Senin, 28 November 2011

Corak Tafsir Sosial di Indonesia


Ust Hasbullah Ahmad
Corak Tafsir Sosial di Indonesia*
Dalam karya monumentalnya, Tafsir al-Manar, Muhammad Abduh pernah berwasiat, “Pada hari akhir nanti, Allah tidak akan menanyai kita mengenai pendapat-pendapat para mufassir dan tentang bagaimana mereka memahami al-Qur’an. Tetapi Ia akan menanyakan kepada kita tentang kitab-Nya yang Ia wahyukan untuk membimbing dan mengatur kita.”

Apa yang diinginkan Abduh dengan pernyataan di atas? Menurut penulis, dengan pernyataannya itu, Abduh menginginkan agar tafsir al-Qur’an yang ada selama ini, yang cenderung elitis dan hanya mampu dikonsumsi para ulama profesional, bisa lebih membumi. Tafsir al-Qur’an bisa dikemas dengan bahasa yang lebih praktis. Sehingga masyarakat awam tidak lagi mengerutkan kening ketika membaca kitab tafsir.
Lebih jauh, Abduh menginginkan agar tafsir  bisa mengembalikan fungsi al-Qur’an sebagai kitab petunjuk (hudan li al-nas). Artinya, dalam memaknai al-Qur’an, tafsir harus memosisikan al-Qur’an sebagai kitab yang ‘hidup’. Kitab yang selalu memberikan petunjuk kepada pembacanya dalam menyelesaikan problem hidup keseharian. Tidak memosisikan al-Qur’an sebagai kitab yang ‘mati.’ Sehingga al-Qur’an dikesankan diam seribu bahasa, ketika pembacanya ditimpa berbagai permasalahan hidup. Dalam bahasa Nurcholish Madjid, harus ada dimensi atau unsur kemanusiaan dalam usaha memahami ajaran agama, dalam hal ini memahami al-Qur’an.

Dalam bahasa yang lebih menarik, Dr. Abdul Majid Abdussalam al-Muhtasib mengatakan, “Meng-hermeneutikasi-kan dan mengeluarkannya (al-Qur’an) dari tekstualitasnya agar selaras dengan fenomena-fenomena.” Al-Muhtasib menginginkan al-Qur’an bisa keluar dari konteksnya dan berusaha memberi tanggapan terhadap fenomena yang ada di sekitarnya. Sehingga al-Qur’an tidak diam begitu saja ketika melihat fenomena di sekelilingnya. Tetapi al-Qur’an responsif dan tanggap dalam memecahkan problem sosial-kemasyarakatan. Belakangan ini, usaha-usaha tersebut sudah banyak dilakukan para ilmuwan muslim kontemporer, seperti Mohammed Arkoun, Hassan Hanafi, Fazlur Rahman, Farid Esack, atau Fatima Mernissi. Walaupun usaha-usaha mereka masih banyak dinafikan oleh para ulama tradisionalis yang masih mengedepankan dimensi tekstualitas al-Qur’an.

Kondisi Tafsir Indonesia
Pertanyaannya kemudian adalah, sudahkah tafsir Indonesia sanggup memberikan respon terhadap kondisi umatnya (pembacanya)? Dengan kata lain, sudah adakah dimensi kritik sosial atau dimensi kemanusiaan dalam tafsir Indonesia? Kalau belum, mungkinkah disusun suatu tafsir yang solutif terhadap kondisi sosial-kemasyarakatan Indonesia?

Untuk menjawab pertanyaan yang pertama, marilah melihat sejenak beberapa kitab tafsir yang lahir dari rahim Ibu Pertiwi Nusantara. Dalam membahas perkembangan tafsir Indonesia, penulis lebih menyandarkan pada periodisasi kitab tafsir Indonesia Indal Abror. Selain periodisasi yang dibuat lebih menyeluruh, juga penyajiaanya yang, penulis kira, cukup rinci dan jeli.

Pertama, tafsir pada abad VII atau abad VIII-XV M. Pada dekade ini, di Nusantara belum muncul kitab tafsir. Hal ini disebabkan karena masih bersatunya beberapa dimensi ajaran Islam, seperti syari’ah, ibadah, dan aqidah. Dengan kata lain, masih belum jelasnya pembedaan beberapa dimensi ajaran Islam. Hal ini disebabkan karena agama Islam baru menyentuh dunia Nusantara. Sehingga konsentrasi mereka masih terpusat pada pengamalan ajaran Islam semata. Belum merambah kepada keinginan mengkaji ajaran Islam secara lebih serius.

Baru pada periode kedua, abad XVI-XVIII M, sudah mulai terlihat geliat umat Islam Nusantara dalam mengkaji ajaran Islam, khususnya tafsir. Hal ini bisa dilihat dengan munculnya tafsir karya Abdur Rauf Ali al-Fansuri atau al-Sinkili. Kitab tafsir ini diberi judul Tarjuman al-Mustafid. Kitab tafsir yang merupakan salinan dari kitab Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, ada juga yang mengatakan terjemah dari tafsir al-Jalalain, ini adalah kitab tafsir pertama di Indonesia. Namun menurut kajian yang dilakukan Ishlah Gusmian, tafsir yang pertama kali muncul justeru Tafsir Surah al-Kahfi [18]: 9. Tafsir yang tidak diketahui penulisnya ini muncul lebih awal dari tafsir Tarjuman al-Mustafid, yang muncul pada abad XVII. Tafsir Surat al-Kahfi sendiri muncul pada abad XVI.

Pada periode selanjutnya, abad IX M, muncul ulama kenamaan asal Banten, Imam Muhammad Nawawi al-Bantani. Imam Nawawi menulis sebuah karya tafsir yang cukup monumental. Karya beliau ini berjudul Marh Labib atau lebih dikenal Tafsir Munir li Ma’alim al-Tanzil.

Sejak periode abad XX M sampai sekarang, bermunculanlah beragam kitab tafsir yang ditulis ulama Indonesia dengan berbagai coraknya. Dalam hal ini, Indal Abror membaginya ke dalam tiga periode.
Periode pertama, awal abad XX M sampai tahun 1950-an. Pada periode ini, tafsir ditulis dengan menggunakan metode ijmali (global) atau tarjamah tafsiriyah (tarjamah maknawi). Di antara karya tafsir yang muncul pada periode ini adalah al-Furqan, yang ditulis oleh A. Hassan. Penulisan kitab tafsir ini dimulai tahun 1928, dan selesai tahun 1956. Selain itu, pada tahun 1937 muncul Tafsir al-Qur’an Karim. Tafsir yang ditulis oleh H. A. Halim Hassan, H. Zainal Arifin Abbas, dan Abdurrahman Haitami ini pada mulanya ditulis dalam bentuk majalah 20 halaman, yang terbit tiap bulan. Kedua karya tafsir ini sangat lekat diwarnai oleh kepentingan madzhab. Selain kedua karya tafsir ini, muncul Tafsir Qoer’an Indonesia yang diterbitkan oleh Muhammadiyyah. Karya tafsir yang muncul pada tahun 1932 ini cenderung netral, tidak diwarnai kepentingan madzhab tertentu, seperti dua karya tafsir di atas.

Periode selanjutnya, 1951-1980, karya tafsir Indonesia, dalam penulisannya, memakai metode tahlili (detail). Pada periode ini muncul tafsir yang cukup monumental, yaitu Tafsir al-Azhar. Tafsir yang masih populer sampai saat ini, ditulis oleh Hamka. Tafsir ini ditulis pada saat suasana politik tidak menentu, dimana bahaya komunis sedang marak. Sehingga, karya ini banyak memberikan arahan kepada pembacanya dalam menghadapi aneka permasalahan yang terjadi saat itu.

Pada periode tahun 1980-an sampai tahun 2000, sudah makin banyak karya tafsir yang bermunculan. Pada 
periode ini, penulis tafsir cenderung memakai metode maudlu’i (tematik) dalam menulis karyanya. Di antara karya tafsir pada periode ini adalah tafsir yang ditulis M. Quraish Shihab, yaitu Wawasan al-Qur’an. Secara agak komprehensif, tafsir ini membahas beragam permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat.
Melihat perkembangan tafsir Indonesia di atas, penulis melihat masih sedikit tafsir yang ditulis dengan menyertakan dimensi sosial-kemasyarakatan. Apalagi tafsir yang muncul sebelum dekade 1950-an. Setelah periode ini, sudah mulai ada kitab tafsir yang memasukan dimensi sosial tersebut. Hal ini bisa dilihat dari Tafsir al-Azhar. Selanjutnya, karya tafsir yang lebih banyak mengulas dimensi sosial adalah tafsir yang muncul setelah dekade 1990-an Dalam kajian Islah Gusmian, ada 24 karya tafsir yang muncul pada perode tersebut. Walaupun tidak semuanya, karya tafsir yang banyak memakai metode maudlu’i ini, sudah menunjukkan kecenderungan untuk memasukkan dimensi sosial dalam karya tafsirnya. Dari 24 karya tafsir tersebut di ataranya Ensiklopedi al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci karya Prof. M. Dawam Rahardjo, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudlu’i Pelbagai Persoalan Umat karya Dr. M. Quraish Shihab, MA., Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif al-Qur’an karya Dr. Nasaruddin Umar, MA., Dalam Cahaya al-Qur’an: Tafsir Sosial Politik al-Qur’an karya Syu’bah Asa, dsb.

Membangun Dimensi Sosial Tafsir Indonesia
Melihat kondisi tafsir Indonesia di atas, penulis berkesimpulan, al-Qur’an masih belum memberikan solusi terhadap para pembacanya. Hal ini bisa dilihat dari masih banyaknya karya tafsir di Indonesia yang mengabaikan dimensi sosial-kemasyarakatan. Sehingga karya tafsir hanyalah akumulasi dari paham keagamaan semata. Padahal sejatinya, al-Qur’an, melalui tafsirnya, harus mampu memberikan jalan keluar atau solusi terhadap permasalahan yang dihadapi umatnya.

Mungkinkah menyusun karya tafsir yang banyak mengakomodasi dimensi sosial, dengan kata lain, mungkinkah menulis karya tafsir yang solutif terhadap kondisi umat? Tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Selain karena masih membudayanya kajian al-Qur’an yang hanya menekankan tekstualitasnya saja, juga masih banyaknya umat Islam yang kurang menguasai ilmu-ilmu sosial, yang notabene diperlukan untuk menghubungkan al-Qur’an dengan dimensi sosial.

Walau demikian, jalan ke arah pembentukan dimensi sosial tafsir Indonesia masih terbuka. Dengan merujuk pada al-Manhaj al-Ijtima’i fi al-Tafsir yang digagas Hassan Hanafi, penulis ingin menawarkan beberapa konsep dasar membangun tafsir Indonesia yang berdimensi sosial.

Pertama, dalam menafsirkan al-Qur’an, seorang penafsir hendaknya tidak berangkat dari ruang kosong. Dalam arti, penafsiran berangkat dari kondisi realitas yang membutuhkan solusi. Dalam hal ini, metode induktif lebih cocok digunakan. Karena metode ini berangkat dari kasus-kasus untuk kemudian mencari kesimpulan. Demikian juga tafsir, berawal dari kondisi sosial, dengan berlandaskan al-Qur’an, ditarik sebuah makna yang solutif.

Kedua, dengan begitu, tentu harus ditetapkan tujuan yang jelas dari penafsiran. Seperti sudah ditekankan di atas, tujuan ini tentunya mencari solusi bagi problem sosial yang dihadapi umat. Ketiga, penelusuran terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang dilakukan tentu bukanlah pemaknaan yang parsial dan dangkal. Penelusuran ini harus diarahkan kepada pencarian weltanschaung atau world view al-Qur’an. Dengan begitu, pesan utama al-Qur’an bisa kita raih.

Keempat, penafsiran yang dibangun haruslah sebuah penafsiran yang transformatif. Artinya, pemahaman terhadap al-Qur’an adalah pemahaman yang hidup dan menggerakkan. Bukan pemahaman yang mati dan beku. Sehingga, penafsiran bisa membawa dampak besar dalam perubahan dan perjalanan sejarah.
Semoga ke depan, kita bisa lebih memosisikan al-Qur’an sebagai sebuah kitab suci yang hidup. Kitab suci yang mampu membawa perubahan bagi perjalanan sejarah umat manusia. Sehingga cita-cita yang pernah ditegaskan Rasulullah Muhammad, agar menjadikan hari-hari kita semakin membaik dari waktu ke waktu, dapat terlaksana. [taken from : (atthidayat.wordpress.com)]


DAFTAR PUSTAKA

Abror, Indal, “Potret Kronologis Tafsir Indonesia”, ESENSIA, Vol. 3, No. 2, Juli 2002.

Federspiel, Howard M. Kajian al-Qur’an di Indonesia: dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab, terj. Drs. Tajul Arifin, MA. Bandung: Mizan, 1996.

Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutika hingga Ideologi. Jakarta: Teraju, 2003.

Jansen, J. J. G. Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern, terj. Hairussalim, dkk. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997.

Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan. Jakarta: Paramadina, 2000.

al-Muhtasib, Abdul Majid Abdussalam. Visi dan Paradigma Tafsir al-Qur’an Kontemporer, terj. Moh. Maghfur Wachid. Bangil: al-Izzah, 1997.

Mustaqim, Abdul. Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran al-Qur’an Periode Klasik hingga Kontemporer. Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003.

Mustaqim, Abdul dan Syahiron Syamsudin (Ed.). Studi al-Qur’an Kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002.

Minggu, 27 November 2011

PENGEMBANGAN WAWASAN MULTIKULTURAL


 PENGEMBANGAN WAWASAN MULTIKULTURAL AGAMA
DI KALANGAN MAJELIS TAKLIM*
Ust Hasbullah Ahmad
1.      Latar belakang
Salah satu agenda besar kehidupan berbangsa dan bernegara adalah menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dan membangun kesejahteraan hidup bersama seluruh warga negara dan ummat beragama. Hambatan yang cukup berat untuk mewujudkan ke arah keutuhan dan kesejahteraan adalah masalah kerukunan nasional, termasuk didalamnya hubungan antar agama dan kerukunan hidup umat beragama. Permasalah ini semakin krusial karena terdapat serangkaian  kondisi sosial yang menyuburkan konflik, sehingga terganggu kebersamaan dalam membangun negeri ini. Demikian pula kebanggaan terhadap kerukunan dirasakan selama bertahun-tahun yang mengalami dekradasi, bahkan menimbulkan kecemasan terjadinya disintegrasi bangsa.
      Keberagaman adalah ciri khas Indonesia. Indonesia, bukanlah bangunan negara yang tunggal. Dia terdiri dari beragam suku, agama, ras dan golongan. Sehingga, sejatinya Indonesia adalah negara multikultur yang dikenal dengan semoyan filosofi nasionalnya adalah Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu jua). Namun keberagaman yang mestinya dirayakan dengan penuh rasa syukur ini, dalam sejarah perjalanan berbangsa, kerap menjadi persoalan. Perjumpaan antara yang berbeda, sering terjadi tidak secara akrab. Saling curiga yang berbuntut pada permusuhan dan konflik sering tak bisa dihindari. (Tarmidzi Taher, 1998: 59)
Maka, Indonesia butuh etika bersama dalam memaknai keberagaman tersebut. Sebuah sikap dan pemikiran yang memberi tempat bagi kehadiran ”the other” dalam pergaulan publik, perlu dikembangkan. Ini bukan langkah mudah. Sebab, agama-agama atau apapun yang saling berbeda itu akan berhadapan dengan tuntutan menjaga ”kemurnian” ajaran dan keyakinannya. Meski pada hal mendasarnya, karena tuntutan itulah sehingga sikap eksklusif yang tidak menerima kehadiran ”the other” menjadi pilihan dari antara yang berbeda itu.
      Masyarakat Indonesia khususnya Jambi dikenal sebagai masyarakat majemuk (Pluralistic Society). Hal tersebut terlihat pada kenyataan sosial dan semboyang dalam lambang negara Republik Indonesia yaitu “Bhineka Tunggal Ika” (berbeda-beda namun satu jua). Kemajemukan masyarakat Indonesia ditandai oleh pelbagai perbedaan, baik horizontal maupun vertikal. Perbedaan horizontal meliputi kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan suku bangsa, bahasa, adat istiadat dan agama. Sedangkan perbedaan yang bersifat vertikal yakni menyangkut perbedaan-perbedaan lapisan atas dan bawah dalam masyarakat kita saat ini sangat tajam, baik dibidang sosial, ekonomi, politik maupun budaya. (Said Aqil Husin al Munawwar, 2003 : viii)
       Ada kecenderungan memahami multikulturalisme sebagai sesuatu yang bukan berasal dari dalam agama, sehingga harus ditolak. Sehingga, mencari titik temu antara konsep multikulturalisme dengan agama, adalah sesuatu yang sedikit sulit dilakukan, tapi bukan mustahil. Sehingga, tidak berarti kesulitan itu kemudian membuntukan usaha mempertemukan antara agama dengan konsep multikulturalisme. Multikulturalisme memiliki visi yang mencerahkan dalam memberi petunjuk untuk memaknai agama secara benar dalam konteks masyarakat yang multikultul seperti Indonesia. Bahwa, multikulturalisme pada prinsipnya membuka ruang dalam sikap yang terbuka dengan penuh semangat persamaan bagi yang saling berbeda suku, ras, agama, golongan dan ideologi untuk hidup bersama dalam suatu arak-arakan kehidupan.
Multikulturalisme juga menuntut adanya sikap keterbukaan untuk memaknai secara benar keyakinan yang dianut - tanpa harus dibenturkan dengan yang lain – dalam sebuah masyarakat yang multikultur. Visi multikulturalisme adalah terciptanya masyarakat yang multikultur dalam sebuah persamaan hak, berkeadilan, sejahtera dan damai. Jika semangat multikulturalisme itu diruntuhkan dengan semangat monokulturalisme, maka hancurlah bangunan Indonesia.
Multikulturalisme sebenarnya merupakan konsep dimana sebuah komunitas dalam konteks kebangsaan dapat mengakui keberagaman, perbedaan, dan kemajemukan budaya, baik ras, suku, etnis, dan agama. Sebuah konsep yang memberikan pemahaman kita bahwa sebuah bangsa yang plural atau majemuk adalah bangsa yang dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam (multikutural). Bangsa yang multikultural adalah bangsa yang kelompok-kelompok etnik dan budaya yang ada dapat hidup berdampingan secara damai dalam prinsip co-existence yang ditandai oleh kesediaan untuk menghormati budaya lain. Pluralitas ini juga dapat ditangkap oleh agama, selanjutnya agama mengatur untuk menjaga keseimbangan masyarakat yang plural tersebut. Adapun masyarakat multikultural adalah masyarakat yang mampu menekankan dirinya sebagai arbitrer yaitu sebagai penengah bagi proses rekonsiliasi ketika proses dialektika tersebut menemui kejumudan atau titik jenuh. (Ngainun Naim, 2010 : 126)
Istilah multikulturalisme juga menjadi perbincangan yang hangat akhir-akhir ini. Bagi sebagian orang, konsep ini diharapkan menjadi oase di tengah hubungan antar komponen masyarakat Indonesia yang kurang harmonis. Bahkan ada yang menjadikannya obat mujarab dalam menyembuhkan penyakit disintegrasi yang sedang menggerogoti batang tubuh bangsa. Multikulturalisme merupakan mekanisme yang terpenting bagi pendidikan demokrasi dan perlindungan hak-hak minoritas, ia mencegah individu atau kelompok masyarakat yang merasa diri paling benar, dan dengan mengatasnamakan kebenaran, mengembangkan prilaku ekslusif yang mengabaikan hak-hak orang lain. Dengan cara demikian multikulturalisme berperan menjaga kohesi sosial, maka multikultural adalah kemampuan masyarakat untuk mengatur sumber daya dan memproduksi serta mereproduksi tatanan sosial dan lainnya yang ia butuhkan untuk tetap eksis. (Elza Peldi Taher, 2009 : 199)
       Peduduk Jambi terdiri dari berbagai etnis, budaya, dan agama. Masing-masing tidak meninggalkan corak identitasnya, seperti bahasa derah dan tradisi, sehingga mudah dikenal dan dibedakan, meskipun demikian, antara etnis satu dengan yang lainnya saling menghormati dan menghargai adat istiadat masing-masing. Disamping multi suku, masyarakat jambi juga menganut berbagai agama, agama-agama yang dianut oleh masyarakat Jambi diantaranya adalah Islam, Kristen, Katolik, Budha dan Hindu. Kesadaran masyarakat terhadap terhadap perbedaaan agama sangat baik. Dikarenakan antara tokoh-tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh pemerintah terjalin komunikasi yang sangat baik dalam satu wadah forum kerukunan antar umat beragama. (Mursyid Ali, 2009:120).
Majelis taklim merupakan sarana bagi para perempuan Islam yang membutuhkan pendidikan dan pengajaran agama secara klasikal, maka dengan adanya Majelis Taklim tersebut upaya memberikan pemahaman tentang Multikultural sebagai wujud realisasi nilai-nilai perdamaian di Indonesia dan di Jambi khususnya  dapat diwujudkan. Pertumbuhan majelis taklim yang begitu pesat di setiap daerah khususnya di Jambi, mengindikasikan betapa besar animo masyarakat, khususnya kaum perempuan jambi dalam mencari pengetahuan tentang agama. Berdasarkan data Penamas Kementerian Agama Provinsi Jambi, setidaknya terdapat 4374 majelis taklim di seluruh Propinsi Jambi, dengan rincian: Kota Jambi 410, Batang Hari 1753, Tanjab Barat 364, Tanjab Timur 280, merangin 355, Sarolangun 207, tebo 326, Kerinci 436. (Penerangan Agama Islam, Kementrian Agama Provinsi Jambi, 2010).
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka perlu pengembangan wawasan multikultural pa­ra da’i dan da’iyah Jambi khususnya dan Indonesia pada umumnya, baik dalam tataran normatif mau­pun  reali­tas bagi majelis taklim. Untuk itu, wawasan multi­kul­tural khususnya dalam masalah antara dan Intern Umat beragama terus perlu di­kem­bangkan dan disebar-luaskan, antara lain melalui Buku Saku yang lebih praktis dan memung­kinkan mudah dibawa ke tempat-tempat pengajian, sebagai acuan dalam mewujudkan harmoni dan dinamika  kehidupan dalam keragaman budaya de­ngan sentuhan Islam sebagai rahmatan lil ’alamin.
2.      Tujuan Penulisan Multikultural
a.      Tujuan Umum
Untuk dijadikan sebagai media pengembangan wawasan multikultural dalam masalah antar dan intern umat beragama dan penerapannya dalam berbagai aspek budaya di kalangan majelis taklim
b.      Tujuan Khusus
1)     Tersusunnya deskripsi nilai-nilai Islam tentang konsep multikultural dalam berbagai aspek budaya dan keagamaan.
2)     Tersedianya sumber belajar agama Islam ba­gi majelis taklim yang berbasis multikultural pada aspek keagamaan dalam bentuk buku saku.
3)     Tersosialisasinya konsep multikultural khususnya dalam wawasan keagamaan di kalangan majelis taklim.
 3.      Kegunaan penulisan.
Penulisan buku saku Pengembangan Wawasan Multikultural dalam masalah keagamaan baik antar maupun intern ummat beragama di Kalangan Majelis Taklim ini dapat digunakan:
a.      Bagi pimpinan Pondok Pesantren, Kepala Sekolah, Pimpinan Instansi terkait yang berupaya membumikan multikultalisme, da’i/da’iyah dan jamaah majelis taklim sebagai bahan bacaan agar lebih memantapkan pemahaman wawasan multikultural dalam masalah keagamaan baik antar maupun intern ummat beragama. Dengan demikian, diharapkan akan terwujud tole­ransi (tasamuh) yang tinggi dalam menyikapi perbedaan budaya dan paham keagamaan intern umat Islam, dan dalam hubungan antarumat beragama di Indonesia umumnya dan di Jambi pada khususnya.
b.      Bagi Direktorat Pendidikan Diniyah, lembaga-lembaga dan organisasi Islam dan Pondok Pesantren, buku saku ini dapat digunakan seba­gai media pembinaan majelis taklim yang harus disosialisasikan secara luas.
c.      Bagi lembaga-lembaga lain yang peduli terhadap pengembangan wawasan multikultural dan pem­ber­dayaan majelis taklim sebagai bahan acuan dalam perumusan kebijakan dan operasionalisasi pengembangan majelis taklim.
4.      Sistematika Penulisan
Tulisan tentang Multikultural dalam masalah keagamaan baik antar maupun intern ummat beragama ini terdiri atas 5 (lima) bagian. Bagian pertama adalah Pendahuluan yang berisi latar bela­kang, di dalamnya memuat idealitas dan realitas multikultural dan majelis taklim; tujuan penulisan, baik umum maupun khusus, kegunaan dan sistematika penulisan.
Bagian kedua menjelaskan Definisi Operasio­nal sebagai acuan yang digunakan dalam panduan ini, yang meliputi majelis taklim, wawasan, multikul­tural, agama, dan pengertian umat.
Bagian ketiga memuat tentang deskripsi multikultural secara umum, hakikat multikultural, multikultural di Indonesia dan Multikultural di Provinsi Jambi dalam masalah keagamaan baik antar maupun intern umat beragama dalam lintas general discription atau gambaran umum penulisan.
Bagian keempat, berisi Komponen realisasi hubungan antar dan Intern umat beragama. Bagian kelima merupa­kan Penutup, saran dan rekomendasi.


BAB II
Defenisi Operasional
1.      Wawasan
Wawasan adalah cara pandang mengenai multikultu­ral secara luas dan menyeluruh.
2.      Multikultural
Multikulturalisme adalah pemahaman, penghargaan, dan penilaian terhadap keragaman budaya dan sikap khas terhadap keragaman itu. Islam sebagai din rahmatan lil ’alamin, menegaskan adanya keragaman budaya, dan nilai-nilai Islam memberi warna budaya yang dikembangkan masyarakat.
Dalam seminar Pusat Studi Agama dan Multikulturalisme (PSAM) Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) bersama Puslitbang Kehidupan Keagamaan Balitbang dan Diklat Kementerian Agama menyelenggarakan Seminar dan Lokakarya Pengarusutamaan Multikulturalisme untuk Mengembangkan Toleransi dan Kerjasama antarumat Beragama di Indonesia, yang di adakan tanggal 3 sampai dengan 4 Mei 2010 bertempat di UMM Inn Malang Jawa Timur. Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan Balitbang dan Diklat Kementerian Agama Prof. H. Abd. Rahman Mas’ud, Ph.D memaparkan bahwa secara teologis agama senantiasa mengajarkan keadilan, perdamaian dan saling menghargai (justice, peace and mutual respect), etika universal yang merupakan bagian dari gagasan multikulturalisme. Etika tersebut merupakan nilai bersama, yang tidak hanya dimiliki oleh bangsa Indonesia, tetapi juga merupakan nilai yang juga diakui dunia.
Beliau juga menjelaskan: “ Indonesia adalah sebuah negara bangsa yang multikultural di semua tingkatan mulai konstitusi hingga praktik sosial. Secara substantif dan prosedural, semua konstitusi produk sejarah Indonesia, UUD 1945 dan UUDS 1950, menyimpan konsep demokrasi yang menghargai keberagaman yang bersifat multikultural.”
3.      Majelis Taklim
Majelis Taklim adalah pendidikan non formal bagi orang dewasa untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama Islam, dan sebagai wadah dalam melaksanakan berbagai kegiatan yang memberikan kemaslahatan bagi jama’ah dan masya­ra­kat sekitarnya.
4.      Agama
Agama sebagai bagian dari budaya adalah pemi­kiran, pengahayatan dan karya manusia yang dilandasi dan diwarnai nilai-nilai keyakinan yang dianutnya.
5.      Umat
Kata  ummat  terambil  dari  kata [tulisan arab] (amma-yaummu) Yang berarti menuju, 
menumpu, dan meneladani. Dari  akar  yang sama,  lahir  antara  lain kata um yang berarti 
"ibu" dan imam yang maknanya "pemimpin";  karena  keduanya  menjadi  teladan, tumpuan 
pandangan, dan harapan anggota masyarakat Pakar bahasa Al-Quran Ar Raghib al Isfahani 
(w.  508  H/1108  M)  dalam  bukunya Al-Mufradat  fi  Gharib  Al-Qur'an, menjelaskan bahwa kata 
ini didefinisikan  sebagai  semua  kelompok  yang  dihimpun   oleh sesuatu,  seperti  agama,  waktu,   
atau tempat yang sama, baik penghimpunannya secara terpaksa maupun atas kehendak mereka.

BAB III
Deskripsi Umum Multikultural.
A.     Defenisi Multikultural
Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman, dan berbagai macam budaya (multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut. (http://id.wikipedia.org/wiki).
Azyumardi Azra mendefenisikan bahwa “Multikulturalisme” pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keagamaan, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahami sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam kesadaran politik.
Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam komunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaan (“A Multicultural society, then is one that includes several cultural communities with their overlapping but none the less distinc conception of the world, system of [meaning, values, forms of social organizations, historis, customs and practices”).
Akhyar Yusuf Lubis dalam buku Deskontruksi Epistemologi Modern mengungkapkan (2006:174) Multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan serta penilaian atas budaya seseorang, serta suatu penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain, Sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan.
Multikulturalisme mencakup gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan dan tindakan, oleh masyarakat suatu negara, yang majemuk dari segi etnis, budaya, agama dan sebagainya, namun mempunyai cita-cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang sama dan mempunyai kebanggan untuk mempertahankan kemajemukan tersebut.
B.     Hakikat Multikultural
Indonesia termasuk negara yang mencoba memperbaiki konsepnya dalam menghadapi keragaman agama dan budayanya. Jika sebelumnya, konsep homogeneisasi (penyeragaman) yang mirip dengan melting pot-nya Amerika Serikat diutamakan, maka Indonesia saat ini menempatkan semua agama secara sejajar. Dengan memperhatikan pokok-pokok tentang multikulturalisme dan dihubungkan dengan kondisi negara Indonesia saat ini, kiranya menjadi jelas bahwa multikulturalisme perlu dikembangkan di Indonesia, karena justru dengan gagasan inilah kita dapat memaknai keragaman agama di Indonesia. Konsep ini dapat memperkaya konsep kerukunan umat beragama yang dikembangkan secara nasional di negara kita.
Multikulturalisme sebenarnya merupakan konsep dimana sebuah komunitas dalam konteks kebangsaan dapat mengakui keberagaman, perbedaan, dan kemajemukan budaya, baik ras, suku, etnis, dan agama. Sebuah konsep yang memberikan pemahaman kita bahwa sebuah bangsa yang plural atau majemuk adalah bangsa yang dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam (multikutural). Bangsa yang multikultural adalah bangsa yang kelompok-kelompok etnik dan budaya yang ada dapat hidup berdampingan secara damai dalam prinsip co-existence yang ditandai oleh kesediaan untuk menghormati budaya lain. Pluralitas ini juga dapat ditangkap oleh agama, selanjutnya agama mengatur untuk menjaga keseimbangan masyarakat yang plural tersebut. Adapun masyarakat multikultural adalah masyarakat yang mampu menekankan dirinya sebagai arbitrer yaitu sebagai penengah bagi proses rekonsiliasi ketika proses dialektika tersebut menemui kejumudan atau titik jenuh. (Ngainun Naim, 2010 : 126)
Satu hal yang harus diamalkan bahwa gagasan multikulturalisme menghargai dan menghormati hak-hak sipil, termasuk hak-hak kelompok minoritas. Tapi, sikap ini tetap memperhatikan hubungan antara posisi negara Indonesia sebagai negara religius yang berdasarkan Pancasila. Negara Indonesia tidak membenarkan dan tidak mentolerir adanya pemahaman yang anti Tuhan (atheism). Negara Indonesia juga tidak mentolerir berbagai upaya yang ingin memisahkan agama dari negara (secularism). Mungkin kedua hal ini menjadi ciri khas multikulturalisme di negara asalnya seperti Amerika Serikat dan Eropa. Tapi, ketika konsep ini diterapkan di Indonesia, harus disesuaikan dengan konsep negara dan karakteristik masyarakat Indonesia yang religius. Singkatnya, multikulturalisme yang diterapkan di Indonesia adalah multikulturalisme religius.
Merupakan kenyataan yang tak bisa ditolak bahwa negara-bangsa Indonesia terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain sehingga negara-bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat “multikultural”. Tetapi pada pihak lain, realitas “multikultural” tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali “kebudayaan nasional Indonesia” yang dapat menjadi “integrating force” yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut.
Perbedaan budaya merupakan sebuah konduksi dalam hubungan interpersonal. Sebagai contoh ada yang orang yang bila diajak bicara (pendengar) dalam mengungkapkan perhatiannya cukup dengan mengangguk-anggukan kepala sambil berkata “uh. huh”. Namun dalam kelompok lain untuk menyatakan persetujuan cukup dengan mengedipkan kedua matanya. Dalam beberapa budaya, individu-individu yang berstatus tinggi biasanya yang memprakarsai, sementara individu yang statusnya rendah hanya menerima saja sementra dalam budaya lain justru sebaliknya.
Beberapa psikolog menyatakan bahwa budaya menunjukkan tingkat intelegensi masyarakat. Sebagai contoh, gerakan lemah gemulai merupakan ciri utama masyarakat Bali. Oleh karena kemampuannya untuk menguasai hal itu merupakan ciri dari tingkat intelligensinya. Sementara manipulasi dan rekayasa kata dan angka menjadi penting dalam masyarakat Barat. Oleh karenanya “keahlian” yang dimiliki seseorang itu menunjukkan kepada kemampuan intelligensinya.
Paling tidak ada tiga kelompok sudut pandang yang biasa berkembang dalam menyikapi perbedaan identitas kaitannya dengan konflik yang sering muncul. Pertama, pandangan primordialis. Kelompok ini menganggap, perbedaan-perbedaan yang berasal dari genetika seperti suku, ras (dan juga agama) merupakan sumber utama lahirnya benturan-benturan kepentingan etnis maupun agama. Kedua, pandangan kaum instrumentalis. Menurut mereka, suku, agama dan identitas yang lain dianggap sebagai alat yang digunakan individu atau kelompok untuk mengejar tujuan yang lebih besar, baik dalam bentuk metril maupun non-materiil. Konsepsi ini lebih banyak digunakan oleh politisi dan para elit untuk mendapatkan dukungan dari kelompok identitas. Dengan meneriakkan “Islam” misalnya, diharapkan semua orang Islam merapatkan barisan untuk mem-back up kepentingan politiknya. Oleh karena itu, dalam pandangan kaum instrumentalis, selama setiap orang mau mengalah dari prefence yang dikehendaki elit, selama itu pula benturan antar kelompok identitas dapat dihindari bahkan tidak terjadi. Ketiga, kaum konstruktivis, yang beranggapan bahwa identitas kelompok tidak bersifat kaku, sebagaimana yang dibayangkan kaum primordialis. Etnisitas, bagi kelompok ini, dapat diolah hingga membentuk jaringan relasi pergaulan sosial. Karenanya, etnisitas merupakan sumber kekayaan hakiki yang dimiliki manusia untuk saling mengenal dan memperkaya budaya. Bagi mereka, persamaan adalah anugrah dan perbedaan adalah berkah.
      Walaupun pengertian kultur sedemikian beragam, tetapi ada beberapa titik kesamaan yang mempertemukan keragaman defenisi tersebut, diantaranya adalah pertama Kultur adalah sesuatu yang general dan spesifik sekaligus. General maksudnya adalah setiap manusia di dunia ini mempunyai kultur dan spesifik bermaksud setiap kultur pada kelompok masyarakat bervariasi antara satu dengan lainnya, tergantung kepada kelompok masyarakat yang mana kultur itu berbeda.
Kedua Kultur adalah sesuatu yang dipelajari. Seorang bayi atau anak kecil yang mudah meniru kebiasaan orang tuanya adalah contoh unik dari kapasitas kemampuan manusia dalam belajar. Ketiga Kultur adalah sebuah simbol, simbol dapat berbentuk sesuatu yang verbal dan non verbal. Seperti kata harimau di Indonesia dan Tiger dalam bahasa lain, begitu pula non verbal seperti simbol bendera yang dapat mewakili sebuah negara.
      Keempat Kultur dapat membentuk dan melengkapi sesuatu yang alami. Kelima Kultur adalah sesuatu yang dilakukan secara bersama-sama yang menjadi atribut bagi individu sebagai anggota dari kelompok masyarakat. Keenam Kultur adalah sebuah model, artinya kultur bukan kumpulan adat istiadat dan kepercayaan yang tidak ada artinya sama sekali, kultur adalah sesuatu yang disatukan dan sistem-sistem yang tersusun dengan jelas.
Yang ketujuh Kultur adalah sesuatu yang bersifat adaptif, yang maksudnya kultur merupakan sebuah proses bagi sebuah populasi untuk membangun hubungan yang baik dengan lingkungan disekitarnya sehingga semua anggotanya melakukan usaha maksimal untuk bertahan hidup dan melanjutkan keturunan. (Ngainun Naim, 2010 : 123)
C.    Multikultural di Indonesia
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat dengan tingkat keanekaragaman yang sangat kompleks. Masyarakat dengan berbagai keanekaragaman tersebut dikenal dengan istilah mayarakat multikultural. Bila kita mengenal masyarakat sebagai sekelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama sehingga mereka mampu mengorganisasikan dirinya dan berfikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu (Linton), maka konsep masyarakat tersebut jika digabungkan dengan multikurtural memiliki makna yang sangat luas dan diperlukan pemahaman yang mendalam untuk dapat mengerti apa sebenarnya masyarakat multikultural itu.
Multikultural dapat diartikan sebagai keragaman atau perbedaan terhadap suatu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Sehingga masyarakat multikultural dapat diartikan sebagai sekelompok manusia yang tinggal dan hidup menetap di suatu tempat yang memiliki kebudayaan dan ciri khas tersendiri yang mampu membedakan antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Setiap masyarakat akan menghasilkan kebudayaannya masing-masing yang akan menjadi ciri khas bagi masyarakat tersebut.
Dari sinilah muncul istilah multikulturalisme. Banyak definisi mengenai multikulturalisme, diantaranya multikulturalisme pada dasarnya adalah pandangan dunia -yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan- yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahamni sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam “politics of recognition” (Azyumardi Azra, 2007). Lawrence Blum mengungkapkan bahwa multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, serta penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Berbagai pengertian mengenai multikulturalisme tersebut dapat ddisimpulkan bahwa inti dari multikulturalisme adalah mengenai penerimaan dan penghargaan terhadap suatu kebudayaan, baik kebudayaan sendiri maupun kebudayaan orang lain. Setiap orang ditekankan untuk saling menghargai dan menghormati setiap kebudayaan yang ada di masyarakat. Apapun bentuk suatu kebudayaan harus dapat diterima oleh setiap orang tanpa membeda-bedakan antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain.
Pada dasarnya, multikulturalisme yang terbentuk di Indonesia merupakan akibat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Menurut kondisi geografis, Indonesia memiliki banyak pulau dimana stiap pulau tersebut dihuni oleh sekelompok manusia yang membentuk suatu masyarakat. Dari masyarakat tersebut terbentuklah sebuah kebudayaan mengenai masyarakat itu sendiri. Tentu saja hal ini berimbas pada keberadaan kebudayaan yang sangat banyak dan beraneka ragam.
Dalam konsep multikulturalisme, terdapat kaitan yang erat bagi pembentukan masyarakat yang berlandaskan bhineka tunggal ika serta mewujudkan suatu kebudayaan nasional yang menjadi pemersatu bagi bangsa Indonesia. Namun, dalam pelaksanaannya masih terdapat berbagai hambatan yang menghalangi terbentuknya multikulturalisme di masyarakat.
D.    Multikultural di Provinsi Jambi
Masyarakat Jambi kebanyakan pendatang dari berbagai daerah yang memiliki latar belakang suku dan budaya yang beraneka ragam. Penduduk asli Provinsi Jambi adalah Melayu. Penduduk asli dan pendatang membaur menjadi warga masyarakat Jambi, bagi pendatang akan dikatakan masyarakat Jambi bila telah memenuhi ketentuan tinggal “setahun padi” atau sekitar enam bulan dengan semboyan filosofinya yaitu “dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung, dimana tembilang di cacak disitu tanaman tumbuh”.
      Suku-suku pendatang di Jambi terdiri dari berbagai etnis diantaranya adalah suku Bugis, Jawa, Minang, Banjar, Batak, Sunda, Madura, Aceh, India, Arab dan lain-lain, identitas kesukuan sangat mudah dikenal karena masing-masing suku atau etnis memiliki perkumpulan atau organisasi berdasarkan daerah asal atau suku asal dan didalam perkumpulan tersebut anggota ataupun pengurus dari perkumpulan itu dengan berbagai latar belakang agama maupun pekerjaan, ada yang beragama Islam, Kristen, Protestan Budha dan Hindu.
      Antara warga masyarakat yang berbeda suku maupun antar pemeluk agama yang berbeda bisa duduk berdampingan secara damai. Mereka menjalankan aktivitas sehari-hari tanpa ada gangguan dari pihak atau kelompok lain. Meskipun masing-masing suku membuat organisasi-organisasi persatuan daerah asal masing-masing. Namun organisasi-organisasi itu bersifat kekeluargaan dan sosial keagamaan. Hubungan dengan warga masyarakat rukun, warga masyarakat non muslim membaur dengan masyarakat secara luas tanpa pandang ras atau suku, bila ada hajatan syukuran atau pernikahan terkadang non muslim pun ikut berpartisipasi sebagai wujud multikultural. (Mursyid Ali, 2009 : 112).
Sedangkan dalam kilasan berita Republika direalise 02 November 2010 dengan tajuk Kekerasan Berlatar Agama Paling Banyak Terjadi di Jabar-Banten, dinyatakan bahwa Jambi adalah wilayah dengan tingkat kekerasan yang rendah. Insiden kekerasan terkait agama paling banyak terjadi di Banten dan Jawa Barat. Keduanya menempati posisi teratas dengan masing-masing 28 kasus dan 23 kasus belakangan ini. “Kekerasan keagamaan di dua provinsi ini menyumbang andil sekitar 67 persen dari total 76 insiden yang terjadi di 10 provinsi dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir,” kata Rudy Harisyah Alam, peneliti dari Balai  Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, dalam Seminar Hasil Penelitian Peta Kerukunan Antar Umat Beragama Provinsi Banten yang dilakukan Balai, di Hotel Santika, Bogor, Senin malam.
Sementara Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Barat berada di posisi tengah dengan tingkat kekerasan masing-masing 11 kasus dan tujuh kasus. Sedangkan Jambi, Bengkulu, Lampung dan DKI Jakarta menjadi wilayah dengan tingkat kekerasan yang rendah, yaitu antara satu hingga tiga kasus. Sebaliknya dua provinsi yaitu Sumatera Utara dan Sumatera Selatan tercatat sebagai wilayah dengan insiden keagamaan paling mini, bahkan hingga zero level (nol). (REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR, tgl 02/11/10).
BAB IV
Hubungan antar dan Intern umat beragama
A.     Kerukunan antar umat beragama
Kerukunan antar umat beragama di Jambi relatif rukun, hal ini terbukti belum pernah terjadi konflik terbuka antar umat beragama, namun potensi konflik tampak selalu ada seperti pendirian tempat ibadah khususnya gereja, kemudian pelaksanaan kebaktian yang dilaksanakan di rumah kristian yang berada ditengah-tengah mayoritas muslim.
      Potensi yang sedemikian akan mudah dihilangkan bila pemerintah dan masyarakat menyikapi dengan bijaksana yang wujud nyatanya terlihat adalah dialog melalui forum kerukunan antar umat beragama, kesadaran masyarakat terhadap pentingnya hidup harmonis dan rukun dengan menciptakan mekanisme sendiri serta terjalinnya kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah. (Mursyid Ali, 2009 : 135).
      SKB Menteri Agama dan Mendagri tahu 1979 No. 01/BER/MDG-MAG/1979 yang ditindaklanjuti dengan edaran Gubernur Jambi bahwa pendirian rumah Ibadah boleh dibangun bila jumlah KK disekitar tersebut berjumlah 40 KK. Hal tersebut diwujudkan untuk mengatur, memupuk keharmonisan dan kerukunan serta menumbuhkan toleransi antar umat beragama guna mendukung terciptanya kehidupan beragama yang penuh kerukunan dan keharmonisan.
Namun Fakta Nyata bagi masyarakat minoritas seperti kristen masih merasakan ganjalan yang berat karena mereka melihat bahwa Muslim mayoritas mendirikan rumah ibadah terkadang hanya 3 sampai 4 kemudian mendirikan mushola terkadang dalam 1 RT terdapat 2 sampai 3 Mushola tanpa mengindahkan peraturan-peraturan yang berlaku, padahal disekitar mushola itu sudah ada masjid. Maka bagi kalangan minoritas menganggap itu adalah sebuah diskriminatif.
Membangun kehidupan umat beragama yang harmonis memang bukan merupakan agenda yang ringan, agenda ini harus dijalankan dengan hati-hati mengingat agama lebih melibatkan aspek emosi daripada rasio, lebih menegaskan “Klaim Kebenaran” dari pada “Mencari Kebenaran”, meskipun sejumlah pedoman telah digulirkan, pada umumnya masih sering terjadi gesekan-gesekan ditingkat lapangan, terutama berkaitan dengan penyiaran agama, pembangunan rumah ibadah, perkawinan beda agama, bantuan luar negeri, perayaan hari-hari besar keagamaan, kegiatan aliran sempalan, epenodaan agama dan lain sebagainya.
      Meskipun membangun pembangunan kehidupan umat beragama yang harmonis menghadapi tantangan berat, namun terdapat sejumlah peluang yang menguntungkan yang dapat dijadikan landasan atau kaedah bersama ke depan, diantara peluang tersebut adalah: Pertama semua agama ingin mensejahterakan para pemeluknya, secara universal agama ingin menolong orang-orang miskin dan teraniaya. Persamaan tersebut memungkinkan kerjasama dalam melakukan kegiatan-kegiatan sosial dalam rangka penanggulangan kemiskinan, kebodohan dan berbagai bendaca sosial lainnya. Kedua Agama-agama di Indonesia bersedia mengembangkan wawasan keagamaan yang inklusif, mau menerima dan menghargai kehadiran golongan agama-agama lain dan hidup berdampingan secara damai. Ketiga Hubungan kekerabatan dalam masyarakat Indonesia dapat meredam pertentangan antara agama yang berbeda. Keempat masyarakat secara Tradisional ada kebiasaan-kebiasaan dan pranata sosial yang sudah melembaga dan fungsional untuk memelihara ketertiban serta kerukunan masyarakat sekalipun berbeda agama. Kelima Dialog dan Forum antar umat beragama. Keenam Wawasan keberagaman makin meningkat dan luas. Ketujuh Berbagai kemudahan bagi pemeluk agama untuk mengaktualisasikan ajaran agamanya dalam hidup sehari-hari. (Said Aqil al Munawwar, 2003 : xiv).
      Eksistensi Manusia dalam kebersamaan ini, dapat dipahami bahwa arti manusia bukan terletak pada akunya tapi pada kitanya atau pada kebersamaannya. Kebersamaan ini tidak hanya tergambar dalam bentuk kolektif saja, tetap jauh dari itu, yakni kebersamaan dalam wujud saling membutuhkan secara timbal balik. Allah SWT menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bergolong-golongan, sebagaimana Firmannya dalam QS al Hujurat/ 49:13 :
Artinya :   Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
      Prof Dr H Said Aqil al Munawar dalam bukunya Fiqih hubungan antar agama (2003), menyatakan bahwa dalam mewujudkan kerukunan antar umat beragama diperlukan beberapa unsur sebagai penunjang utama. Unsur terkandung yang terkandung dalam pengertian kerukunan antar umat beragama adalah :
a.      Adanya beberapa subjek sebagai unsur utama
Maksudnya adalah tiap golongan umat beragama merupakan unsur utama dalam kerukunan, walaupun bangsa Indonesia terdiri dari berbagai pemeluk agama, namun agama itu sendiri tidak melarang pemeluknya untuk rukun dengan pemeluk agama lain
b.      Tiap subjek berpegang kepada agama masing-masing
Maksudnya adalah tiap subjek harus menyadari, bahwa perbedaan agama bukan sebagai arena atau sarana persaingan yang tidak sehat. Berpegang kepada agama masing-masing dan memahami urgensi kerukunan, maka kerukunan antar umat beragama tidak lagi merupakan masalah yang hanya menjadi topik pembicaraan secara teoritis, tapi sebagai sarana untuk membuka jalan dalam mewujudkan kerukunan secara praktis dan pragmatis, sehingga kerukunan antar umat beragama tidak lagi mengendap dalam teori statis dengan status quo yang hanyut dengan arah dan tujuan yang tidak jelas.
c.      Tiap subjek menyatakan diri sebagai partner
Maksudnya adalah adanya saling pengertian tidak menekan atau ditekan oleh kemauan masing-masing subjek, sesuai dengan situasi bangsa dan negara Indonesia yang sedang membangun, maka kerukunan yang dituntut adalah kerukunan fungsional dan dinamis. Kerukunan ini dipelihara dengan saling memahami, saling memperdulikan, dan saling membantu dengan berorientasi kepentingan bersama. (Ibid, 2003 :7)
Semua komponen dari unsur tersebut dapat berjalan dengan baik dan benar bila dibarengi dengan akhlaq atau etik pergaulan yang baik pula, diantara etik pergaulan tersebut adalah: Pertama saling menerima, tiap subjek memandang  dan menerima subjek lain dengan segala keberadaannya dan bukan menurut kehendak dan kemauan subjek yang pertama. Dengan maksud setiap golongan umat  beragama menerima golongan agama lain dalam hal kehidupan bermasyarakat tanpa memperhitungkan perbedaan, kelebihan atau kekurangan.
Kedua Sikap saling mempercayai merupakan kenyataan dan pernyataan dari saling menerima. Bila sikap ini hilang kemudian berganti dengan sikap saling berprasangka serta saling mencurigai. Kerukunan umat beragama akan terpelihara dengan terpeliharanya saling mempercayai antara satu golongan agama dengan golongan agama lain. Ketiga Prinsip berfikir postif (Positive Thingking) Prinsip ini akan dapat mempersatukan naluriah kolektif dan menumbuhkan rasa tanggungjawab yang menurut kesusilaan harus dipikul dan ditanggung bersama.   
Bila ditinjau dari kepentingan agama-agama itu sendiri serta urgensinya dalam membangun dan membina masyarakat dan bangsa, maka kerukunan antar umat beragama bertujuan untuk memelihara eksistensi agama-agama, memelihara eksistensi Pancasila dan UUD 1945, memelihara persatuan dan rasa kebangsaan, memelihara stabilitas dan ketahanan nasional, menunjang dan mensukseskan pembangunan, mewujudkan masyarakat religius. (Ibid, 2003 : 24).
Azyumardi Azra dalam buku merayakan kebebasan beragama editor Elza Peldi Taher (2009:16) mengatakan bahwa Kemajemukan keagamaan diantara umat manusia tidak terelakkan lagi, bahkan kemajemukan itu telah merupakan hukum Tuhan (Sunnatullah). Karena itu, agama Islam tidak boleh dipaksakan kepada siapapun, karena jika Tuhan menghendaki, semua umat manusia akan beriman. Allah SWT berfirman dalam QS al Baqarah/ 2:256 dan QS Yunus/10:99 :
Artinya :Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. 
Artinya: Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?
Dr Aidh al Qarni dalam buku Tafsirnya Tafsir al Muyassar (jld 1,2008 :202) beliau menafsirkan Janganlah kalian memaksa orang untuk memeluk Islam, karena yang wajib bagi kalian adalah menyeru manusia untuk masuk Islam melalui pemahaman serta dialog dengan cara yang terbaik. Sebab, Islam telah jelas mana yang merupakan petunjuk dan mana yang kesesatan. Mana keimanan dan mana kekafiran. Hal ini juga senada dengan interprestasi Muhammad Musthofa al Maraghi dalam tafsir al Maraghi (jld 1, 2001:261) bahwa jangan ada paksaan tapi seru mereka dengan bukti dan dialog.
Dalam konteks al Qur’an pula, Allah SWT membolehkan kita berinteraksi dan berdampingan dengan orang-orang non muslim selama mereka mau berdamai dan tidak memerangi kita, hal ini difirmankan Allah didalam QS al Mumtahanah, 60/ 8 :
žArtinya : Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu Karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
      Dalam tafsir fi dhilal al Qur’an Sayyid Qutub (1972 : 3544) mengatakan bahwa Islam adalah agama damai, aqidah yang penuh cinta, aturan yang berprespektif melindungi dengan penuh perlindungan, dan terus membangun sistem dengan mengayomi seluruh umat dalam bendera persaudaraan yang saling mengenal dan harmonis. Allah menyuruh kita untuk melindungi dan memberikan ketenangan kepada non muslim, bahkan kita harus berlaku adil dalam implementasi hukum dan sosial. Senada dengan Muhammad Ali al Shabuni dalam kitabnya Shafwat al Tafasir (2002:312) menyatakan bahwa Allah SWT tidak melarang kita berbuat baik dengan non muslim yang tidak memerangi kita dalam hal agama, dan tidak pernah mengusir dari kampung kita baik wanita maupun anak-anak, maka sepatutnya kita berbuat adil dan baik kepada mereka baik dalam hukum dan seluruh aspek kehidupan.
      Sementara Prof DR Hamka (1985: 102) dalam kitab Tafsir al Azhar, beliau mengatakan bahwa dengan tegas bahwa Allah tidak melarang kamu hai pemeluk agama Islam, pengikut Nabi Muhammad SAW berbuat baik atau bergaul dengan cara yang baik dan berlaku adil dan jujur dengan golongan atau agama lain baik mereka itu Yahudi atau Nasrani ataupun Musyrik, selama mereka tidak memerangi kamu, tidak memusuhi kamu atau mengusir kamu dari kampun halaman kamu, dengan begini hendaknya disisihkan perbedaankepercayaan dan pergaulan sehari-hari. Dan dalam ayat ini Allah SWT menggunakan kata qist bukan ‘adl karena kata qist lebih luas yang mencakup pergaulan hidup, tegasnya jika kita berbaik dengan tetangga sesama Islam hendaknya juga sama adilnya dengan kita berbaik dengan tetangga non muslim, maka hal ini tidak hanya berlaku pada masa nabi tapi juga zaman kita sekarang, karena ayat ini adalah Muhkamat yang tidak pernah dimansukhkan jadi dalam segala zaman kita harus tetap berbuat baik, adil, jujur dan harmonis selama mereka tidak memusuhi dan mengusir kita dari kampung halaman.
      Sikap dan Prinsip Toleransi tidak hanya ada dalam konstitusi tapi juga berakar dalam tradisi agama dan kepercayaan khususnya dalam Agama Islam, Prinsip Toleransi ini dalam al Qur’an termuat dibebarapa tempat yaitu QS al Baqarah/2:256 (Tidak ada paksaan dalam memeluk Agama); QS Yunus/10:99 (larangan memaksa seseorang untuk beriman). QS Ali Imron/ 3:64 (himbauan untuk mencari titik temu (Kalimatun Sawa’) QS al Mumtahanah/49:8-9 (anjuran berbuat baik, berlaku adil dan menolong orang-orang non muslim yang tidak memusuhi dan mengusir mereka dari kampung halamannya). (Elza Peldi Taher, 2009 : 344).
      Sedangkan dalam tradisi Fiqh, prinsip ini termuat dalam “Maqashid Syari’ah”  yaitu Kebebasan Hidup (Hifdz al Nafs), Kebebasan beropini dan berpendapat (Hifdz al ‘Aql), Menjaga kelangsungan hidup (Hifdz al Nasl), menjaga kebebasan memiliki properti (Hifdz al Mal), Kebebasan Beragama (Hifdz al Din).
      Sedangkan Prof DR Tarmidzi Taher, mantan menteri Agama RI, mengistilahkan bahwa pembangunan Islam di Indonesia harus dengan prinsip Ummatan Wasathan yakni umat yang moderat dan berorientasi kualitas) untuk mewujudkan kerukunan dan toleransi antar umat beragama. (Tarmizi Taher, 1998 : 101)
Dengan demikian jelas, bahwa Islam mengakui hak hidup agama-agama lain tersebut dengan berdampingan penuh kedamaian, keharmonisan dan toleransi, untuk menjalankan ajaran-ajaran agama masing-masing. Disinilah terletak dasar ajaran Islam yang mengenai tasamuh (toleransi) beragama.
B.     Kerukunan Intern Umat beragama
Kerukunan intern umat beragama di Jambi khususnya muslim sangat baik, dan juga tidak menafikan secara kasat mata begitu juga damai dan rukunnya non muslim dengan sesama mereka dalam intern beragama. Karena memang mayoritas masyarakat Jambi adalah Muslim yang masing-masing sangat memegang erat prinsip adat yang sangat kental yaitu adat bersendi syara’ syara’ bersendi kitabullah yang bermakna bahwa apa saja yang dilakukan dan diamalkan mestilah berlandaskan pada Kitabullah yaitu al Qur’an dan Sunnah. Maka kerukunan intern umat beragama ini penulis tampilkan dalam tulisan ini adalah kerukunan intern umat beragama khususnya Islam secara dalil normatif yaitu al Qur’an dan Sunnah.
      Secara fakta memang tampak ada terjadi kekurangrukunan khususnya dalam hal ketidaksamaan dalam melakukan ritual atau bahasa lain sering disebut dengan masalah khilafiyah dan furu’iyyah yang sesungguhnya telah menjadi bahan perdebatan yang klasik dari ulam-ulama Fuqaha terdahulu. Namun pemahaman tersebut terus bergulir sehingga terkadang menjdai pemisah antara satu pemahaman dengan pemahaman lain. Diantara contoh yang tampak adalah perbedaan paham dalam organisasi Islam yang terkenal di Indonesia atau di Jambi pada khususnya yaitu (NU, Muhammadiyyah, LDII, Jama’ah Thariqat dan lain-lain), seperti pelabelalan dengan kata Jama’ah Kompor yang dilabelkan pada kumpulan Jama’ah Tabligh karena masyarakat melihat Jama’ah ini selalu membawa beras dan kompor, begitu juga dalam perilaku sehari-hari berlainan dengan masyarakat secara umum seperti bentuk pakaian (selalu memakai gamis, surban, kain sarung diatas mata kaki), memelihara jenggot sampai panjang dan memiliki metode khuruj yaitu keluar empat hari bahkan sampai empat bulan bagi yang sudah sampai pada tingkatan lanjut.
Begitu juga dengan masalah pembacaan surah yasin bersama-sama, pembacaan talqin, kebiasaan niga hari, nujuh hari atau bahkan sampai empat puluh hari atau haul terhadap orang yang meninggal. Perbedaan dalam Praktek sholat seperti menggerak-gerakkan telunjuk ketika tahiyat, sujud seperti orang yang tiarap atau dalam hal pengankatan dangan dalam takbiratul ihram. Perbedaaan ini kerap terjadi. Yang menyedihkan lagi ada beberapa orang yang tidak mau mengangkat Imam dari golongan yang mempunyai perbedaan dengan mereka dalam hal amaliyah atau perbedaan gerkan sholat.
Tapi semua itu terjadi hanya sebatas perbedaan pendapat yang tidak pernah berujung kepada konflik yang tidak diinginkan, karena permasalahan demikian dapat diredam dengan komunikasi ilmu tentang amaliyah dalam ibadah sehari-hari sebagai wujud kerukunan intern  umat beragama.
Maka dalam hal kerukunan intern umat beragama Islam menawarkan karasteristik masyarakat Islam yang sejati dan ideal. Diantara karakter tersebut adalah Pertama berpedoman kepada al Qur’an dan Sunnah, masyarakat Islam yang ideal berpedoman kepada al Qur’an dan sunnah secara totalitas dan tidak pula menginterprestasikan al Qur’an mengikut hawa nafsunya, sehingga al Qur’an dapat dibumikan dalam kehidupan sehari-hari sebagai sebuah pedoman kehidupan sosial seperti yang diperkenalkan oleh ahli tafsir yaitu Syekh Muhammad Abduh dengan sistem pemahaman tafsir yang bernuasa adab al Ijtima’i yaitu penafsiran dengan metode sosial kemasyaratan.
Kedua Menghargai sesama secara profesional dengan cara tidak lebih tinggi bersuara (QS al Hujurat/49:2), tidak berkata kasar atau keras ((QS al Hujurat/49:3), dan sabar menunggu (QS al Hujurat/49:5). Yang ketiga waspada terhadap isu, apalagi isu yang memecah belah persatuan dan kesatuan serta perdamaian apalagi isu yang dilayangkan oleh provokator yang tidak bertanggungjawab dengan maksud merusak. Maka Islam menyuruh kita untuk mengklarifikasi terlebih dahulu melakukan filterisasi dari lautan informasi yang terlalu bebas tanpa saring. Tidak semua informasi itu baik, benar dan bermanfaat akan tetapi ada yang bersifat fitnah, hasud atau da’wah syaithaniyah seperti kemaksiatan, pornografi dan lain-lain. Fungsi ini dikenal dalam al Qur’an sebagai kata tabayyun.
      Sikap filterisasi atau klarifikasi dilakukan untuk mensejahterakan umat Islam dalam suasana ketenangan karena Islam menyuruh kita untuk tabayyun (klarifikasi), ta’dib Ummah (Mendidik ummat) dan juga Tanmiyatul ‘Adalah (Pengembangan keadilan). Apabila hal ini dikesampingkan maka akan terjadi perpecahan dan ketidak harmonisan sehingga kerukunan intern umat beragama terabaikan. (Samantho, 2000 : 69).
1.      Tata Pergaulan antar intern umat Islam.
Sesungguhnya mukmin itu adalah bersaudara, maka saling mendamaikan dan mewujudkan kerukunan adalah sebuah kewajiban karena “Muslim itu adalah saudara bagi Muslim yang lain” sebagaimana yang difirmankan Allah dalam QS al Hujurat 49/10 (Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapatkan rahmat)
Asal niat kita suci untuk mewujudkan kerukunan dan kedamaian insya Allah bisa terwujud dengan baik, diantara bentuk yang aplikatif untuk diwujudkan dalam tata pergaulan sesama muslim adalah :
pertama Janganlah saling olok mengolok karena kadang-kadang orang yang diolok-olokkan itu lebih baik disisi Allah daripada orang yang mengolok-olokkannya. (QS al Hujurat 49/11). Fenomena olok-mengolok dalam masyarakat kita kerap kali terjadi khususnya pada akhir-akhir ini karena adanya demokrasi yang bablas sehingga yang satu menghina atau mengolok-olok yang lain dengan tujaun untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Kesombongan kelompok menjadi pilihan yang padahal merusak tatanan akhlaq dan kerukunan intern umat beragama, Rasulullah bersabda : الكبر بطر الحق وغمص الناس  (Kesombongan itu menolak kebenaran dan memandang rendah manusia) (HR Bukhori). Terkadang yang kita sedihkan pula majelis taklim yang murni merupakan tempat menuntut ilmu dilecehkan oleh sekelompok orang dengan menyebarkan bentuk olok-olokan atau hinaan kepada yang lainnya. Demi mewujudkan keinginan pribadinya. Hal ini terjadi pada masa PILLEG dan PILKADA.
Padahal Allah SWT telah mengingatkan kita untuk tidak mngolok-olok sebagaimana firman Allah dalam QS al Hujurat/ 49:11) yang termaktub :
      Artinya : janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka.

