Materi Bela Negara bagi Dharma Wanita Setda Kab Muaro Jambi
Wanita
dalam Islam
Ust H Hasbullah Ahmad
Al-Quran berbicara tentang
perempuan dalam berbagai ayatnya. Pembicaraan tersebut menyangkut berbagai sisi
kehidupan. Ada ayat yang berbicara tentang hak dan kewajibannya, ada pula yang
menguraikan keistimewaan-keistimewaan tokoh-tokoh perempuan dalam sejarah agama
atau kemanusiaan.
Secara umum surah Al-Nisa'
ayat 32, menunjuk kepada hak-hak perempuan:
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا
اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ
Bagi lelaki hak
(bagian) dari apa yang dianugerahkan kepadanya dan bagi perempuan hak (bagian)
dari apa yang dianugerahkan kepadanya.
Berikut ini akan
dikemukakan beberapa hak yang dimiliki oleh kaum perempuan menurut pandangan
ajaran Islam. Diantara Hak-hak Perempuan dalam Bidang
Politik dan Bela Negara Salah satu ayat yang seringkali dikemukakan oleh
para pemikir Islam dalam kaitan dengan hak-hak politik dan bela Negara bagi
kaum perempuan adalah yang tertera dalam surah Al-Tawbah ayat 71:
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ
أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ
وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ
أُوْلاَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللهُ إِنَّ اللهَ عَزِيزٌ حَكِيمُ
Dan orang-orang
yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah awliya' bagi
sebagian yang lain. Mereka menyuruh untuk mengerjakan yang ma'ruf, mencegah
yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah
dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah
Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
Secara umum, ayat di atas
dipahami sebagai gambaran tentang kewajiban melakukan kerja sama antarlelaki
dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan yang dilukiskan dengan kalimat
menyuruh mengerjakan yang ma'ruf dan mencegah yang munkar.
Kata awliya', dalam
pengertiannya, mencakup kerja sama, bantuan dan penguasaan, sedang pengertian
yang dikandung oleh "menyuruh mengerjakan yang ma'ruf"
mencakup segala segi kebaikan atau perbaikan kehidupan, termasuk memberi nasihat
(kritik) kepada penguasa. Dengan demikian, setiap lelaki dan perempuan Muslimah
hendaknya mampu mengikuti perkembangan masyarakat agar masing-masing mereka
mampu melihat dan memberi saran (nasihat) dalam berbagai bidang kehidupan.
Keikutsertaan perempuan
bersama dengan lelaki dalam kandungan ayat di atas tidak dapat disangkal,
sebagaimana tidak pula dapat dipisahkan kepentingan perempuan dari kandungan
sabda Nabi Muhamad saw.: Barangsiapa yang tidak
memperhatikan kepentingan (urusan) kaum Muslim, maka ia tidak termasuk golongan
mereka. Kepentingan (urusan) kaum Muslim mencakup banyak sisi yang dapat
menyempit atau meluas sesuai dengan latar belakang pendidikan seseorang,
tingkat pendidikannya. Dengan demikian, kalimat ini mencakup segala bidang
kehidupan termasuk bidang kehidupan politik. Di sisi lain, Al-Quran juga mengajak umatnya
(lelaki dan perempuan) untuk bermusyawarah, melalui pujian Tuhan kepada mereka
yang selalu melakukannya.
وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ
Urusan mereka
(selalu) diputuskan dengan musyawarah (QS al-Syura 42:38).
Ayat ini dijadikan pula
dasar oleh banyak ulama untuk membuktikan adanya hak berpolitik bagi setiap
lelaki dan perempuan.
Syura (musyawarah) telah
merupakan salah satu prinsip pengelolaan bidang-bidang kehidupan bersama
menurut Al-Quran, termasuk kehidupan politik, dalam arti setiap warga
masyarakat dalam kehidupan bersamanya dituntut untuk senantiasa mengadakan
musyawarah.
Atas dasar ini, dapat
dikatakan bahwa setiap lelaki maupun perempuan memiliki hak tersebut, karena
tidak ditemukan satu ketentuan agama pun yang dapat dipahami sebagai melarang
keterlibatan perempuan dalam bidang kehidupan bermasyarakat --termasuk dalam
bidang politik. Bahkan sebaliknya, sejarah Islam menunjukkan betapa kaum
perempuan terlibat dalam berbagai bidang kemasyarakatan, tanpa kecuali.
