan, tentu waktu bisa dibilang masih dalam tahap proses penataan stake holder penyuluhan. Tanpa menafikan usaha-usaha penataan kelembagaan dari berbagai stake holder yang ada, kita melihat ada empat persoalan utama yang masih dihadapi dalam implementasi penyuluhan, yaitu: permasalahan struktural, manajerial, sumber daya penyuluh dan kultural.
Dalam aspek struktural, penyuluhan agama Islam dihadapkan pada sentralisasi kebijakan yang masih terkonsentrasi di tingkat pusat. Akibatnya, secara struktural Bidang Penamas di tingkat Kanwil Kemenag dan apalagi tingkat Kandepag sebagai pihak yang berkompeten langsung mengampu program penyuluhan sampai dan bersentuhan langsung dengan customer (kelompok binaan) memang diberi kesempatan merencanakan program dan mengorganisir sumber daya penyuluh. Namun demikian, kewenangan “final” untuk memutuskan dapat atau tidaknya program penyuluhan itu dilaksanakan, khususnya menyangkut pembiayaannya tetap berada di tingkat pusat. Di samping itu, kemampuan perencanaan program di Bidang Penamas Kanwil Kemenag sendiri masih kurang. Rapat Kerja Daerah setiap tahun yang menjadi forum sangat penting dalam perumusan program di tingkat Kanwil/Kandepag umumnya berjalan sebagai forum “ketok palu” saja terhadap rumusan program yang sudah ada yang diambil dari tahun sebelumnya. Karena itu, Bidang Penamas Kanwil dan Kandepag, dapat diibaratkan masih sebatas sebagai “pekerja” yang belum memiliki kemampuan untuk merumuskan kebijakan-kebijakan strategis dan program-program penyuluhan yang prospektif.
Permasalahan struktural di atas menyebabkan manajerial di tingkat Kanwil dan Kandepag kurang dapat berjalan secara efektif dan antisipatif sesuai dengan tuntutan perkembangan masyarakat. Bahkan, manajerial Bidang Penamas di tingkat Kanwil Depag dan Kandepag lebih cenderung diposisikan diri atau kemungkinan memposisikan diri sebagai “pekerja” pusat atau kepanjangan tangan dari pusat.
Kemudian, sumber daya penyuluh, yaitu Penyuluh Agama Islam (PAI) dalam proses penyuluhan adalah subyek yang menentukan keberhasilan tujuan dan target penyuluhan. Namun demikian, sementara ini sumber daya penyuluh masih juga dihadapkan pada beberapa persoalan.
Pertama, kurangnya pemahaman terhadap berbagai persoalan yang berkaitan dengan penyuluhan. Modal utama PAI dalam melakukan penyuluhan lebih bertumpu pada semangat dakwah dan “perasaan kewajiban” menjalankan tugas sebagai pegawai Kementerian Agama. Sebagian besar penyuluh, sejauh ini belum memahami secara komprehensif mengenai konsep dasar penyuluhan, pendekatan penyuluhan, teknik-teknik penyuluhan dan teori-teori penyuluhan. Daya baca para penyuluh terhadap sumber-sumber utama konsep penyuluhan (atau dalam kajian akademik lebih dikenal dengan istilah konseling) masih lemah. Kemungkinan, malah ada sebagian di antara penyuluh yang belum mengetahui buku-buku atau sumber rujukan apa saja yang harus dibaca untuk memperkaya pemahamannya dan keterampilannya yang dapat mendukung profesinya sebagai penyuluh agama Islam (Islamic counselor). Buku-buku yang bisa menjadi referensi dalam penyuluhan,
Kedua,
lemahnya kemampuan metodologis para penyuluh dalam proses penyuluhan.
Pelaksanaan pembelajaran dalam penyuluhan masih cenderung menggunakan cara-cara
konvensional, yaitu ceramah yang bersifat satu arah. Peserta penyuluhan belum
mampu terlibat secara partisipatoris sehingga forum pembelajaran itu statis dan
monoton. Untuk membantu pemahaman dan kemampuan metodologis ini, sebenarnya
dari Kementerian Agama pusat telah menerbitkan beberapa buku pedoman bagi para
penyuluh. Tetapi, buku-buku pedoman itu lebih banyak berisi petunjuk
teknis-administratif bagi para penyuluh dalam melaksanakan penyuluhan, seperti;
petunjuk teknis jabatan fungsional, pedoman materi bimbingan dan penyuluhan,
pedoman identifikasi potensi wilayah, pedoman identifikasi kebutuhan sasaran,
pedoman penilaian angka kredit, dan sebagainya. Lebih dari itu, di samping
sosialisasi berbagai juklak dan juknis itu belum efektif, para penyuluh sendiri sebagian besar belum membaca pedoman-pedoman itu.
