Minggu, 22 Desember 2013

Dakwah Melalui Media Televisi



Dakwah Melalui Media Televisi
Ust H Hasbullah Ahmad
Praktikum Jurusan KPI Fakultas Ushuluddin IAIN STS Jambi
Aula Fakultas Ushuluddin Jambi, 23 Desember 2013

Pemanfaatan televisi sebagai media dakwah
Arti penting sebuah media (wasilah) dalam proses dakwah tidak dapat dipungkiri lagi. Permasalahanya sekarang terletak pada kemauan dan kejelian para da’i dalam melihat media mana yang paling tepat dipakai berdasarkan kemampuanya sebagai da’i maupun spesifikasi mad’u yang menjadi lahan garapannya. pada dasarnya dakwah dapat menggunakan berbagai wasilah yang dapat merangsang indra-indra manusia serta dapat menimbulkan perhatian untuk menerima dakwah. Semakin tepat dan efektif wasilah yang dipakai maka semakin efektif pula upaya pemahaman ajaran Islam pada masyarakat yang menjadi sasaran dakwah.
            Pemakaian media (terutama media massa) telah meningkatakan intensitas, kecepatan, dan jangkauan komunikasi yang dilakukan umat manusia terutama bila dibandingkan sebelum adanya media massa seperti pers, radio, televisi, internet dan sebagainya. Oleh karena itu sudah seyogyanya bagi para da’i memanfaatkan peluang ini dalam menyebarkan ajaran Islam diantaranya menggunakan televisi.
Sebagaimana film, media televisi juga merupakan media yang bersifat audio visual, artinya selain bisa didengar juga bisa dilihat. Oleh sebagian besar masyarakat Indonesia televisi dijadikan sebagai sarana hiburan dan sumber informasi utama. Di beberapa daerah di negeri ini masyarakat banyak menghabiskan waktunya untuk melihat televisi. Kalau dakwah Islam dapat memanfaatkan media ini dengan efektif, maka secara otomatis jangkauan dakwah akan lebih luas dan kesan keagamaan yang ditimbulkan akan lebih dalam.
            Sesungguhnya televisi merupakan penggabungan antara radio dan film, sebab media ini, meneruskan peristiwa dalam bentuk gambar hidup dengan suara bahkan dengan warna ketika peristiwa itu berlangsung. Oleh karena itu kekurangan film mengenai aktualitasnya dapat ditutupi. Pendek kata keunikan-keunikan pada radio dan film terangkum seluruhnya dalam televisi dan sebaliknya kekurangan-kekurangan pada radio dan film sudah tidak ditemukan dalam televisi. Namun seberapapun besar keunggulan media televisi, belum mampu merangkum beberapa keunggulan dalam media massa lainnya terutama media cetak seperti surat kabar, koran dan lain sebagainya.
            Dalam menyampaikan materi dakwahnya (maddah), para da’i harus sanantiasa merujuk pada Al-Qur’an dan Hadits. Keduanya harus menjadi pegangan dalam setiap aktivitas dakwah apapun, dimanapun, kapanpun, dan menggunakan media apapun termasuk televisi. Dalam menyampaikan materi dakwahnya Al-Qur’an terlebih dulu meletakan prinsipnya bahwa manusia yang dihadapi (mad’u) adalah makhluk yang terdiri atas unsur jasmani, akal dan jiwa, sehingga ia harus dilihat dan diperlakukan dengan keseluruhan unsur-unsurnya secara serempak dan simultan. Baik dari segi materi maupun waktu penyajiannya.  Quraish Shihab mengungkapkan bahwa materi dakwah yang disajikan oleh Al-Qur’an dibuktikan kebenarannya dengan argumentasi yang dipaparkan atau dapat dibuktikan manusia melalui penalaran akalnya, kenyataan ini dapat ditemui pada hampir setiap permisalan yang disajikan oleh Al-Qur’an. Ada kalanya Al-Qur’an menuntun manusia dengan redaksi yang sangat jelas dan dengan tahapan pemikiran yang sistematis sehingga manusia menemukan sendiri kebenarannya. Sedangkan untuk menunjang tercapainya target yang di inginkan dalam penyajian materi-materinya, Al-Qur’an menempuh metode-metode sebagai berikut;
1.      Mengemukakan kisah-kisah yang bertalian dengan salah satu tujuan materi.
2.      Nasihat dan panutan.  dalam hal ini Al-Qur’an menggunakan kalimat-kalimat yang menyentuh hati untuk mengarahkan manusia pad ide-ide yang dikehendakinya.
3.      Pembiasaan. Pembiasaan mempunyai peranan yang sangat besar dalam kehidupan manusia. Dengan kebiasaan seseorang mampu melakukan hal-hal penting dan berguna tanpa memerlukan energi dan waktu yang banyak.
Mencermati uraian diatas hendaknya materi dakwah dalam televisi hendaknya tetap mengacu pada kedua sumber pokok ajaran Islam tersebut. Adapun metode penyampaian pesannya bisa dengan cara mengemukakan kisah-kisah yang berkaitan dengan tujuan materi.

Hal ini bisa dilakukan dengan format:
1.      Mutiara Kata
2.      Kultum
3.      Ceramah
4.      Dialog interaktif
5.      Sinetron
6.      Musik Islami
7.      Talk show Keislaman
8.      Film documenter dan lain-lain
Disamping beberapa format acara diatas bisa juga dikembangkan varian acara yang lain yang dapat menunjang dakwah.

Kelebihan televisi sebagai media dakwah
Kelebihan televisi sebagai media dakwah jika dibandingkan dengan media yang lainya adalah;
1.      Media televisi memiliki jangkauan yang sangat luas sehingga ekspansi dakwah dapat menjangkau tempat yang lebih jauh. Bahkan pesan-pesan dakwah bisa disampaikan pada mad’u yang berada di tempat-tempat yang tidak sulit dijangkau.
2.      Media televisi mampu menyentuh mad’u yang heterogen dan dalam jumlah yang besar. Hal ini sesuai dengan salah satu kharakter komunikasi massa yaitu komunikan yang heterogen dan tersebar. Kelebihan ini jika dimanfaatkan dengan baik tentu akan berpengaruh positif dalam aktifitas dakwah. Seorang da’i yang bekerja dalam ruang yang sempit dan terbatas bisa menjangkau mad’u yang jumlahnya bisa jadi puluhan juta dalam satu sesi acara.
3.      Media televisi mampu menampung berbagai varian metode dakwah sehingga membuka peluang bagi para da’i memacu kreatifitas dalam mengembangkan metode dakwah yang paling efektif.
4.      Media televisi bersifat audio visual. Hal ini memungkinkan dakwah dilakukan dengan menampilkan pembicaraan sekaligus visualisai berupa gambar.

Kelemahan televisi sebagai media dakwah
Selain memiliki beberapa kelebihan sebagaimana disebutkan diatas, dakwah menggunakan media televisi juga mempunyai berbagai kelemahan. Dalam kasus Indonesia hal ini tidak bisa dilepaskan dari kondisi pertelevisian yang ada. Dalam bidang sinetron misalnya, Srikit Syah seorang pemerhati pendidikan mengungkapkan bahwa sinetron Indonesia berkembang dari segi jumlah, namun kualitasnya memprihatinkan. Ceritanya menjual mimpi, jauh dari kenyataan. Sinetron yang mendominasi jam tayang utama tak jauh beda dari sinetron Amerika Latin, Thailand dan Philipina. Hal ini berbeda dengan India yang mempunyai ciri khas budaya yang kuat dan konsisten. Sedangkan Indonesia seringkali mencontoh kostum Beverly Hills, Plot Konflik, Melrose Place, dan melodrama Maria Marcedes dalam suguhanya .
            Demikian pula “sinetron Islami” yang sering kita lihat selama ini sebagian besar belum mencerminkan ajaran Islam yang sesungguhnya. Bahkan terkadang ada suguhan adegan-adegan yang tidak layak ditampilkan dan menyalahi norma ke-Islaman. Disamping itu masih ada beberapa kondisi memprihatinkan lainya dari pertelevisian Indonesia. Secara umum kelemahan-kelemahan itu antara lain;
1.      Cost yang terlalu tinggi untuk membuat sebuah acara Islami di televisi
2.      Terkadang tejadi percampuran antara yang haq dan yang bathil dalam acara-acara televisi
3.      Dunia pertelevisian yang cenderung kapitalistik dan profit oriented
4.      Adanya tuduhan menjual ayat-ayat Qur’an ketika berdakwah di televisi
5.      Keikhlasan seorang da’i yang terkadang masih diragukan
6.      Terjadinya mad’u yang mengambang
7.      Kurangnya keteladanan yang di perankan oleh para artis karena perbedaan kharakter ketika berada didalam dan di luar panggung.
Keberadaan media dakwah sebagai sarana penunjang keberhasilan dakwah menjadi sebuah keharusan. Oleh karena itu sudah selayaknya bagi para da’i untuk membekali diri dengan berbagai kemampuan guna pemanfaatan media yang ada sehingga dakwah dapat dijalankan secara lebih efektif dan efisien. Salah satu media dakwah yang cukup efektif dan harus betul-betul dimanfaatkan dengan baik saat ini adalah televisi.
            Terlepas dari beberapa kekurangan yang ada di dalamnya televisi memiliki potensi yang luar biasa dalam dakwah terutama dari faktor jangkauan transmisinya yang begitu luas, mad’u yang heterogen serta kekuatannya untuk menampung berbagai varian metode dakwah.

Sabtu, 14 Desember 2013

REVITALISASI MAKNA ASWAJA DALAM PRESPEKTIF NU & PMII



SEKOLAH ASWAJA 1
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Kota Jambi

REVITALISASI MAKNA ASWAJA DALAM PRESPEKTIF NU & PMII
Oleh Ust H Hasbullah Ahmad

Aswaja Dalam Prespektif NU
Pemaknaan Aswaja sebagai manhajul fikr belum mampu menjawab problem sinergisitas gerakan NU sehingga muncul pemaknaan baru Aswaja sebagai manhajul harakah, tata nilainya dapat menggerakkan jamaah NU lebih siap menghadapi tantangan jaman, tidak sekedar kesiapan individu, namun jam’iyyahnya. Prinsip-prinsip ahlussunnah tidak sekedar menjadi landasan dalam berpikir, tetapi harus menjadi landasan pergerakan bagi warga NU. Tidak lagi pesan moral untuk membela kaum mustadhafin, tetapi advokasi nyata. Aswaja tidak lagi sekedar ranah berpikir yang terkungkung dalam tek-teks suci, tetapi harus menjadi ranah bertindak (dakwah bil hal). Maka Jangan Sampai dikatakan “NU kaya teks miskin konteks”.
            Pada perkembangan berikutnya lahirlah doktrin ASWAJA annahdliyah yang dimotori oleh Syekh K.H. Hasyim Asy’ari (Ra’is Akbar NU pertama). Dengan secara tekstual menjadikan al-Qur'an dan al-Hadits sebagai landasan utamanya. Serta fiqih/usul fiqih (Ijma' dan Qiyas, serta maslahatul mursalah) sebagai landasan kontekstualnya, sehingga dari kedua landasan tersebut, lahir dialektika antara teks dan konteks dalam mengambil keputusan, tindakan, pemikiran, dll. Maka tidak ada lain pola fikir yang dikedepankan adalah menolak bahaya (madlarat), mendatangkan kebaikan (maslahah). Dengan mengedepankan prinsip umum “al-muhafadzotu alaa godimi al-sholikh, wal akhdzu bi aljadiidil aslakh”, Yakni menjaga tradisi lama yang baik, dan mengembangkan (kreatif) sesuatu baru yang lebih baik”.
            Dalam konteks itulah, pemuda NU seharusnya tetap belajar sejarah teks aswaja kemudian secara cerdas mengkontekskan dalam realitas kehidupan. Teks aswaja tetap harus dipegang teguh, baik sebagai tradisi NU, manhajul fikr, maupun manhajul harakah dengan keberpihakan yang jelas kepada kepentingan rakyat baik aspek ekonomi, politik, maupun budaya. Kemudian mengkontekskan dalam aksi nyata advokasi pembelaan terhadap kaum mustadhafin. NU sebagai organisasi masyarakat sudah seharusnya menjadi pelopor keberdayaan rakyat. Gerakan muda yang terjebak dalam pragmatisme sesaat tanpa peduli dengan kaum mustadhafin atau demi kepentingannya sendiri bisa dikatakan pengingkaran terhadap norma aswaja. Gerakan muda NU di manapun posisinya seharusnya mempunyai visi yang sama menegakkan nilai-nilai aswaja. Visi yang sama seharusnya menjadi tujuan utama untuk membangun kekuatan strategis warga NU untuk melakukan pemberdayaan masyarakat sipil. Implimentasinya : untuk membangun kekuatan strategis warga NU untuk melakukan pemberdayaan masyarakat sipil.

Aswaja Dalam Prespektif PMII
PMII memandang bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang memilki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan dengan berlandaskan atas dasar moderasi, menjaga keseimbangan dan toleran. Aswaja bukan sebagai madzhab melainkan sebagai metode dan prinsip berfikir dalam menghadapi persoalan-persoalan agama sekaligus urusan sosial kemasyarakatan.
            Sebagai Manhaj al-Fikr PMII berpegang teguh pada prinsip-prinsip tawassut (moderat), tawazun (netral), ta’adul (keseimbangan), dan tasammuh (toleran). Moderat tercermin dalam bidang hukum, sikap netral (tawazun) berkaitan dengan sikap politik, keseimbangan (ta’adul) dan toleran (tasammuh) terefleksikan dalam kehidupan sosial, cara bergaul dalam kondisi sosial budaya masyarakat.
            PMII menjadikan ahlussunnah wal jama'ah sebagai manhaj al-fikr sekaligus manhaj al-taghayyur al-ijtima'i (perubahan sosial) untuk mendekonstruksikan sekaligus merekonstruksi bentuk-bentuk pemahaman dan aktualisasi ajaran-ajaran agama yang toleran, humanis, anti-kekerasan, dan kritis-transformatif.   Bagi PMII, Aswaja merupakan basis dasar nilai organisasi. Hal ini berarti kehidupan dan gerakan PMII senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai tersebut sehingga secara langsung membentuk identitas komunitas. Lebih dari itu, Aswaja merupakan inspirasi gerakan dan sekaligus alat bergerak yang membimbing para aktivisnya dalam memperjuangkan cita-cita kebangsaan dan kemanusiaan. Ini sudah dibuktikan misalnya komitmen gerakan yang tidak melenceng dari cita-cita kebangsaan itu, sementara di sisi lain tetap berkomitmen dengan cita-cita Islam yang humanis, pluralis, demokratis, egaliter, dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan.
            Di atas landasan ini pula organisasi PMII bergerak membangun jati diri komunitasnya dan arah gerakannya. Sedangakan kontekstualisasi nilai-nilai yang terkandung dalam Maqosidu Al-Syar'iy : Hifzunnafs Menjaga hak hidup (hak azazi manusia), Hifdzuddin pluralisme (kebebasan berkeyakinan), Hifdzul 'aqli (kebebasan berfikir), Hifdzulmaal (kebebasan mencari penghidupan), hifdzul nasab (kearifan lokal) dan PMII menjadikan Aswaja sebagai salah satu nilai, dan instrumem dalam beridiologi, sebagai doktrin fikir dan gerak kader, sebagai nilai disiplin berorganisasi, dikarenakan selain PMII lahir dari dinamika perkembangan pemikiran anak muda NU, Aswaja juga memiliki landasan histories dengan risalah kenabian, makna risalah Agama Islam, konteks masuknya Islam di Indonesia dan perkembangannya, serta selaras dengan nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah bangsa, Pancasila.
            Implementasi nilai Aswaja dalam realitas sosial menjadi sangat penting, di situlah identitas kita akan terlihat, di situlah disiplin nilai akan terbukti, di situlah letak dedikasi kader terhadap organisasi, loyalitas kader terhadap sesama kader. Misalnya; membiasakan hubungan saling tolong menolong (tawa’awun), disiplin waktu, menciptakan hubungan kebersamaan (Romunitarian) dalam PMII, hubungan timbal balik dalam hal bisnis, menjaga ritus dan tradisi Islam Indonesia, ke-NU-an, dan tradisi positif, berbasis lokal lainnya.

Senin, 18 November 2013

Wanita dalam Islam



Materi Bela Negara bagi Dharma Wanita Setda Kab Muaro Jambi
 Wanita dalam Islam
Ust H Hasbullah Ahmad
Al-Quran berbicara tentang perempuan dalam berbagai ayatnya. Pembicaraan tersebut menyangkut berbagai sisi kehidupan. Ada ayat yang berbicara tentang hak dan kewajibannya, ada pula yang menguraikan keistimewaan-keistimewaan tokoh-tokoh perempuan dalam sejarah agama atau kemanusiaan.

Secara umum surah Al-Nisa' ayat 32, menunjuk kepada hak-hak perempuan:
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ
Bagi lelaki hak (bagian) dari apa yang dianugerahkan kepadanya dan bagi perempuan hak (bagian) dari apa yang dianugerahkan kepadanya.

Berikut ini akan dikemukakan beberapa hak yang dimiliki oleh kaum perempuan menurut pandangan ajaran Islam. Diantara Hak-hak Perempuan dalam Bidang Politik dan Bela Negara Salah satu ayat yang seringkali dikemukakan oleh para pemikir Islam dalam kaitan dengan hak-hak politik dan bela Negara bagi kaum perempuan adalah yang tertera dalam surah Al-Tawbah ayat 71:
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ أُوْلاَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللهُ إِنَّ اللهَ عَزِيزٌ حَكِيمُ
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah awliya' bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh untuk mengerjakan yang ma'ruf, mencegah yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.