Al-Quran juga menguraikan
permintaan para perempuan pada zaman Nabi untuk melakukan bay'at (janji
setia kepada Nabi dan ajarannya), sebagaimana disebutkan dalam surah
Al-Mumtahanah ayat 12.
يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَآءَكَ
الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ عَلَى أَن لاَّيُشْرِكْنَ بِاللهِ شَيْئًا
وَلاَيَسْرِقْنَ وَلاَيَزْنِينَ وَلاَيَقْتُلْنَ أَوْلاَدَهُنَّ وَلاَيَأْتِينَ
بِبُهْتَانٍ يَفْتَرِينَهُ بَيْنَ أَيْدِيهِنَّ وَأَرْجُلِهِنَّ وَلاَيَعْصِينَكَ
فِي مَعْرُوفٍ فَبَايِعْهُنَّ وَاسْتَغْفِرْ لَهُنَّ اللهَ إِنَّ اللهَ غَفُورٌ
رَّحِيمٌ
Sementara, pakar agama
Islam menjadikan bay'at para perempuan itu sebagai bukti kebebasan perempuan
untuk menentukan pilihan atau pandangannya yang berkaitan dengan kehidupan
serta hak mereka. Dengan begitu, mereka dibebaskan untuk mempunyai pilihan yang
berbeda dengan pandangan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, bahkan
terkadang berbeda dengan pandangan suami dan ayah mereka sendiri.
Harus diakui bahwa ada
sementara ulama yang menjadikan firman Allah dalam surah Al-Nisa' ayat 34, الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَآءِ Lelaki-lelaki adalah pemimpin perempuan-perempuan... sebagai bukti tidak bolehnya
perempuan terlibat dalam persoalan politik. Karena --kata mereka-- kepemimpinan
berada di tangan lelaki, sehingga hak-hak berpolitik perempuan pun telah berada
di tangan mereka. Pandangan ini bukan saja tidak sejalan dengan ayat-ayat yang
dikutip di atas, tetapi juga tidak sejalan dengan makna sebenarnya yang
diamanatkan oleh ayat yang disebutkan itu. Ayat Al-Nisa' 34 itu berbicara
tentang kepemimpinan lelaki (dalam hal ini suami) terhadap seluruh keluarganya
dalam bidang kehidupan rumah tangga. Kepemimpinan ini pun tidak mencabut
hak-hak istri dalam berbagai segi, termasuk dalam hak pemilikan harta pribadi
dan hak pengelolaannya walaupun tanpa persetujuan suami.
Kenyataan sejarah
menunjukkan sekian banyak di antara kaum wanita yang terlibat dalam soal-soal
politik praktis. Ummu Hani misalnya, dibenarkan sikapnya oleh Nabi Muhammad
saw. ketika memberi jaminan keamanan kepada sementara orang musyrik
(jaminan keamanan merupakan salah satu aspek bidang politik). Bahkan istri Nabi
Muhammad saw. sendiri, yakni Aisyah r.a., memimpin langsung peperangan melawan
'Ali ibn Abi Thalib yang ketika itu menduduki jabatan Kepala Negara. Isu
terbesar dalam peperangan tersebut adalah soal suksesi setelah terbunuhnya
Khalifah Ketiga, Utsman r.a. Peperangan itu dikenal dalam sejarah Islam dengan
nama Perang Unta (656 M). Keterlibatan Aisyah r.a. bersama sekian banyak
sahabat Nabi dan kepemimpinannya dalam peperangan itu, menunjukkan bahwa beliau
bersama para pengikutnya itu menganut paham kebolehan keterlibatan perempuan dalam
politik praktis sekalipun.
Kalau kita kembali menelaah
keterlibatan perempuan dalam pekerjaan pada masa awal Islam, maka tidaklah
berlebihan jika dikatakan bahwa Islam membenarkan mereka aktif dalam berbagai
aktivitas. Para wanita boleh bekerja dalam berbagai bidang, di dalam ataupun di
luar rumahnya, baik secara mandiri atau bersama orang lain, dengan lembaga
pemerintah maupun swasta, selama pekerjaan
tersebut dilakukannya dalam suasana terhormat, sopan, serta selama mereka dapat
memelihara agamanya, serta dapat pula menghindari dampak-dampak negatif dari
pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya.
Secara singkat, dapat
dikemukakan rumusan menyangkut pekerjaan perempuan yaitu bahwa "perempuan
mempunyai hak untuk bekerja, selama pekerjaan tersebut membutuhkannya dan atau
selama mereka membutuhkan pekerjaan tersebut". Pekerjaan dan aktivitas
yang dilakukan oleh perempuan pada masa Nabi cukup beraneka ragam,
sampai-sampai mereka terlibat secara langsung dalam peperangan-peperangan,
bahu-membahu dengan kaum lelaki. Nama-nama seperti Ummu Salamah (istri
Nabi), Shafiyah, Laila Al-Ghaffariyah, Ummu Sinam Al-Aslamiyah,
dan lain-lain, tercatat sebagai tokoh-tokoh yang terlibat dalam peperangan.
Ahli hadis, Imam Bukhari, membukukan bab-bab dalam kitab Shahih-nya, yang
menginformasikan kegiatan-kegiatan kaum wanita, seperti Bab Keterlibatan
Perempuan dalam Jihad, Bab Peperangan Perempuan di Lautan, Bab Keterlibatan
Perempuan Merawat Korban, dan lain-lain.
Di samping itu, para
perempuan pada masa Nabi saw. aktif pula dalam berbagai bidang pekerjaan. Ada
yang bekerja sebagai perias pengantin, seperti Ummu Salim binti Malhan yang
merias, antara lain, Shafiyah bin Huyay--istri Nabi Muhammad
saw. Ada juga yang menjadi perawat atau bidan, dan sebagainya.
Dalam bidang perdagangan,
nama istri Nabi yang pertama, Khadijah binti Khuwailid, tercatat sebagai
seorang yang sangat sukses. Demikian juga Qilat Ummi Bani Anmar yang tercatat
sebagai seorang perempuan yang pernah datang kepada Nabi untuk meminta
petunjuk-petunjuk dalam bidang jual-beli. Dalam kitab Thabaqat Ibnu Sa'ad,
kisah perempuan tersebut diuraikan, di mana ditemukan antara lain pesan Nabi
kepadanya menyangkut penetapan harga jual-beli. Nabi memberi petunjuk kepada
perempuan ini dengan sabdanya: Apabila Anda akan
membeli atau menjual sesuatu, maka tetapkanlah harga yang Anda inginkan untuk
membeli atau menjualnya, baik kemudian Anda diberi atau tidak. (Maksud beliau
jangan bertele-tele dalam menawar atau menawarkan sesuatu).
Istri Nabi saw., Zainab
binti Jahsy, juga aktif bekerja sampai pada menyamak kulit binatang, dan hasil
usahanya itu beliau sedekahkan. Raithah, istri sahabat Nabi Abdullah ibn
Mas'ud, sangat aktif bekerja, karena suami dan anaknya ketika itu tidak mampu
mencukupi kebutuhan hidup keluarga ini. Al-Syifa', seorang
perempuan yang pandai menulis, ditugaskan oleh Khalifah Umar r.a. sebagai
petugas yang menangani pasar kota Madinah.
Demikian sedikit dari
banyak contoh yang terjadi pada masa Rasul saw. dan sahabat beliau menyangkut
keikutsertaan perempuan dalam berbagai bidang usaha dan pekerjaan. Di samping
yang disebutkan di atas, perlu juga digarisbawahi bahwa Rasul saw. banyak
memberi perhatian serta pengarahan kepada perempuan agar menggunakan waktu
sebaik-baiknya dan mengisinya dengan pekerjaan-pekerjaan yang bermanfaat. Dalam
hal ini, antara lain, beliau bersabda:
Sebaik-baik
"permainan" seorang perempuan Muslimah di dalam rumahnya adalah
memintal/menenun. (Hadis diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dari Abdullah bin Rabi'
Al-Anshari).
Aisyah r.a. diriwayatkan
pernah berkata: "Alat pemintal di tangan perempuan lebih baik daripada
tombak di tangan lelaki."
Tentu saja tidak semua
bentuk dan ragam pekerjaan yang terdapat pada masa kini telah ada pada masa
Nabi saw. Namun, sebagaimana telah diuraikan di atas, ulama pada akhirnya menyimpulkan
bahwa perempuan dapat melakukan pekerjaan apa pun selama ia membutuhkannya atau
pekerjaan itu membutuhkannya dan selama norma-norma agama dan susila tetap
terpelihara.
Dengan ilmu pengetahuan dan
keterampilan yang dimiliki oleh setiap orang, termasuk kaum wanita, mereka
mempunyai hak untuk bekerja dan menduduki jabatan jabatan tertinggi. Dalam
beberapa kitab hukum Islam, seperti Al-Mughni, ditegaskan bahwa "setiap
orang yang memiliki hak untuk melakukan sesuatu, maka sesuatu itu dapat
diwakilkannya kepada orang lain, atau menerima perwakilan dari orang
lain". Atas dasar kaidah itu, Dr. Jamaluddin Muhammad Mahmud berpendapat
bahwa berdasarkan kitab fiqih, bukan sekadar pertimbangan perkembangan
masyarakat kita jika kita menyatakan bahwa perempuan dapat bertindak sebagai
pembela dan penuntut dalam berbagai bidang.
Hak
dan Kewajiban Belajar
Terlalu banyak ayat
Al-Quran dan hadis Nabi saw. yang berbicara tentang kewajiban belajar, baik
kewajiban tersebut ditujukan kepada lelaki maupun perempuan. Wahyu pertama dari
Al-Quran adalah perintah membaca atau belajar, Baik lelaki maupun perempuan
diperintahkan untuk menimba ilmu sebanyak mungkin, mereka semua dituntut untuk
belajar: Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap Muslim (dan Muslimah).
Para perempuan di zaman
Nabi saw. menyadari benar kewajiban ini, sehingga mereka memohon kepada Nabi
agar beliau bersedia menyisihkan waktu tertentu dan khusus untuk mereka dalam
rangka menuntut ilmu pengetahuan. Permohonan ini tentu saja dikabulkan oleh
Nabi saw.
Al-Quran memberikan pujian
kepada ulu al-albab, yang berzikir dan memikirkan tentang kejadian langit dan
bumi. Zikir dan pemikiran menyangkut hal tersebut akan mengantar manusia untuk
mengetahui rahasia-rahasia alam raya ini, dan hal tersebut tidak lain dari
pengetahuan. Mereka yang dinamai ulu al-albab tidak terbatas pada kaum lelaki
saja, tetapi juga kaum perempuan. Hal ini terbukti dari ayat yang berbicara
tentang ulu al-albab yang dikemukakan di atas. Setelah Al-Quran menguraikan
tentang sifat-sifat mereka, ditegaskannya bahwa:
فَاسْتَجَابَ
لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّى لآَأُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِّنكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى
Maka Tuhan mereka
mengabulkan permohonan mereka dengan berfirman: "Sesungguhnya Aku tidak
menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik lelaki maupun
perempuan..." (QS 3:195).
Ini berarti bahwa kaum
perempuan dapat berpikir, mempelajari dan kemudian mengamalkan apa yang mereka
hayati dari zikir kepada Allah serta apa yang mereka ketahui dari alam raya
ini. Pengetahuan menyangkut alam raya tentunya berkaitan dengan berbagai
disiplin ilmu, sehingga dari ayat ini dapat dipahami bahwa perempuan bebas
untuk mempelajari apa saja, sesuai dengan keinginan dan kecenderungan mereka
masing-masing.
Banyak wanita yang sangat
menonjol pengetahuannya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan yang menjadi
rujukan sekian banyak tokoh lelaki. Istri Nabi, Aisyah r.a., adalah seorang
yang sangat dalam pengetahuannya serta dikenal pula sebagai kritikus.
Sampai-sampai dikenal secara sangat luas ungkapan yang dinisbahkan oleh
sementara ulama sebagai pernyataan Nabi Muhammad saw.: Ambillah
setengah pengetahuan agama kalian dari Al-Humaira' (Aisyah).