Ketiga, kesempatan pendidikan dan pelatihan bagi para penyuluh yang dilakukan oleh pusat sangat terbatas. Akibatnya, proses pelaksanaan penyuluhan, pendekatan dan kemampuan metodis para penyuluh masih jauh dari memadai sebagai bentuk proses pendidikan (non-formal) yang dapat memberdayakan kesadaran dan pengamalan keislaman khususnya dan kehidupan secara lebih luas pada umumnya.
Karena itu, tanpa menafikan semangat kerja dan perjuangan penyuluh yang kemungkinan ada yang bekerja melampaui batas waktu normal sebagai pegawai, sementara ini posisi dan perannya belum maksimal. PAI sementara ini masih cenderung berfungsi sebagai “tenaga administratif”, misalnya mencari data untuk bahan laporan ke Kanwil Kementerian Provinsi. Kemudian, laporan itu diteruskan dari propinsi ke pusat.
Sementara itu, menurut Kapusdiklat Kemenag Jakarta menyatakan
bahwa aparat Kemenag pada umumnya dan khususnya PAI masih menghadapi persoalan
sikap mental dan pengetahuan serta keterampilan, seperti: 1) budaya kerja
lemah, kurang inisiatif dan lebih banyak menunggu perintah, dan kurang
kesungguhan dalam pekerjaan, 2) pengetahuan dan kesadaran terhadap tugas dan
misi institusi masih kurang, 3) sikap amanah dan saling percaya (trust)
lemah, 4) budaya pamrih berlebihan, 5) orientasi pada pencapaian hasil dalam
pelaksanaan tugas masih kurang, 6) kurang orientasi pada kepuasan jama’ah
sasaran/binaan (customer), akibat kepekaan dan empati terhadap keutuhan stakehorders
yang masih rendah, 7) minat untuk menambah pendidikan formal meningkat, tetapi
belum diikuti kesadaran pemanfaatan pengetahuan baru dalam menjalankan tugas,
8) lebih banyak tenaga yang kurang memiliki keahlian (unskilled), 9)
gagap teknologi, tetapi semangat untuk pengadaan teknologi baru tinggi, dan 10)
pemanfaatan informasi baru dalam pelaksanaan tugas masih rendah.
Kemudian, permasalahan terakhir dalam penyuluhan adalah kultur atau budaya. Dalam masalah budaya ini, ada dua aspek yang menonjol, yaitu budaya internal kepenyuluhan dan budaya masyarakat. Khusus menyangkut budaya kepenyuluhan, sementara ini masih dihadapkan dengan budaya paternalis dan struktural. Komunikasi antara penyuluh dan atasan dibangun berdasarkan pola hubungan yang ketat antara atasan dan bawahan. Para penyuluh diposisikan sebagai pelaksana teknis yang wajib menjalankan apa saja kebijakan atasan dengan dibingkai loyalitas pada atasan, bukan loyalitas pada profesi atau pekerjaan. Sedangkan budaya pada masyarakat, program penyuluhan dihadapkan pada budaya global yang cenderung pragmatis, materialis dan ada kecenderungan kurang memandang penting persoalan agama bagi kehidupan. Masyarakat kita, khususnya masyarakat Islam sebagai sasaran penyuluhan, sekarang ini sedang menghadapi dislokasi dan disorientasi hidup. Mereka gagap menghadapi perkembangan zaman yang ditandai dengan perubahan budaya sebagai akibat dari penemuan dan penerapan berbagai teknologi canggih, khususnya di bidang transportasi, komunikasi dan informasi. Di satu sisi, realitas semacam ini sebenaranya dapat menjadi peluang, tetapi sementara ini masih menjadi tantangan bagi penyuluhan agama. Kesadaran untuk memperdalam agama secara intens dan reguler di kalangan masyarakat masih kurang. Di kalangan anak-anak ataupun remaja, cenderung berkembang anggapan bahwa kalau sudah bisa membaca al-Quran, mereka merasa belajar agama sudah selesai. Demikian juga di kalangan masyarakat, pengajian rutin mingguan, bulanan, seperti; yasinan dan tahlilan, mudzakarah, atau istighasah dapat sebenarnya berjalan. Tetapi, program-program itu lebih bersifat simbolik sebagai agenda ritual yang bersifat pribadi atau massal. Beberapa kegiatan itu belum mampu menggerakkan kesadaran untuk meningkatkan pemahaman, pengamalan dan penghayatan keagamaan yang lebih baik.