Secara umum, ayat di atas dipahami sebagai gambaran tentang kewajiban melakukan kerja sama antarlelaki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan yang dilukiskan dengan kalimat menyuruh mengerjakan yang ma'ruf dan mencegah yang munkar.

Kata awliya', dalam pengertiannya, mencakup kerja sama, bantuan dan penguasaan, sedang pengertian yang dikandung oleh "menyuruh mengerjakan yang ma'ruf" mencakup segala segi kebaikan atau perbaikan kehidupan, termasuk memberi nasihat (kritik) kepada penguasa. Dengan demikian, setiap lelaki dan perempuan Muslimah hendaknya mampu mengikuti perkembangan masyarakat agar masing-masing mereka mampu melihat dan memberi saran (nasihat) dalam berbagai bidang kehidupan.

Keikutsertaan perempuan bersama dengan lelaki dalam kandungan ayat di atas tidak dapat disangkal, sebagaimana tidak pula dapat dipisahkan kepentingan perempuan dari kandungan sabda Nabi Muhamad saw.: Barangsiapa yang tidak memperhatikan kepentingan (urusan) kaum Muslim, maka ia tidak termasuk golongan mereka. Kepentingan (urusan) kaum Muslim mencakup banyak sisi yang dapat menyempit atau meluas sesuai dengan latar belakang pendidikan seseorang, tingkat pendidikannya. Dengan demikian, kalimat ini mencakup segala bidang kehidupan termasuk bidang kehidupan politik.  Di sisi lain, Al-Quran juga mengajak umatnya (lelaki dan perempuan) untuk bermusyawarah, melalui pujian Tuhan kepada mereka yang selalu melakukannya.
وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ
Urusan mereka (selalu) diputuskan dengan musyawarah (QS al-Syura 42:38).
Ayat ini dijadikan pula dasar oleh banyak ulama untuk membuktikan adanya hak berpolitik bagi setiap lelaki dan perempuan.

Syura (musyawarah) telah merupakan salah satu prinsip pengelolaan bidang-bidang kehidupan bersama menurut Al-Quran, termasuk kehidupan politik, dalam arti setiap warga masyarakat dalam kehidupan bersamanya dituntut untuk senantiasa mengadakan musyawarah.

Atas dasar ini, dapat dikatakan bahwa setiap lelaki maupun perempuan memiliki hak tersebut, karena tidak ditemukan satu ketentuan agama pun yang dapat dipahami sebagai melarang keterlibatan perempuan dalam bidang kehidupan bermasyarakat --termasuk dalam bidang politik. Bahkan sebaliknya, sejarah Islam menunjukkan betapa kaum perempuan terlibat dalam berbagai bidang kemasyarakatan, tanpa kecuali.

Al-Quran juga menguraikan permintaan para perempuan pada zaman Nabi untuk melakukan bay'at (janji setia kepada Nabi dan ajarannya), sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Mumtahanah ayat 12.
يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَآءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ عَلَى أَن لاَّيُشْرِكْنَ بِاللهِ شَيْئًا وَلاَيَسْرِقْنَ وَلاَيَزْنِينَ وَلاَيَقْتُلْنَ أَوْلاَدَهُنَّ وَلاَيَأْتِينَ بِبُهْتَانٍ يَفْتَرِينَهُ بَيْنَ أَيْدِيهِنَّ وَأَرْجُلِهِنَّ وَلاَيَعْصِينَكَ فِي مَعْرُوفٍ فَبَايِعْهُنَّ وَاسْتَغْفِرْ لَهُنَّ اللهَ إِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Sementara, pakar agama Islam menjadikan bay'at para perempuan itu sebagai bukti kebebasan perempuan untuk menentukan pilihan atau pandangannya yang berkaitan dengan kehidupan serta hak mereka. Dengan begitu, mereka dibebaskan untuk mempunyai pilihan yang berbeda dengan pandangan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, bahkan terkadang berbeda dengan pandangan suami dan ayah mereka sendiri.

Harus diakui bahwa ada sementara ulama yang menjadikan firman Allah dalam surah Al-Nisa' ayat 34, الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَآءِ Lelaki-lelaki adalah pemimpin perempuan-perempuan... sebagai bukti tidak bolehnya perempuan terlibat dalam persoalan politik. Karena --kata mereka-- kepemimpinan berada di tangan lelaki, sehingga hak-hak berpolitik perempuan pun telah berada di tangan mereka. Pandangan ini bukan saja tidak sejalan dengan ayat-ayat yang dikutip di atas, tetapi juga tidak sejalan dengan makna sebenarnya yang diamanatkan oleh ayat yang disebutkan itu. Ayat Al-Nisa' 34 itu berbicara tentang kepemimpinan lelaki (dalam hal ini suami) terhadap seluruh keluarganya dalam bidang kehidupan rumah tangga. Kepemimpinan ini pun tidak mencabut hak-hak istri dalam berbagai segi, termasuk dalam hak pemilikan harta pribadi dan hak pengelolaannya walaupun tanpa persetujuan suami.

Kenyataan sejarah menunjukkan sekian banyak di antara kaum wanita yang terlibat dalam soal-soal politik praktis. Ummu Hani misalnya, dibenarkan sikapnya oleh Nabi Muhammad saw. ketika memberi jaminan keamanan kepada sementara orang musyrik (jaminan keamanan merupakan salah satu aspek bidang politik). Bahkan istri Nabi Muhammad saw. sendiri, yakni Aisyah r.a., memimpin langsung peperangan melawan 'Ali ibn Abi Thalib yang ketika itu menduduki jabatan Kepala Negara. Isu terbesar dalam peperangan tersebut adalah soal suksesi setelah terbunuhnya Khalifah Ketiga, Utsman r.a. Peperangan itu dikenal dalam sejarah Islam dengan nama Perang Unta (656 M). Keterlibatan Aisyah r.a. bersama sekian banyak sahabat Nabi dan kepemimpinannya dalam peperangan itu, menunjukkan bahwa beliau bersama para pengikutnya itu menganut paham kebolehan keterlibatan perempuan dalam politik praktis sekalipun.

Hak-hak Perempuan dalam Memilih Pekerjaan
Kalau kita kembali menelaah keterlibatan perempuan dalam pekerjaan pada masa awal Islam, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Islam membenarkan mereka aktif dalam berbagai aktivitas. Para wanita boleh bekerja dalam berbagai bidang, di dalam ataupun di luar rumahnya, baik secara mandiri atau bersama orang lain, dengan lembaga pemerintah maupun swasta, selama pekerjaan tersebut dilakukannya dalam suasana terhormat, sopan, serta selama mereka dapat memelihara agamanya, serta dapat pula menghindari dampak-dampak negatif dari pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya.

Secara singkat, dapat dikemukakan rumusan menyangkut pekerjaan perempuan yaitu bahwa "perempuan mempunyai hak untuk bekerja, selama pekerjaan tersebut membutuhkannya dan atau selama mereka membutuhkan pekerjaan tersebut". Pekerjaan dan aktivitas yang dilakukan oleh perempuan pada masa Nabi cukup beraneka ragam, sampai-sampai mereka terlibat secara langsung dalam peperangan-peperangan, bahu-membahu dengan kaum lelaki. Nama-nama seperti Ummu Salamah (istri Nabi), Shafiyah, Laila Al-Ghaffariyah, Ummu Sinam Al-Aslamiyah, dan lain-lain, tercatat sebagai tokoh-tokoh yang terlibat dalam peperangan. Ahli hadis, Imam Bukhari, membukukan bab-bab dalam kitab Shahih-nya, yang menginformasikan kegiatan-kegiatan kaum wanita, seperti Bab Keterlibatan Perempuan dalam Jihad, Bab Peperangan Perempuan di Lautan, Bab Keterlibatan Perempuan Merawat Korban, dan lain-lain.

Di samping itu, para perempuan pada masa Nabi saw. aktif pula dalam berbagai bidang pekerjaan. Ada yang bekerja sebagai perias pengantin, seperti Ummu Salim binti Malhan yang merias, antara lain, Shafiyah bin Huyay--istri Nabi Muhammad saw. Ada juga yang menjadi perawat atau bidan, dan sebagainya.

Dalam bidang perdagangan, nama istri Nabi yang pertama, Khadijah binti Khuwailid, tercatat sebagai seorang yang sangat sukses. Demikian juga Qilat Ummi Bani Anmar yang tercatat sebagai seorang perempuan yang pernah datang kepada Nabi untuk meminta petunjuk-petunjuk dalam bidang jual-beli. Dalam kitab Thabaqat Ibnu Sa'ad, kisah perempuan tersebut diuraikan, di mana ditemukan antara lain pesan Nabi kepadanya menyangkut penetapan harga jual-beli. Nabi memberi petunjuk kepada perempuan ini dengan sabdanya: Apabila Anda akan membeli atau menjual sesuatu, maka tetapkanlah harga yang Anda inginkan untuk membeli atau menjualnya, baik kemudian Anda diberi atau tidak. (Maksud beliau jangan bertele-tele dalam menawar atau menawarkan sesuatu).

Istri Nabi saw., Zainab binti Jahsy, juga aktif bekerja sampai pada menyamak kulit binatang, dan hasil usahanya itu beliau sedekahkan. Raithah, istri sahabat Nabi Abdullah ibn Mas'ud, sangat aktif bekerja, karena suami dan anaknya ketika itu tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarga ini. Al-Syifa', seorang perempuan yang pandai menulis, ditugaskan oleh Khalifah Umar r.a. sebagai petugas yang menangani pasar kota Madinah.

Demikian sedikit dari banyak contoh yang terjadi pada masa Rasul saw. dan sahabat beliau menyangkut keikutsertaan perempuan dalam berbagai bidang usaha dan pekerjaan. Di samping yang disebutkan di atas, perlu juga digarisbawahi bahwa Rasul saw. banyak memberi perhatian serta pengarahan kepada perempuan agar menggunakan waktu sebaik-baiknya dan mengisinya dengan pekerjaan-pekerjaan yang bermanfaat. Dalam hal ini, antara lain, beliau bersabda:
Sebaik-baik "permainan" seorang perempuan Muslimah di dalam rumahnya adalah memintal/menenun. (Hadis diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dari Abdullah bin Rabi' Al-Anshari).
Aisyah r.a. diriwayatkan pernah berkata: "Alat pemintal di tangan perempuan lebih baik daripada tombak di tangan lelaki."

Tentu saja tidak semua bentuk dan ragam pekerjaan yang terdapat pada masa kini telah ada pada masa Nabi saw. Namun, sebagaimana telah diuraikan di atas, ulama pada akhirnya menyimpulkan bahwa perempuan dapat melakukan pekerjaan apa pun selama ia membutuhkannya atau pekerjaan itu membutuhkannya dan selama norma-norma agama dan susila tetap terpelihara.

Dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh setiap orang, termasuk kaum wanita, mereka mempunyai hak untuk bekerja dan menduduki jabatan jabatan tertinggi. Dalam beberapa kitab hukum Islam, seperti Al-Mughni, ditegaskan bahwa "setiap orang yang memiliki hak untuk melakukan sesuatu, maka sesuatu itu dapat diwakilkannya kepada orang lain, atau menerima perwakilan dari orang lain". Atas dasar kaidah itu, Dr. Jamaluddin Muhammad Mahmud berpendapat bahwa berdasarkan kitab fiqih, bukan sekadar pertimbangan perkembangan masyarakat kita jika kita menyatakan bahwa perempuan dapat bertindak sebagai pembela dan penuntut dalam berbagai bidang.

Hak dan Kewajiban Belajar
Terlalu banyak ayat Al-Quran dan hadis Nabi saw. yang berbicara tentang kewajiban belajar, baik kewajiban tersebut ditujukan kepada lelaki maupun perempuan. Wahyu pertama dari Al-Quran adalah perintah membaca atau belajar, Baik lelaki maupun perempuan diperintahkan untuk menimba ilmu sebanyak mungkin, mereka semua dituntut untuk belajar: Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap Muslim (dan Muslimah).

Para perempuan di zaman Nabi saw. menyadari benar kewajiban ini, sehingga mereka memohon kepada Nabi agar beliau bersedia menyisihkan waktu tertentu dan khusus untuk mereka dalam rangka menuntut ilmu pengetahuan. Permohonan ini tentu saja dikabulkan oleh Nabi saw.
Al-Quran memberikan pujian kepada ulu al-albab, yang berzikir dan memikirkan tentang kejadian langit dan bumi. Zikir dan pemikiran menyangkut hal tersebut akan mengantar manusia untuk mengetahui rahasia-rahasia alam raya ini, dan hal tersebut tidak lain dari pengetahuan. Mereka yang dinamai ulu al-albab tidak terbatas pada kaum lelaki saja, tetapi juga kaum perempuan. Hal ini terbukti dari ayat yang berbicara tentang ulu al-albab yang dikemukakan di atas. Setelah Al-Quran menguraikan tentang sifat-sifat mereka, ditegaskannya bahwa:
فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّى لآَأُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِّنكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى
Maka Tuhan mereka mengabulkan permohonan mereka dengan berfirman: "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik lelaki maupun perempuan..." (QS 3:195).

Ini berarti bahwa kaum perempuan dapat berpikir, mempelajari dan kemudian mengamalkan apa yang mereka hayati dari zikir kepada Allah serta apa yang mereka ketahui dari alam raya ini. Pengetahuan menyangkut alam raya tentunya berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu, sehingga dari ayat ini dapat dipahami bahwa perempuan bebas untuk mempelajari apa saja, sesuai dengan keinginan dan kecenderungan mereka masing-masing.