Demikian juga Sayyidah
Sakinah putri Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib. Kemudian Al-Syaikhah Syuhrah
yang digelari Fakhr Al-Nisa' (Kebanggaan Perempuan) adalah salah seorang
guru Imam Syafi'I (tokoh mazhab yang pandangan-pandangannya
menjadi anutan banyak umat Islam di seluruh dunia), dan masih banyak lagi
lainnya.
Imam Abu Hayyan mencatat
tiga nama perempuan yang menjadi guru-guru tokoh mazhab tersebut, yaitu
Mu'nisat Al-Ayyubiyah (putri Al-Malik Al-Adil saudara Salahuddin Al-Ayyubi),
Syamiyat Al-Taimiyah, dan Zainab putri sejarahwan Abdul-Latif Al-Baghdadi. Kemudian contoh
wanita-wanita yang mempunyai kedudukan ilmiah yang sangat terhormat adalah
Al-Khansa', Rabi'ah Al-Adawiyah, dan lain-lain.
Rasul saw. tidak membatasi
anjuran atau kewajiban belajar hanya terhadap perempuan-perempuan merdeka (yang
memiliki status sosial yang tinggi), tetapi juga para budak belian dan mereka
yang berstatus sosial rendah. Karena itu, sejarah mencatat sekian banyak
perempuan yang tadinya budak belian mencapai tingkat pendidikan yang sangat
tinggi. Al-Muqarri, dalam bukunya Nafhu Al-Thib, sebagaimana dikutip oleh Dr.
Abdul Wahid Wafi, memberitakan bahwa Ibnu Al-Mutharraf, seorang pakar bahasa
pada masanya, pernah mengajarkan seorang perempuan liku-liku bahasa Arab.
Sehingga sang wanita pada akhirnya memiliki kemampuan yang melebihi gurunya
sendiri, khususnya dalam bidang puisi, sampai ia dikenal dengan nama
Al-Arudhiyat karena keahliannya dalam bidang ini.
Harus diakui bahwa
pembidangan ilmu pada masa awal Islam belum lagi sebanyak dan seluas masa kita
dewasa ini. Namun, Islam tidak membedakan antara satu disiplin ilmu dengan
disiplin ilmu lainnya, sehingga seandainya mereka yang disebut namanya di atas
hidup pada masa kita ini, maka tidak mustahil mereka akan tekun pula
mempelajari disiplin-disiplin ilmu yang berkembang dewasa ini. Dalam hal ini,
Syaikh Muhammad 'Abduh menulis: "Kalaulah kewajiban perempuan mempelajari
hukum-hukum agama kelihatannya amat terbatas, maka sesungguhnya kewajiban
mereka untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangga, pendidikan
anak, dan sebagainya yang merupakan persoalan-persoalan duniawi (dan yang
berbeda sesuai dengan perbedaan waktu, tempat dan kondisi) jauh lebih banyak
daripada soal-soal keagamaan.
Demikian sekilas menyangkut
hak dan kewajiban perempuan dalam bidang pendidikan.
Tentunya masih banyak lagi
yang dapat dikemukakan menyangkut hak-hak kaum perempuan dalam berbagai bidang.
Namun, kesimpulan akhir yang dapat ditarik adalah bahwa mereka, sebagaimana
sabda Rasul saw., adalah Syaqa'iq Al-Rijal (saudara-saudara sekandung kaum
lelaki) sehingga kedudukannya serta hak-haknya hampir dapat dikatakan sama.
Kalaupun ada yang membedakan, maka itu hanyalah akibat fungsi dan tugas-tugas
utama yang dibebankan Tuhan kepada masing-masing jenis kelamin itu, sehingga
perbedaan yang ada tidak mengakibatkan yang satu merasa memiliki kelebihan atas
yang lain:
وَلاَ تَتَمَنَّوْا مَافَضَّلَ اللهُ
بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَآءِ
نَصِيبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ وَسْئَلُوا اللهَ مِن فَضْلِهِ إِنَّ اللهَ كَانَ
بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
Dan janganlah
kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih
banyak dari sebagian yang lain, karena bagi lelaki ada bagian dari apa yang
mereka peroleh (usahakan) dan bagi perempuan juga ada bagian dari apa yang
mereka peroleh (usahakan) dan bermohonlah kepada Allah dari karunia-Nya.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (QS 4:32).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar