Ust Hasbullah Ahmad
Corak Tafsir
Sosial di Indonesia*
Dalam karya monumentalnya, Tafsir al-Manar, Muhammad Abduh
pernah berwasiat, “Pada hari akhir nanti, Allah tidak akan menanyai kita
mengenai pendapat-pendapat para mufassir dan tentang bagaimana mereka memahami
al-Qur’an. Tetapi Ia akan menanyakan kepada kita tentang
kitab-Nya yang Ia wahyukan untuk membimbing dan mengatur kita.”
Apa yang diinginkan Abduh dengan pernyataan di atas? Menurut
penulis, dengan pernyataannya itu, Abduh menginginkan agar tafsir al-Qur’an
yang ada selama ini, yang cenderung elitis dan hanya mampu dikonsumsi para
ulama profesional, bisa lebih membumi. Tafsir al-Qur’an bisa dikemas dengan
bahasa yang lebih praktis. Sehingga masyarakat awam tidak lagi mengerutkan
kening ketika membaca kitab tafsir.
Lebih jauh, Abduh menginginkan agar tafsir bisa
mengembalikan fungsi al-Qur’an sebagai kitab petunjuk (hudan li al-nas).
Artinya, dalam memaknai al-Qur’an, tafsir harus memosisikan al-Qur’an sebagai
kitab yang ‘hidup’. Kitab yang selalu memberikan petunjuk kepada pembacanya
dalam menyelesaikan problem hidup keseharian. Tidak memosisikan al-Qur’an
sebagai kitab yang ‘mati.’ Sehingga al-Qur’an dikesankan diam seribu bahasa,
ketika pembacanya ditimpa berbagai permasalahan hidup. Dalam bahasa Nurcholish
Madjid, harus ada dimensi atau unsur kemanusiaan dalam usaha memahami ajaran
agama, dalam hal ini memahami al-Qur’an.
Dalam bahasa yang lebih menarik, Dr. Abdul Majid Abdussalam
al-Muhtasib mengatakan, “Meng-hermeneutikasi-kan dan mengeluarkannya
(al-Qur’an) dari tekstualitasnya agar selaras dengan fenomena-fenomena.”
Al-Muhtasib menginginkan al-Qur’an bisa keluar dari konteksnya dan berusaha
memberi tanggapan terhadap fenomena yang ada di sekitarnya. Sehingga al-Qur’an
tidak diam begitu saja ketika melihat fenomena di sekelilingnya. Tetapi
al-Qur’an responsif dan tanggap dalam memecahkan problem sosial-kemasyarakatan.
Belakangan ini, usaha-usaha tersebut sudah banyak dilakukan para ilmuwan muslim
kontemporer, seperti Mohammed Arkoun, Hassan Hanafi, Fazlur Rahman, Farid
Esack, atau Fatima Mernissi. Walaupun usaha-usaha mereka masih banyak dinafikan
oleh para ulama tradisionalis yang masih mengedepankan dimensi tekstualitas
al-Qur’an.
Kondisi
Tafsir Indonesia
Pertanyaannya kemudian adalah, sudahkah tafsir Indonesia
sanggup memberikan respon terhadap kondisi umatnya (pembacanya)? Dengan kata
lain, sudah adakah dimensi kritik sosial atau dimensi kemanusiaan dalam tafsir Indonesia?
Kalau belum, mungkinkah disusun suatu tafsir yang solutif terhadap kondisi sosial-kemasyarakatan
Indonesia?
Untuk menjawab pertanyaan yang pertama, marilah melihat
sejenak beberapa kitab tafsir yang lahir dari rahim Ibu Pertiwi Nusantara.
Dalam membahas perkembangan tafsir Indonesia, penulis lebih
menyandarkan pada periodisasi kitab tafsir Indonesia Indal Abror. Selain periodisasi
yang dibuat lebih menyeluruh, juga penyajiaanya yang, penulis kira, cukup rinci
dan jeli.
Pertama, tafsir pada abad VII atau abad VIII-XV M. Pada dekade ini, di Nusantara belum muncul kitab tafsir. Hal ini disebabkan karena masih bersatunya beberapa dimensi ajaran Islam, seperti syari’ah, ibadah, dan aqidah. Dengan kata lain, masih belum jelasnya pembedaan beberapa dimensi ajaran Islam. Hal ini disebabkan karena agama Islam baru menyentuh dunia Nusantara. Sehingga konsentrasi mereka masih terpusat pada pengamalan ajaran Islam semata. Belum merambah kepada keinginan mengkaji ajaran Islam secara lebih serius.
Pertama, tafsir pada abad VII atau abad VIII-XV M. Pada dekade ini, di Nusantara belum muncul kitab tafsir. Hal ini disebabkan karena masih bersatunya beberapa dimensi ajaran Islam, seperti syari’ah, ibadah, dan aqidah. Dengan kata lain, masih belum jelasnya pembedaan beberapa dimensi ajaran Islam. Hal ini disebabkan karena agama Islam baru menyentuh dunia Nusantara. Sehingga konsentrasi mereka masih terpusat pada pengamalan ajaran Islam semata. Belum merambah kepada keinginan mengkaji ajaran Islam secara lebih serius.
Baru pada periode kedua, abad XVI-XVIII M, sudah mulai
terlihat geliat umat Islam Nusantara dalam mengkaji ajaran Islam, khususnya
tafsir. Hal ini bisa dilihat dengan munculnya tafsir karya Abdur Rauf Ali
al-Fansuri atau al-Sinkili. Kitab tafsir ini diberi judul Tarjuman al-Mustafid.
Kitab tafsir yang merupakan salinan dari kitab Anwar al-Tanzil wa Asrar
al-Ta’wil, ada juga yang mengatakan terjemah dari tafsir al-Jalalain, ini
adalah kitab tafsir pertama di Indonesia.
Namun menurut kajian yang dilakukan Ishlah Gusmian, tafsir yang pertama kali
muncul justeru Tafsir Surah al-Kahfi [18]: 9. Tafsir yang tidak diketahui
penulisnya ini muncul lebih awal dari tafsir Tarjuman al-Mustafid, yang muncul
pada abad XVII. Tafsir Surat al-Kahfi sendiri muncul pada abad XVI.
Pada periode selanjutnya, abad IX M, muncul ulama kenamaan
asal Banten, Imam Muhammad Nawawi al-Bantani. Imam Nawawi menulis sebuah karya
tafsir yang cukup monumental. Karya beliau ini berjudul Marh Labib atau lebih
dikenal Tafsir Munir li Ma’alim al-Tanzil.
Sejak periode abad XX M sampai sekarang, bermunculanlah
beragam kitab tafsir yang ditulis ulama Indonesia dengan berbagai coraknya.
Dalam hal ini, Indal Abror membaginya ke dalam tiga periode.
Periode pertama, awal abad XX M sampai tahun 1950-an. Pada
periode ini, tafsir ditulis dengan menggunakan metode ijmali (global) atau tarjamah
tafsiriyah (tarjamah maknawi). Di antara karya tafsir yang muncul pada periode
ini adalah al-Furqan, yang ditulis oleh A. Hassan. Penulisan kitab tafsir ini
dimulai tahun 1928, dan selesai tahun 1956. Selain itu, pada tahun 1937 muncul Tafsir
al-Qur’an Karim. Tafsir yang ditulis oleh H. A. Halim Hassan, H. Zainal Arifin
Abbas, dan Abdurrahman Haitami ini pada mulanya ditulis dalam bentuk majalah 20
halaman, yang terbit tiap bulan. Kedua karya tafsir ini sangat lekat diwarnai
oleh kepentingan madzhab. Selain kedua karya tafsir ini, muncul Tafsir Qoer’an
Indonesia yang diterbitkan oleh Muhammadiyyah. Karya tafsir yang muncul pada
tahun 1932 ini cenderung netral, tidak diwarnai kepentingan madzhab tertentu,
seperti dua karya tafsir di atas.
Periode selanjutnya, 1951-1980, karya tafsir Indonesia,
dalam penulisannya, memakai metode tahlili (detail). Pada periode ini muncul
tafsir yang cukup monumental, yaitu Tafsir al-Azhar. Tafsir yang masih populer
sampai saat ini, ditulis oleh Hamka. Tafsir ini ditulis pada saat suasana
politik tidak menentu, dimana bahaya komunis sedang marak. Sehingga, karya ini
banyak memberikan arahan kepada pembacanya dalam menghadapi aneka permasalahan
yang terjadi saat itu.
Pada periode tahun 1980-an sampai tahun 2000, sudah makin
banyak karya tafsir yang bermunculan. Pada
periode ini, penulis tafsir
cenderung memakai metode maudlu’i (tematik) dalam menulis karyanya. Di antara
karya tafsir pada periode ini adalah tafsir yang ditulis M. Quraish Shihab,
yaitu Wawasan al-Qur’an. Secara agak komprehensif, tafsir ini membahas beragam
permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat.
Melihat perkembangan tafsir Indonesia di atas, penulis melihat
masih sedikit tafsir yang ditulis dengan menyertakan dimensi
sosial-kemasyarakatan. Apalagi tafsir yang muncul sebelum dekade 1950-an.
Setelah periode ini, sudah mulai ada kitab tafsir yang memasukan dimensi sosial
tersebut. Hal ini bisa dilihat dari Tafsir al-Azhar. Selanjutnya, karya tafsir
yang lebih banyak mengulas dimensi sosial adalah tafsir yang muncul setelah
dekade 1990-an Dalam kajian Islah Gusmian, ada 24 karya tafsir yang muncul pada
perode tersebut. Walaupun tidak semuanya, karya tafsir yang banyak memakai
metode maudlu’i ini, sudah menunjukkan kecenderungan untuk memasukkan dimensi
sosial dalam karya tafsirnya. Dari 24 karya tafsir tersebut di ataranya Ensiklopedi
al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci karya Prof. M. Dawam
Rahardjo, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudlu’i Pelbagai Persoalan Umat karya Dr.
M. Quraish Shihab, MA., Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif al-Qur’an karya
Dr. Nasaruddin Umar, MA., Dalam Cahaya al-Qur’an: Tafsir Sosial Politik
al-Qur’an karya Syu’bah Asa, dsb.
Membangun
Dimensi Sosial Tafsir Indonesia
Melihat kondisi tafsir Indonesia di atas, penulis berkesimpulan,
al-Qur’an masih belum memberikan solusi terhadap para pembacanya. Hal ini bisa
dilihat dari masih banyaknya karya tafsir di Indonesia yang mengabaikan dimensi
sosial-kemasyarakatan. Sehingga karya tafsir hanyalah akumulasi dari paham
keagamaan semata. Padahal sejatinya, al-Qur’an, melalui tafsirnya, harus mampu
memberikan jalan keluar atau solusi terhadap permasalahan yang dihadapi
umatnya.
Mungkinkah menyusun karya tafsir yang banyak mengakomodasi
dimensi sosial, dengan kata lain, mungkinkah menulis karya tafsir yang solutif
terhadap kondisi umat? Tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Selain karena masih
membudayanya kajian al-Qur’an yang hanya menekankan tekstualitasnya saja, juga
masih banyaknya umat Islam yang kurang menguasai ilmu-ilmu sosial, yang notabene
diperlukan untuk menghubungkan al-Qur’an dengan dimensi sosial.
Walau demikian, jalan ke arah pembentukan dimensi sosial
tafsir Indonesia
masih terbuka. Dengan merujuk pada al-Manhaj al-Ijtima’i fi al-Tafsir yang
digagas Hassan Hanafi, penulis ingin menawarkan beberapa konsep dasar membangun
tafsir Indonesia
yang berdimensi sosial.
Pertama, dalam menafsirkan al-Qur’an, seorang penafsir
hendaknya tidak berangkat dari ruang kosong. Dalam arti, penafsiran berangkat
dari kondisi realitas yang membutuhkan solusi. Dalam hal ini, metode induktif
lebih cocok digunakan. Karena metode ini berangkat dari kasus-kasus untuk
kemudian mencari kesimpulan. Demikian juga tafsir, berawal dari kondisi sosial,
dengan berlandaskan al-Qur’an, ditarik sebuah makna yang solutif.
Kedua, dengan begitu, tentu harus ditetapkan tujuan yang
jelas dari penafsiran. Seperti sudah ditekankan di atas, tujuan ini tentunya mencari
solusi bagi problem sosial yang dihadapi umat. Ketiga, penelusuran terhadap
ayat-ayat al-Qur’an yang dilakukan tentu bukanlah pemaknaan yang parsial dan
dangkal. Penelusuran ini harus diarahkan kepada pencarian weltanschaung atau world
view al-Qur’an. Dengan begitu, pesan utama al-Qur’an bisa kita raih.
Keempat, penafsiran yang dibangun haruslah sebuah penafsiran
yang transformatif. Artinya, pemahaman terhadap al-Qur’an adalah pemahaman yang
hidup dan menggerakkan. Bukan pemahaman yang mati dan beku. Sehingga,
penafsiran bisa membawa dampak besar dalam perubahan dan perjalanan sejarah.
Semoga ke depan, kita bisa lebih memosisikan al-Qur’an
sebagai sebuah kitab suci yang hidup. Kitab suci yang mampu membawa perubahan
bagi perjalanan sejarah umat manusia. Sehingga cita-cita yang pernah ditegaskan
Rasulullah Muhammad, agar menjadikan hari-hari kita semakin membaik dari waktu
ke waktu, dapat terlaksana. [taken from : (atthidayat.wordpress.com)]
DAFTAR PUSTAKA
Abror, Indal, “Potret Kronologis Tafsir Indonesia”, ESENSIA, Vol. 3, No. 2, Juli 2002.
Federspiel, Howard M. Kajian al-Qur’an di Indonesia: dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab, terj. Drs. Tajul Arifin, MA. Bandung: Mizan, 1996.
Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutika hingga Ideologi. Jakarta: Teraju, 2003.
Jansen, J. J. G. Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern, terj. Hairussalim, dkk. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997.
Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan. Jakarta: Paramadina, 2000.
al-Muhtasib, Abdul Majid Abdussalam. Visi dan Paradigma Tafsir al-Qur’an Kontemporer, terj. Moh. Maghfur Wachid. Bangil: al-Izzah, 1997.
Mustaqim, Abdul. Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran al-Qur’an Periode Klasik hingga Kontemporer. Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003.
Mustaqim, Abdul dan Syahiron Syamsudin (Ed.). Studi al-Qur’an Kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar