SEKOLAH
ASWAJA 1
Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia Kota Jambi
REVITALISASI
MAKNA ASWAJA DALAM PRESPEKTIF NU & PMII
Oleh Ust
H Hasbullah Ahmad
Aswaja
Dalam Prespektif NU
Pemaknaan
Aswaja sebagai manhajul fikr belum mampu menjawab problem sinergisitas gerakan
NU sehingga muncul pemaknaan baru Aswaja sebagai manhajul harakah, tata nilainya
dapat menggerakkan jamaah NU lebih siap menghadapi tantangan jaman, tidak
sekedar kesiapan individu, namun jam’iyyahnya. Prinsip-prinsip ahlussunnah
tidak sekedar menjadi landasan dalam berpikir, tetapi harus menjadi landasan
pergerakan bagi warga NU. Tidak lagi pesan moral untuk membela kaum
mustadhafin, tetapi advokasi nyata. Aswaja tidak lagi sekedar ranah berpikir
yang terkungkung dalam tek-teks suci, tetapi harus menjadi ranah bertindak
(dakwah bil hal). Maka Jangan Sampai dikatakan “NU kaya teks miskin konteks”.
Pada perkembangan berikutnya
lahirlah doktrin ASWAJA annahdliyah yang dimotori oleh Syekh K.H. Hasyim
Asy’ari (Ra’is Akbar NU pertama). Dengan secara tekstual menjadikan al-Qur'an
dan al-Hadits sebagai landasan utamanya. Serta fiqih/usul fiqih (Ijma' dan
Qiyas, serta maslahatul mursalah) sebagai landasan kontekstualnya,
sehingga dari kedua landasan tersebut, lahir dialektika antara teks dan konteks
dalam mengambil keputusan, tindakan, pemikiran, dll. Maka tidak ada lain pola fikir
yang dikedepankan adalah menolak bahaya (madlarat), mendatangkan
kebaikan (maslahah). Dengan mengedepankan prinsip umum “al-muhafadzotu
alaa godimi al-sholikh, wal akhdzu bi aljadiidil aslakh”, Yakni menjaga
tradisi lama yang baik, dan mengembangkan (kreatif) sesuatu baru yang lebih
baik”.
Dalam konteks itulah, pemuda NU
seharusnya tetap belajar sejarah teks aswaja kemudian secara cerdas
mengkontekskan dalam realitas kehidupan. Teks aswaja tetap harus dipegang
teguh, baik sebagai tradisi NU, manhajul fikr, maupun manhajul
harakah dengan keberpihakan yang jelas kepada kepentingan rakyat baik aspek
ekonomi, politik, maupun budaya. Kemudian mengkontekskan dalam aksi nyata
advokasi pembelaan terhadap kaum mustadhafin. NU sebagai organisasi
masyarakat sudah seharusnya menjadi pelopor keberdayaan rakyat. Gerakan muda
yang terjebak dalam pragmatisme sesaat tanpa peduli dengan kaum mustadhafin
atau demi kepentingannya sendiri bisa dikatakan pengingkaran terhadap norma
aswaja. Gerakan muda NU di manapun posisinya seharusnya mempunyai visi yang
sama menegakkan nilai-nilai aswaja. Visi yang sama seharusnya menjadi tujuan
utama untuk membangun kekuatan strategis warga NU untuk melakukan pemberdayaan
masyarakat sipil. Implimentasinya : untuk membangun kekuatan strategis warga NU
untuk melakukan pemberdayaan masyarakat sipil.
Aswaja Dalam Prespektif PMII
PMII
memandang bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang memilki
metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan dengan
berlandaskan atas dasar moderasi, menjaga keseimbangan dan toleran. Aswaja
bukan sebagai madzhab melainkan sebagai metode dan prinsip berfikir dalam
menghadapi persoalan-persoalan agama sekaligus urusan sosial kemasyarakatan.
Sebagai Manhaj al-Fikr PMII
berpegang teguh pada prinsip-prinsip tawassut (moderat), tawazun
(netral), ta’adul (keseimbangan), dan tasammuh (toleran). Moderat
tercermin dalam bidang hukum, sikap netral (tawazun) berkaitan dengan
sikap politik, keseimbangan (ta’adul) dan toleran (tasammuh)
terefleksikan dalam kehidupan sosial, cara bergaul dalam kondisi sosial budaya
masyarakat.
PMII menjadikan ahlussunnah wal
jama'ah sebagai manhaj al-fikr sekaligus manhaj al-taghayyur
al-ijtima'i (perubahan sosial) untuk mendekonstruksikan sekaligus
merekonstruksi bentuk-bentuk pemahaman dan aktualisasi ajaran-ajaran agama yang
toleran, humanis, anti-kekerasan, dan kritis-transformatif. Bagi
PMII, Aswaja merupakan basis dasar nilai organisasi. Hal ini berarti kehidupan
dan gerakan PMII senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai tersebut sehingga secara
langsung membentuk identitas komunitas. Lebih dari itu, Aswaja merupakan
inspirasi gerakan dan sekaligus alat bergerak yang membimbing para aktivisnya
dalam memperjuangkan cita-cita kebangsaan dan kemanusiaan. Ini sudah dibuktikan
misalnya komitmen gerakan yang tidak melenceng dari cita-cita kebangsaan itu,
sementara di sisi lain tetap berkomitmen dengan cita-cita Islam yang humanis,
pluralis, demokratis, egaliter, dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan.
Di atas landasan ini pula organisasi
PMII bergerak membangun jati diri komunitasnya dan arah gerakannya. Sedangakan
kontekstualisasi nilai-nilai yang terkandung dalam Maqosidu Al-Syar'iy :
Hifzunnafs Menjaga hak hidup (hak azazi manusia), Hifdzuddin
pluralisme (kebebasan berkeyakinan), Hifdzul 'aqli (kebebasan berfikir),
Hifdzulmaal (kebebasan mencari penghidupan), hifdzul nasab
(kearifan lokal) dan PMII menjadikan Aswaja sebagai salah satu nilai, dan
instrumem dalam beridiologi, sebagai doktrin fikir dan gerak kader, sebagai
nilai disiplin berorganisasi, dikarenakan selain PMII lahir dari dinamika
perkembangan pemikiran anak muda NU, Aswaja juga memiliki landasan histories
dengan risalah kenabian, makna risalah Agama Islam, konteks masuknya Islam di
Indonesia dan perkembangannya, serta selaras dengan nilai-nilai yang terkandung
dalam falsafah bangsa, Pancasila.
Implementasi nilai Aswaja dalam
realitas sosial menjadi sangat penting, di situlah identitas kita akan
terlihat, di situlah disiplin nilai akan terbukti, di situlah letak dedikasi
kader terhadap organisasi, loyalitas kader terhadap sesama kader. Misalnya;
membiasakan hubungan saling tolong menolong (tawa’awun), disiplin waktu,
menciptakan hubungan kebersamaan (Romunitarian) dalam PMII, hubungan
timbal balik dalam hal bisnis, menjaga ritus dan tradisi Islam Indonesia, ke-NU-an,
dan tradisi positif, berbasis lokal lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar