UNIVERSAL
AL-QUR'AN
RELEVAN
UNTUK SETIAP WAKTU DAN TEMPAT
Hasbullah
Ahmad
Pengantar.
Shalihun li
kulli zaman wa makan, kalimat inilah “mungkin” yang paling tepat dijadikan
sebagai kesimpulan ajaran Islam. Sebab sesuai dengan misinya “rahmatan lil
‘alamin” maka hendaknya –sudah pasti- ia mampu menjawab segala bentuk
permasalahan seiring perkembangan dan perubahan zaman.
Demikian pula
dengan sumber hukumnya, dalam hal ini al Qur’an –bukan berarti mengabaikan as
Sunnah- seharusnya ditempatkan pada posisi yang paling tinggi sebagai pedoman
hidup atau “AD-ART” kehidupan. Artinya segala bentuk permasalahan dan fenomena
yang dihadapi dalam hidup ini, hendaknya dikembalikan kepada “AD-ART” tersebut.
Karena itu, masuk akal jika para mufassir sepakat bahwa prosesi penurunan al
Qur’an ke muka bumi, mustahil dilakukan oleh Allah secara sekaligus, melainkan
secara berangsur-angsur sesuai dengan kapasitas intelektual dan konteks masalah
yang dihadapi umat manusia.
Hal ini
menunjukkan betapa besar kearifan dan keagungan Allah serta membuktikan misi
suci al Qur’an sebagai respons intelektual atas prinsip universalismenya itu,
agar segala hal tidak jatuh menjadi serba kemutlak-mutlakan (absolutisme).
Karena sekalipun al Qur’an diterima oleh Rasulullah di tanah Arab dan berbahasa
Arab, tapi tidak berarti bahwa ia hanya diperuntukkan bagi orang-orang Arab
semata melainkan untuk seluruh umat manusia di muka bumi.
Apatah lagi
kehadiran al Qur’an diibaratkan sebagai Ma’dubatullah (hidangan Allah)
yang berarti ia senatiasa terbuka untuk dianalisir dan diinterpretasikan dengan
berbagai alat, metode dan pendekatan untuk menguak isi sejatinya. Ia bagaikan
hidangan yang siap disantap oleh siapa saja sesuai dengan selera yang mereka
inginkan. Tetapi bukan berarti kebebasan menyantap hidangan al Qur’an sehingga
seseorang boleh mengutak-atik atau mencampur-baurkan kandungannya tanpa
mengikuti aturan dan persyaratan yang telah disepakati sebagaimana makanan yang
dicampur-baurkan dengan makanan yang lain dengan tidak mengikuti petunjuk dan
resep dari koki yang profesional terkadang makanan tersebut akan menjadi tidak
lezat atau bahkan cepat basi dan terkadang pula menimbulkan penyakit jika
dikonsumsi.
Banyak metode
dan cara yang ditawarkan para ulama untuk menyantap hidangan al Qur’an dalam
bentuk penyajian, pembahasan, pendekatan dan interpretasi yang berbeda-beda. Di
antara metode tersebut adalah pendekatan tafsir, baik yang berorientasi pada
teks dalam dirinya yang kemudian disebut pendekatan tekstual, maupun yang
berorientasi pada konteks pembaca (penafsir) yang kemudian disebut pendekatan
kontekstual.
Kaitannya dengan
pendekatan kontekstual, ini adalah sebuah metode yang sangat menarik dan mesti
dilakukan. Sebab dari hari ke hari problematika dan permasalahan hidup selalu
berubah. Situasi masa lalu berbeda dengan situasi sekarang. Sehingga untuk
mengaktualisasikan nila-nilai al Qur’an, umat Islam tidak perlu terpaku
(bertaklid) pada penafsiran ulama-ulama terdahulu, namun perlu mengkaji lebih
dalam dan menghidupkan nilai al Qur’an sesuai dengan konteks sosial di mana ia
berada. Bahkan semangat keuniversalan al Qur’an terasa “ternodai” jika ia hanya
dipahami dari segi tekstualnya semata.
Dari kemutlakan
adanya metode pendekatan tafsir kontekstual serta misi al Qur’an shalihun li
kulli zaman wa makan maka penulis menyusun sebuah makalah terkait dengan
problematika metode pendekatan di atas yang diharapkan dari kehadirannya mampu
menjadi dorongan dan motivasi bagi para pembaca khususnya penulis untuk terus
mengkaji dan menyelami samudera al Qur’an mengambil ribuan mutiara yang menjadi
bekal kemuliaan dunia akhirat.