Kedua Janganlah mencelah sebagian kamu dengan sebagian yang lain (QS al Hujurat/49:11)  Artinya : Janganlah suka mencela dirimu sendiri.
Dalam ayat ini tersurat janganlah kamu menghina dirimu sendiri yang padahal ini merupakan peringatan bahwa orang yang berakal tentu takkan mencela dirinya sendiri, oleh karena itu tidak sepatutnya kita mencela orang lain. Karena rasul bersabda ”Mukmin satu dengan mukmin yang lain seperti satu tubuh, apabila salah satu anggota sakit maka seluruh tubuhpun akan merasakan sakit” (HR Bukhori).
Fenomena cela mencelapun sudah menjadi kebiasaan masyarakat kita, khususnya pada wanita karena faktor beda kultur dan keadaan. Maka ayat inilah sebagai pengingat bahwa menghina sesama mukmin sama saja dengan menghina diri sendiri. Dan hal tersebut dilarang dalam tatanan pergaulan intern umat beragama khususnya Islam.
Ketiga Janganlah memanggil dengan gelar yang menyakitkan hati atau yang tidak disukai (QS al Hujurat/49:11) :
Ÿ      Artinya : Jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan.
Sering kita saksikan fenomena dalam hidup kita memanggil orang dengan gelar yang menyakitkan seperti ketika orang itu hitam dipanggil dengan gelar black, ketika orang itu berjualan ayam digelar etek ayam ketika orang itu boneng digelar Giman (gigi mancung), kalau orang itu pendek gemuk digelar Pendekar (pendek dan kekar) dan seterusnya, yang dengan hal tersebut bisa mengakibatkan ketidak rukunan karena gelar yang tidak baik dan tidak disukai.
Keempat Jauhi berprasangka buruk terhadap sesama dalam kehidupan bermasyarakat (QS al Hujurat/49:12) : Artinya : Jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa.
Prasangka adalah tuduhan yang bukan atau persangkaan yang tidak beralasan, hanya semata-mata tuduhan. Karena prasangka adalah dosa (Hamka, jilid 26,1982:205). Rasul bersabda dari riwayat Thabrani : ”Tiga macam membawa krisis bagi umatku yaitu memandang kesialan, dengki dan buruk sangka (HR Thabrani)
Kelima Janganlah suka mencari-cari kesalahan orang lain atau sengaja memata-matai dengan tujuan yang buruk dan juga jangan menggunjing (QS al Hujurat/49:12)
Artinya : Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain.
Maksud jangan suka mencari kesalahan orang lain adalah jangan suka mengorek-orek hal yang sesungguhnya tidak ada kemudian diadakan dengan tujuan menjatuhkan atau menfitnah, sedangkan menggungjing atau ghibah adalah membicarakan aib dan keburukan seseorang sedang ia tidak hadir atau berada ditempat. Yang mana naudzu biLLAH ayat ini dilanjutkan dengan informasi bahwa bila kita menggungjing sama kondisinya dengan kita memakan daging saudara kita sendiri padahal kita benci.
2.      Hak Muslim satu dengan yang lainnya.
Sesama muslim mesti saling melindungi antara satu dengan yang lain dalam hal yang positif. Dalam ajaran Islam bahwa saling membantu dan melindungi adalah bentuk akhlaq muslim yang mulia. Rasul bersabda  yang maksudnya “Barang siapa melapangkan nafas seorang muslim dari suatu kesusahan maka Allah akan melapangkan nafasnya dari kesusahan-kesusahan akhirat, dan barang siapa yang mempermudah bagi yang mendapat kesukaran, maka Allah akan memudahkan orang itu di dunia dan akhirat, dan barang siapa menutup cela seorang muslim, maka Allah akan menutup celanya di dunia dan akhirat, dan Allah akan selalu menolong hambanya selama hambanya itu suka menolong saudaranya” (HR Muslim).
Sedang sikap atau hak seorang muslim dengan yang lain Rasulpun bersabda : “Hak orang muslim dengan muslim yang lain ada enam: Apabila engkau berjumpa berikan salam padanya, dan apabila ia mengundangmu maka hadirilah, dan apabila ia meminta nasehat kepadamu berilah nasehat, dan apabila ia bersin dan memuji nama Allah maka doakanlah ia, dan apabila sakit hendaklah engkau melawatnya, dan apabila ia meninggal dunia, maka iringilah ia (HR Muslim).

