Minggu, 22 Desember 2013

Dakwah Melalui Media Televisi



Dakwah Melalui Media Televisi
Ust H Hasbullah Ahmad
Praktikum Jurusan KPI Fakultas Ushuluddin IAIN STS Jambi
Aula Fakultas Ushuluddin Jambi, 23 Desember 2013

Pemanfaatan televisi sebagai media dakwah
Arti penting sebuah media (wasilah) dalam proses dakwah tidak dapat dipungkiri lagi. Permasalahanya sekarang terletak pada kemauan dan kejelian para da’i dalam melihat media mana yang paling tepat dipakai berdasarkan kemampuanya sebagai da’i maupun spesifikasi mad’u yang menjadi lahan garapannya. pada dasarnya dakwah dapat menggunakan berbagai wasilah yang dapat merangsang indra-indra manusia serta dapat menimbulkan perhatian untuk menerima dakwah. Semakin tepat dan efektif wasilah yang dipakai maka semakin efektif pula upaya pemahaman ajaran Islam pada masyarakat yang menjadi sasaran dakwah.
            Pemakaian media (terutama media massa) telah meningkatakan intensitas, kecepatan, dan jangkauan komunikasi yang dilakukan umat manusia terutama bila dibandingkan sebelum adanya media massa seperti pers, radio, televisi, internet dan sebagainya. Oleh karena itu sudah seyogyanya bagi para da’i memanfaatkan peluang ini dalam menyebarkan ajaran Islam diantaranya menggunakan televisi.
Sebagaimana film, media televisi juga merupakan media yang bersifat audio visual, artinya selain bisa didengar juga bisa dilihat. Oleh sebagian besar masyarakat Indonesia televisi dijadikan sebagai sarana hiburan dan sumber informasi utama. Di beberapa daerah di negeri ini masyarakat banyak menghabiskan waktunya untuk melihat televisi. Kalau dakwah Islam dapat memanfaatkan media ini dengan efektif, maka secara otomatis jangkauan dakwah akan lebih luas dan kesan keagamaan yang ditimbulkan akan lebih dalam.
            Sesungguhnya televisi merupakan penggabungan antara radio dan film, sebab media ini, meneruskan peristiwa dalam bentuk gambar hidup dengan suara bahkan dengan warna ketika peristiwa itu berlangsung. Oleh karena itu kekurangan film mengenai aktualitasnya dapat ditutupi. Pendek kata keunikan-keunikan pada radio dan film terangkum seluruhnya dalam televisi dan sebaliknya kekurangan-kekurangan pada radio dan film sudah tidak ditemukan dalam televisi. Namun seberapapun besar keunggulan media televisi, belum mampu merangkum beberapa keunggulan dalam media massa lainnya terutama media cetak seperti surat kabar, koran dan lain sebagainya.
            Dalam menyampaikan materi dakwahnya (maddah), para da’i harus sanantiasa merujuk pada Al-Qur’an dan Hadits. Keduanya harus menjadi pegangan dalam setiap aktivitas dakwah apapun, dimanapun, kapanpun, dan menggunakan media apapun termasuk televisi. Dalam menyampaikan materi dakwahnya Al-Qur’an terlebih dulu meletakan prinsipnya bahwa manusia yang dihadapi (mad’u) adalah makhluk yang terdiri atas unsur jasmani, akal dan jiwa, sehingga ia harus dilihat dan diperlakukan dengan keseluruhan unsur-unsurnya secara serempak dan simultan. Baik dari segi materi maupun waktu penyajiannya.  Quraish Shihab mengungkapkan bahwa materi dakwah yang disajikan oleh Al-Qur’an dibuktikan kebenarannya dengan argumentasi yang dipaparkan atau dapat dibuktikan manusia melalui penalaran akalnya, kenyataan ini dapat ditemui pada hampir setiap permisalan yang disajikan oleh Al-Qur’an. Ada kalanya Al-Qur’an menuntun manusia dengan redaksi yang sangat jelas dan dengan tahapan pemikiran yang sistematis sehingga manusia menemukan sendiri kebenarannya. Sedangkan untuk menunjang tercapainya target yang di inginkan dalam penyajian materi-materinya, Al-Qur’an menempuh metode-metode sebagai berikut;
1.      Mengemukakan kisah-kisah yang bertalian dengan salah satu tujuan materi.
2.      Nasihat dan panutan.  dalam hal ini Al-Qur’an menggunakan kalimat-kalimat yang menyentuh hati untuk mengarahkan manusia pad ide-ide yang dikehendakinya.
3.      Pembiasaan. Pembiasaan mempunyai peranan yang sangat besar dalam kehidupan manusia. Dengan kebiasaan seseorang mampu melakukan hal-hal penting dan berguna tanpa memerlukan energi dan waktu yang banyak.
Mencermati uraian diatas hendaknya materi dakwah dalam televisi hendaknya tetap mengacu pada kedua sumber pokok ajaran Islam tersebut. Adapun metode penyampaian pesannya bisa dengan cara mengemukakan kisah-kisah yang berkaitan dengan tujuan materi.

Hal ini bisa dilakukan dengan format:
1.      Mutiara Kata
2.      Kultum
3.      Ceramah
4.      Dialog interaktif
5.      Sinetron
6.      Musik Islami
7.      Talk show Keislaman
8.      Film documenter dan lain-lain
Disamping beberapa format acara diatas bisa juga dikembangkan varian acara yang lain yang dapat menunjang dakwah.

Kelebihan televisi sebagai media dakwah
Kelebihan televisi sebagai media dakwah jika dibandingkan dengan media yang lainya adalah;
1.      Media televisi memiliki jangkauan yang sangat luas sehingga ekspansi dakwah dapat menjangkau tempat yang lebih jauh. Bahkan pesan-pesan dakwah bisa disampaikan pada mad’u yang berada di tempat-tempat yang tidak sulit dijangkau.
2.      Media televisi mampu menyentuh mad’u yang heterogen dan dalam jumlah yang besar. Hal ini sesuai dengan salah satu kharakter komunikasi massa yaitu komunikan yang heterogen dan tersebar. Kelebihan ini jika dimanfaatkan dengan baik tentu akan berpengaruh positif dalam aktifitas dakwah. Seorang da’i yang bekerja dalam ruang yang sempit dan terbatas bisa menjangkau mad’u yang jumlahnya bisa jadi puluhan juta dalam satu sesi acara.
3.      Media televisi mampu menampung berbagai varian metode dakwah sehingga membuka peluang bagi para da’i memacu kreatifitas dalam mengembangkan metode dakwah yang paling efektif.
4.      Media televisi bersifat audio visual. Hal ini memungkinkan dakwah dilakukan dengan menampilkan pembicaraan sekaligus visualisai berupa gambar.

Kelemahan televisi sebagai media dakwah
Selain memiliki beberapa kelebihan sebagaimana disebutkan diatas, dakwah menggunakan media televisi juga mempunyai berbagai kelemahan. Dalam kasus Indonesia hal ini tidak bisa dilepaskan dari kondisi pertelevisian yang ada. Dalam bidang sinetron misalnya, Srikit Syah seorang pemerhati pendidikan mengungkapkan bahwa sinetron Indonesia berkembang dari segi jumlah, namun kualitasnya memprihatinkan. Ceritanya menjual mimpi, jauh dari kenyataan. Sinetron yang mendominasi jam tayang utama tak jauh beda dari sinetron Amerika Latin, Thailand dan Philipina. Hal ini berbeda dengan India yang mempunyai ciri khas budaya yang kuat dan konsisten. Sedangkan Indonesia seringkali mencontoh kostum Beverly Hills, Plot Konflik, Melrose Place, dan melodrama Maria Marcedes dalam suguhanya .
            Demikian pula “sinetron Islami” yang sering kita lihat selama ini sebagian besar belum mencerminkan ajaran Islam yang sesungguhnya. Bahkan terkadang ada suguhan adegan-adegan yang tidak layak ditampilkan dan menyalahi norma ke-Islaman. Disamping itu masih ada beberapa kondisi memprihatinkan lainya dari pertelevisian Indonesia. Secara umum kelemahan-kelemahan itu antara lain;
1.      Cost yang terlalu tinggi untuk membuat sebuah acara Islami di televisi
2.      Terkadang tejadi percampuran antara yang haq dan yang bathil dalam acara-acara televisi
3.      Dunia pertelevisian yang cenderung kapitalistik dan profit oriented
4.      Adanya tuduhan menjual ayat-ayat Qur’an ketika berdakwah di televisi
5.      Keikhlasan seorang da’i yang terkadang masih diragukan
6.      Terjadinya mad’u yang mengambang
7.      Kurangnya keteladanan yang di perankan oleh para artis karena perbedaan kharakter ketika berada didalam dan di luar panggung.
Keberadaan media dakwah sebagai sarana penunjang keberhasilan dakwah menjadi sebuah keharusan. Oleh karena itu sudah selayaknya bagi para da’i untuk membekali diri dengan berbagai kemampuan guna pemanfaatan media yang ada sehingga dakwah dapat dijalankan secara lebih efektif dan efisien. Salah satu media dakwah yang cukup efektif dan harus betul-betul dimanfaatkan dengan baik saat ini adalah televisi.
            Terlepas dari beberapa kekurangan yang ada di dalamnya televisi memiliki potensi yang luar biasa dalam dakwah terutama dari faktor jangkauan transmisinya yang begitu luas, mad’u yang heterogen serta kekuatannya untuk menampung berbagai varian metode dakwah.

Sabtu, 14 Desember 2013

REVITALISASI MAKNA ASWAJA DALAM PRESPEKTIF NU & PMII



SEKOLAH ASWAJA 1
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Kota Jambi

REVITALISASI MAKNA ASWAJA DALAM PRESPEKTIF NU & PMII
Oleh Ust H Hasbullah Ahmad

Aswaja Dalam Prespektif NU
Pemaknaan Aswaja sebagai manhajul fikr belum mampu menjawab problem sinergisitas gerakan NU sehingga muncul pemaknaan baru Aswaja sebagai manhajul harakah, tata nilainya dapat menggerakkan jamaah NU lebih siap menghadapi tantangan jaman, tidak sekedar kesiapan individu, namun jam’iyyahnya. Prinsip-prinsip ahlussunnah tidak sekedar menjadi landasan dalam berpikir, tetapi harus menjadi landasan pergerakan bagi warga NU. Tidak lagi pesan moral untuk membela kaum mustadhafin, tetapi advokasi nyata. Aswaja tidak lagi sekedar ranah berpikir yang terkungkung dalam tek-teks suci, tetapi harus menjadi ranah bertindak (dakwah bil hal). Maka Jangan Sampai dikatakan “NU kaya teks miskin konteks”.
            Pada perkembangan berikutnya lahirlah doktrin ASWAJA annahdliyah yang dimotori oleh Syekh K.H. Hasyim Asy’ari (Ra’is Akbar NU pertama). Dengan secara tekstual menjadikan al-Qur'an dan al-Hadits sebagai landasan utamanya. Serta fiqih/usul fiqih (Ijma' dan Qiyas, serta maslahatul mursalah) sebagai landasan kontekstualnya, sehingga dari kedua landasan tersebut, lahir dialektika antara teks dan konteks dalam mengambil keputusan, tindakan, pemikiran, dll. Maka tidak ada lain pola fikir yang dikedepankan adalah menolak bahaya (madlarat), mendatangkan kebaikan (maslahah). Dengan mengedepankan prinsip umum “al-muhafadzotu alaa godimi al-sholikh, wal akhdzu bi aljadiidil aslakh”, Yakni menjaga tradisi lama yang baik, dan mengembangkan (kreatif) sesuatu baru yang lebih baik”.
            Dalam konteks itulah, pemuda NU seharusnya tetap belajar sejarah teks aswaja kemudian secara cerdas mengkontekskan dalam realitas kehidupan. Teks aswaja tetap harus dipegang teguh, baik sebagai tradisi NU, manhajul fikr, maupun manhajul harakah dengan keberpihakan yang jelas kepada kepentingan rakyat baik aspek ekonomi, politik, maupun budaya. Kemudian mengkontekskan dalam aksi nyata advokasi pembelaan terhadap kaum mustadhafin. NU sebagai organisasi masyarakat sudah seharusnya menjadi pelopor keberdayaan rakyat. Gerakan muda yang terjebak dalam pragmatisme sesaat tanpa peduli dengan kaum mustadhafin atau demi kepentingannya sendiri bisa dikatakan pengingkaran terhadap norma aswaja. Gerakan muda NU di manapun posisinya seharusnya mempunyai visi yang sama menegakkan nilai-nilai aswaja. Visi yang sama seharusnya menjadi tujuan utama untuk membangun kekuatan strategis warga NU untuk melakukan pemberdayaan masyarakat sipil. Implimentasinya : untuk membangun kekuatan strategis warga NU untuk melakukan pemberdayaan masyarakat sipil.

Aswaja Dalam Prespektif PMII
PMII memandang bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang memilki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan dengan berlandaskan atas dasar moderasi, menjaga keseimbangan dan toleran. Aswaja bukan sebagai madzhab melainkan sebagai metode dan prinsip berfikir dalam menghadapi persoalan-persoalan agama sekaligus urusan sosial kemasyarakatan.
            Sebagai Manhaj al-Fikr PMII berpegang teguh pada prinsip-prinsip tawassut (moderat), tawazun (netral), ta’adul (keseimbangan), dan tasammuh (toleran). Moderat tercermin dalam bidang hukum, sikap netral (tawazun) berkaitan dengan sikap politik, keseimbangan (ta’adul) dan toleran (tasammuh) terefleksikan dalam kehidupan sosial, cara bergaul dalam kondisi sosial budaya masyarakat.
            PMII menjadikan ahlussunnah wal jama'ah sebagai manhaj al-fikr sekaligus manhaj al-taghayyur al-ijtima'i (perubahan sosial) untuk mendekonstruksikan sekaligus merekonstruksi bentuk-bentuk pemahaman dan aktualisasi ajaran-ajaran agama yang toleran, humanis, anti-kekerasan, dan kritis-transformatif.   Bagi PMII, Aswaja merupakan basis dasar nilai organisasi. Hal ini berarti kehidupan dan gerakan PMII senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai tersebut sehingga secara langsung membentuk identitas komunitas. Lebih dari itu, Aswaja merupakan inspirasi gerakan dan sekaligus alat bergerak yang membimbing para aktivisnya dalam memperjuangkan cita-cita kebangsaan dan kemanusiaan. Ini sudah dibuktikan misalnya komitmen gerakan yang tidak melenceng dari cita-cita kebangsaan itu, sementara di sisi lain tetap berkomitmen dengan cita-cita Islam yang humanis, pluralis, demokratis, egaliter, dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan.
            Di atas landasan ini pula organisasi PMII bergerak membangun jati diri komunitasnya dan arah gerakannya. Sedangakan kontekstualisasi nilai-nilai yang terkandung dalam Maqosidu Al-Syar'iy : Hifzunnafs Menjaga hak hidup (hak azazi manusia), Hifdzuddin pluralisme (kebebasan berkeyakinan), Hifdzul 'aqli (kebebasan berfikir), Hifdzulmaal (kebebasan mencari penghidupan), hifdzul nasab (kearifan lokal) dan PMII menjadikan Aswaja sebagai salah satu nilai, dan instrumem dalam beridiologi, sebagai doktrin fikir dan gerak kader, sebagai nilai disiplin berorganisasi, dikarenakan selain PMII lahir dari dinamika perkembangan pemikiran anak muda NU, Aswaja juga memiliki landasan histories dengan risalah kenabian, makna risalah Agama Islam, konteks masuknya Islam di Indonesia dan perkembangannya, serta selaras dengan nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah bangsa, Pancasila.
            Implementasi nilai Aswaja dalam realitas sosial menjadi sangat penting, di situlah identitas kita akan terlihat, di situlah disiplin nilai akan terbukti, di situlah letak dedikasi kader terhadap organisasi, loyalitas kader terhadap sesama kader. Misalnya; membiasakan hubungan saling tolong menolong (tawa’awun), disiplin waktu, menciptakan hubungan kebersamaan (Romunitarian) dalam PMII, hubungan timbal balik dalam hal bisnis, menjaga ritus dan tradisi Islam Indonesia, ke-NU-an, dan tradisi positif, berbasis lokal lainnya.