Secara detail, beberapa tantangan dan problem penyuluhan yang perlu dicermati secara kritis antara lain sebagai berikut :
1.
Penentuan
program-program penyuluhan masih bersifat sentralistik.
2. Kemampuan perencanaan program-program penyuluhan
yang kreatif, inovatif dan proyektif masih lemah.
3. Pengelolaan sumber daya penyuluh belum efektif.
4. Lemahnya pemahaman para penyuluh terhadap konsep
dasar penyuluhan, pendekatan penyuluhan, teknik-teknik penyuluhan dan
teori-teori penyuluhan.
5. Implementasi pelaksanaan penyuluhan cenderung
bersifat formalistik dan strukturalistik.
6.
Para penyuluh agama
belum memahami secara komprehensif pedoman operasional penyuluhan, misalnya
menyangkut petunjuk teknis jabatan fungsional, materi bimbingan dan penyuluhan,
pedoman identifikasi potensi wilayah, pedoman identifikasi kebutuhan sasaran,
pedoman penilaian angka kredit, dan pedoman-pedoman lainnya.
7.
Metode
pelaksanaan penyuluhan lebih cenderung bersifat konvensional, belum
partisipatif dan transformatif.
8. Belum efektifnya pelaksanaan pelaporan dan
evaluasi program yang dapat menjadi dasar pengembangan program secara
berkelanjutan.
9. Kemampuan penyuluh dalam hal penguasaan teknologi
pendukung masih lemah.
10. Frekuensi dan kesempatan pengembangan dan
pelatihan yang sangat terbatas dan belum efektif.
11. Belum adanya peluang atau kesempatan
pemfasilitasian, khususnya pembiayaan (beasiswa) untuk melanjutkan pendidikan
lebih tinggi.
12. Belum adanya biaya operasional pelaksanaan
penyuluhan di lapangan.
13. Belum dimanfaatkannya perangkat teknologi
informasi dan komunikasi yang memadai untuk mendukung proses penyuluhan.
14. Lemahnya data base seputar kelompok sasaran
penyuluhan.
Tantangan ke depan bagi penyuluh
Beberapa problem di atas, adalah masalah besar yang kemungkinan
kita sulit untuk menjawabnya, darimana harus memulai langkah pembenahannya.
Lepas dari itu, yang terpenting adalah bahwa beberapa persoalan di atas tidak
harus menjadi hambatan dalam menjalankan penyuluhan, tetapi tantangan nyata
yang perlu dicermati dan dikritisi secara kreatif dan antisipatif. Dalam upaya
ini, maka langkah antisipatif dan strategis yang dapat dilakukan mulai dari
sekarang (jangka pendek) adalah memaksimalkan pengelolaan sumber daya penyuluh
secara reguler dan berkelanjutan. Menunggu adanya pembenahan kebijakan dari
pusat adalah pekerjaan yang menghabiskan energi (tetapi mutlak diperlukan),
sementara kemungkinan hasilnya terlalu sulit untuk diprediksikan.
Karena itu, tantangan langsung ke depan bagi penyuluh yang
sebenarnya adalah diri penyuluh itu sendiri. Untuk itu, beberapa
langkah praktis dalam upaya pemberdayaan penyuluh untuk keluar dari
keterkungkungan problem internal kelembagaan penyuluh antara lain sebagai berikut
:
1. Memaksimalkan potensi kreatif penyuluh secara
mandiri
2. Menghilangkan budaya “menunggu dhawuh @ Bae”
dari atasan, tetapi kreatif menerobos peluang-peluang untuk mampu berkarya
secara produktif.
3. Mengefektifkan pengorganisian penyuluh di
ditingkat kabupaten/kota dan wilayah sebagai media yang paling strategis untuk
melakukan proses pemberdayaan penyuluh, misalnya melalui kajian pustaka, kajian
metodologis atau teknologis penyuluhan dan sebagainya.
4. Membuka peluang kerja sama melalui kelompok kerja
di tingkat Kamenag Kabupaten /Kanwil dengan lembaga-lembaga sosial keagamaan
yang konsen dengan program penyuluhan khususnya atau pemberdayaan masyarakat
pada umumnya.
Beberapa
langkah di atas, barangkali masih bersifat normatif. Karena itu, setiap
penyuluh perlu menterjemahkan secara kreatif sesuai dengan potensi dan peluang
yang memungkinkan untuk diterobos baik secara mandiri maupun secara kolektif.
Namun demikian, upaya pembenahan beberapa problem dan tantangan di atas, tentu akan lebih efektif sekiranya kita semua baik atasan maupun bawahan memiliki political will untuk melakukan pembehanan dalam mekanisme kepemimpinannya. Minimal kita mampu menciptakan kondisi yang kompetitif untuk tumbuhnya budaya kerja yang bertanggung jawab, mengedepankan prestasi, transparansi, dan menghargai kreatifitas dan inovasi dari para penyuluh yang dapat memperkaya kualitas layanan proses penyuluhan.
Namun demikian, upaya pembenahan beberapa problem dan tantangan di atas, tentu akan lebih efektif sekiranya kita semua baik atasan maupun bawahan memiliki political will untuk melakukan pembehanan dalam mekanisme kepemimpinannya. Minimal kita mampu menciptakan kondisi yang kompetitif untuk tumbuhnya budaya kerja yang bertanggung jawab, mengedepankan prestasi, transparansi, dan menghargai kreatifitas dan inovasi dari para penyuluh yang dapat memperkaya kualitas layanan proses penyuluhan.
Akhirnya,
semoga tulisan ini menjadi titik awal untuk melakukan kajian lebih intensif
dalam upaya pembenahan penyuluhan secara reguler dan berkelanjutan. Semoga.
Referensi
Arifin (1976), Pokok-pokok pikiran
tentang bimbingan dan penyuluhan agama. Jakarta: Bulan Bintang.
Departemen Agama RI Direktorat Jenderal
Kelembagaan Agama Islam Bagian Proyek Peningkatan Tenaga Keagamaan Penyuluh
Agama Tahun 2002 (2002), Petunjuk teknis jabatan fungsional Penyuluh Agama
Islam, Jakarta,
(Cet. Ke-3).
________, Pedoman identifikasi wilayah
Penyuluh Agama Islam, Jakarta
________, Pedoman identifikasi kebutuhan
sasaran Penyuluh Agama Islam, Jakarta
________, Pedoman identifikasi pembentukan
kelompok sasaran Penyuluh Agama Islam ahli, Jakarta
________, Pedoman penilaian Penyuluh Agama
Islam, Jakarta
________, Pedoman penyusunan laporan
Penyuluh Agama Islam (Panduan tugas Penyuluh Agama Islam), Jakarta
________, Pengembangan materi Penyuluh
Agama Islam, Jakarta
________, Materi bimbingan dan penyuluhan
bagi Penyuluh Agama Islam Ahli, Jakarta
Depertemen Agama RI Direktorat Jendaral
Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji (2000), Himpunan peraturan tentang
jabatan fungsional penyuluh agama dan angka kreditnya, Jakarta.
Hasbullah Ahmad (2011), “Identifikasi
Problem Penyuluhan Agama Islam”, Download dalam situs : www.usthasbullahahmadma.blogspot.com
Romli (2001), Penyuluhan agama
menghadapi tantangan baru, Jakarta:
Bina Rena Pariwara.
Sudijono (2002), “Visi, Misi, Kebijakan
dan Program Keagamaan”, Yogjakarta: Pustaka Pelajar.
Syuhada, Roosdi Ahmad (1988), Bimbingan
dan konseling dalam masyarakat dan pendidikan luar sekolah, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Sebelas Maret.