BAB V
Penutup
A.     Kesimpulan
·        Masyarakat Indonesia khususnya Jambi dikenal sebagai masyarakat majemuk (Pluralistic Society). Hal tersebut terlihat pada kenyataan sosial dan semboyang dalam lambang negara Republik Indonesia yaitu “Bhineka Tunggal Ika” (berbeda-beda namun satu jua).
·        Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam komunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaan
·        Masyarakat Jambi kebanyakan pendatang dari berbagai daerah yang memiliki latar belakang suku dan budaya yang beraneka ragam. Penduduk asli Provinsi Jambi adalah Melayu.
·        Kerukunan antar umat beragama di Jambi relatif rukun, hal ini terbukti belum pernah terjadi konflik terbuka antar umat beragama, namun potensi konflik tampak selalu ada seperti pendirian tempat ibadah khususnya gereja, kemudian pelaksanaan kebaktian yang dilaksanakan di rumah kristian yang berada ditengah-tengah mayoritas muslim begitu juga halnya dengan intern umat beragama.
·        Kerukunan intern umat beragama di Jambi khususnya muslim sangat baik, karena memegang erat prinsip adat yang sangat kental yaitu adat bersendi syara’ syara’ bersendi kitabullah yang bermakna bahwa apa saja yang dilakukan dan diamalkan mestilah berlandaskan pada Kitabullah yaitu al Qur’an dan Sunnah.