Banyak wanita yang sangat menonjol pengetahuannya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan yang menjadi rujukan sekian banyak tokoh lelaki. Istri Nabi, Aisyah r.a., adalah seorang yang sangat dalam pengetahuannya serta dikenal pula sebagai kritikus. Sampai-sampai dikenal secara sangat luas ungkapan yang dinisbahkan oleh sementara ulama sebagai pernyataan Nabi Muhammad saw.: Ambillah setengah pengetahuan agama kalian dari Al-Humaira' (Aisyah).
Demikian juga Sayyidah Sakinah putri Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib. Kemudian Al-Syaikhah Syuhrah yang digelari Fakhr Al-Nisa' (Kebanggaan Perempuan) adalah salah seorang guru Imam Syafi'I  (tokoh mazhab yang pandangan-pandangannya menjadi anutan banyak umat Islam di seluruh dunia), dan masih banyak lagi lainnya.

Imam Abu Hayyan mencatat tiga nama perempuan yang menjadi guru-guru tokoh mazhab tersebut, yaitu Mu'nisat Al-Ayyubiyah (putri Al-Malik Al-Adil saudara Salahuddin Al-Ayyubi), Syamiyat Al-Taimiyah, dan Zainab putri sejarahwan Abdul-Latif Al-Baghdadi.  Kemudian contoh wanita-wanita yang mempunyai kedudukan ilmiah yang sangat terhormat adalah Al-Khansa', Rabi'ah Al-Adawiyah, dan lain-lain.

Rasul saw. tidak membatasi anjuran atau kewajiban belajar hanya terhadap perempuan-perempuan merdeka (yang memiliki status sosial yang tinggi), tetapi juga para budak belian dan mereka yang berstatus sosial rendah. Karena itu, sejarah mencatat sekian banyak perempuan yang tadinya budak belian mencapai tingkat pendidikan yang sangat tinggi. Al-Muqarri, dalam bukunya Nafhu Al-Thib, sebagaimana dikutip oleh Dr. Abdul Wahid Wafi, memberitakan bahwa Ibnu Al-Mutharraf, seorang pakar bahasa pada masanya, pernah mengajarkan seorang perempuan liku-liku bahasa Arab. Sehingga sang wanita pada akhirnya memiliki kemampuan yang melebihi gurunya sendiri, khususnya dalam bidang puisi, sampai ia dikenal dengan nama Al-Arudhiyat karena keahliannya dalam bidang ini.

Harus diakui bahwa pembidangan ilmu pada masa awal Islam belum lagi sebanyak dan seluas masa kita dewasa ini. Namun, Islam tidak membedakan antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya, sehingga seandainya mereka yang disebut namanya di atas hidup pada masa kita ini, maka tidak mustahil mereka akan tekun pula mempelajari disiplin-disiplin ilmu yang berkembang dewasa ini. Dalam hal ini, Syaikh Muhammad 'Abduh menulis: "Kalaulah kewajiban perempuan mempelajari hukum-hukum agama kelihatannya amat terbatas, maka sesungguhnya kewajiban mereka untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangga, pendidikan anak, dan sebagainya yang merupakan persoalan-persoalan duniawi (dan yang berbeda sesuai dengan perbedaan waktu, tempat dan kondisi) jauh lebih banyak daripada soal-soal keagamaan.

Demikian sekilas menyangkut hak dan kewajiban perempuan dalam bidang pendidikan.
Tentunya masih banyak lagi yang dapat dikemukakan menyangkut hak-hak kaum perempuan dalam berbagai bidang. Namun, kesimpulan akhir yang dapat ditarik adalah bahwa mereka, sebagaimana sabda Rasul saw., adalah Syaqa'iq Al-Rijal (saudara-saudara sekandung kaum lelaki) sehingga kedudukannya serta hak-haknya hampir dapat dikatakan sama. Kalaupun ada yang membedakan, maka itu hanyalah akibat fungsi dan tugas-tugas utama yang dibebankan Tuhan kepada masing-masing jenis kelamin itu, sehingga perbedaan yang ada tidak mengakibatkan yang satu merasa memiliki kelebihan atas yang lain:
وَلاَ تَتَمَنَّوْا مَافَضَّلَ اللهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ وَسْئَلُوا اللهَ مِن فَضْلِهِ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain, karena bagi lelaki ada bagian dari apa yang mereka peroleh (usahakan) dan bagi perempuan juga ada bagian dari apa yang mereka peroleh (usahakan) dan bermohonlah kepada Allah dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (QS 4:32).