B.    Rekomendasi
·        Mudah-mudahan referensi kecil ini dapat dimanfaatkan untuk memberikan pemahaman tentang Multikultural khususnya dikalangan ahli ilmu yang komitmen terhadap kerukunan dan kedamaian.
·        Pemerintah Daerah baik Provinsi, Kota maupun Kabupaten, mesti memberikan perhatian khusus baik materil maupun moril dalam mewujudkan kerukunan antar dan intern ummat beragama. Sehingga tidak ada yang merasa terzalimi atau tertindas haknya karena tidak adanya perlindungan khusus dalam hal ini pemerintah setempat.
·        Kepada seluruh masyarakat, marilah kita gunakan cara dialogis yang hikmah dalam setiap menyelesaikan konflik yang terjadi tanpa ada kekerasan dan anarkhisme, sehingga Jambi dapat terwujud dengan Program Jambi EMAS (Ekonomi Maju Aman dan Sejahtera).

Daftar Pustaka
Lubis, Akhyar Yusuf,. Deskontruksi Epistemologi Modern. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu 2006
Samantho, S.Ahmad, Jurnalistik Islami panduan praktis bagi para aktivis Muslim, Jakarta : Penerbit Harakah. 2002.
Elza Peldi Taher (ed), Merayakan Kebebasan Beragama, Bunga Rampai 70 tahun Djohan Efendi. ICRP, Jakarta : 2009.
Tarmizi Taher, Menuju Ummatan Wasathan, kerukunan beragama di Indonesia. PPIM, Jakarta : 1998.
Ngainun Naim & Achmad Syauqi, Pendidikan Multikultural, Konsep dan Aplikasi, Arruz Media, Yogyakarta : 2010.
Said Aqil Husin al Munawwar, Fikih Hubungan antar Agama, Ciputat Press, Jakarta : 2003
M Tuwah Subardi (ed), Islam Humanis. PT Moyo Segoro Agung, Jakarta : 2001.
Muhammad Imarah, Islam dan Pluralitas, Perbedaan dan Kemajemukan dalam bingkai persatuan. Gema Insani Press, Jakarta : 1999.
M Quraish Shihab, Membumikan al Qur’an, Fungsi wahyu dalam kehidupan bermasyarakat, Mizan, Bandung : 1994.
Mursyid Ali, Pemetaan Kerukunan Kehidupan Beragama di Berbagai Daerah di Indonesia,  Puslitbang Kehidupan Beragama, Jakarta : 2009.
Sayyid Qutub, Tafsir fi Dhilal al Qur’an, Dar al Syuruq, Mesir : 1972.
Muhammad Ali al Shobuni, Shafwat al Tafasir, Dar Ehiya al Turats al ’Arabi, Lubnan : 2002.
Hamka, Tafsir al Azhar, Penerbit Pustaka Panjimas, Jakarta : 1982.
Muhammad Thalhah Hasan, Dinamika Kehidupan Religius, Listafariska Putra, Jakarta : 2003.
Mustofa al Maraghi, Tafsir al Maraghi, Dar al Fikr, Beirut : 2001.
Aidh al Qarni, Tafsir Muyassar, (Terjemahan) Qisti Press, Jakarta : 2007.

* Ditulis dalam rangka penyusunan modul pembelajaran tentang Multikultural bagi Majelis Taklim Kerja sama Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama RI dengan Fatayat NU Provinsi Jambi Tahun 2010