B. Rumusan
Masalah
Sesuai dengan
judul makalah ini, yaitu upaya memahami problematika metode pendekatan tafsir
kontekstual kaitannya dengan misi suci al Qur’an, maka permasalahan pokok yang akan diangkat sebagai
kajian utama tergambar dalam rumusan-rumusan berikut ini :
1. Bagaimana pengertian, eksistensi dan
perkembangan tafsir kontekstual?
2. Bagaimana bentuk/jenis-jenis tafsir dengan
pendekatan kontekstual?
3. Apa saja yang menjadi kelebihan dan
keterbatasan metode pendekatan tafsir kontekstual?
A.
Pengertian Tafsir
Kontekstual, Eksistensi dan Perkembangannya
Al Qur’an sebagai pedoman hidup yang
memiliki kekayaan petunjuk yang melimpah perlu untuk terus digali dan dikaji.
Tanpa usaha ke arah tersebut maka kerahmatan Islam –sedikit atau banyak- akan
pudar seiring perkembangan dan kemajuan zaman. Olehnya itu, interpretasi
terhadap al Qur’an secara kontekstual perlu digalakkan sehingga cahaya-cahaya
petunjuk al Qur’an tetap bersinar menerangi kehidupan manusia. Namun sebelum
lebih jauh membicarakan tentang metode tafsir kontekstual, ada baiknya
dijelaskan terlebih dadulu mengenai apa dan bagaimana sejarah perkembangan
metode tafsir tersebut.
1.
Pengertian Tafsir Kontekstual dan Eksistensinya
Secara etimologi, kata kontekstual berasal
dari kata benda bahasa Inggris yaitu context yang diindonesiakan dengan
kata ”konteks”. Kata ini setidaknya memiliki dua arti, 1) Bagian suatu uraian
atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna, 2) Situasi
yang ada hubungannya dengan suatu kejadian[1][6]. Sehingga
dapat dipahami bahwa kontekstual adalah menarik suatu bagian atau situasi yang
ada kaitannya dengan suatu kata/kalimat sehingga dapat menambah dan mendukung
makna kata/kalimat tersebut.
Adapun secara terminologi, Noeng Muhadjir
menegaskan bahwa kata kontekstual setidaknya memiliki tiga pengertian : 1)
Upaya pemaknaan dalam rangka mengantisipasi persoalan dewasa ini yang umumnya
mendesak, sehingga arti kontekstual identik dengan situasional, 2) Pemaknaan yang
melihat keterkaitan masa lalu, masa kini, dan masa mendatang atau memaknai kata
dari segi historis, fungsional, serta prediksinya yang dianggap relevan, 3)
mendudukkan keterkaitan antara teks al Qur’an dan terapannya[2][7].
Lain lagi dengan defenisi yang ditawarkan
oleh DR. H. Ahmad Syukri Saleh, MA. (lahir 1965) beliau berpandangan bahwa
tafsir kontekstual adalah menafsirkan al Qur’an berdasarkan pertimbangan
analisis bahasa, latar belakang sejarah, sosiologi, dan antropologi yang
berlaku dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Arab pra-Islam dan selama
proses wahyu al Qur’an berlangsung. Kemudian dilakukan penggalian
prinsip-prinsip moral (spirit) yang terkandung dalam berbagai pendekatan
tersebut.
Akan tetapi dari kedua defenisi secara
istilah di atas dan defenisi-defenisi yang lain paling tidak dapat disimpulkan
bahwa tafsir kontekstual adalah sebuah upaya untuk menghidupkan al Qur’an yang
diturunkan sekitar 1429 tahun yang lalu namun tetap sesuai dan relevan dengan
kondisi dan perkembangan masa kini.
Setelah melihat kedua jenis defenisi di
atas, baik etimilogi maupun epistimologi, maka penulis lebih condong
mengistilahkan tafsir kontekstual sebagai al tafsir al siyaqy (التفسير السياقي
). Sebab kata konteks dalam bahasa arab berarti سياق dan [3][9]علاقة. Sedangkan kata سياق
merupakan pecahan dari akar kata ساق – يسوق – سوقا yang berarti حدو الشئ menghalau atau menggiring. Dari kata
inilah muncul kata سوق (pasar)
karena segala sesuatu di datangkan ke tempat tersebut. Sehingga dapat dipahami
bahwa metode tafsir kontekstual atau al tafsir al siyaqy adalah
penafsiran al Qur’an dengan berusaha menarik, menggiring segala sesuatu yang
terkait dengan ayat yang ditafsirkan termasuk asbab al nuzul, kondisi sosial
masyarakat, bahasa Arab, dll. sekaligus menghalau segala kemungkinan yang
menyebabkan rusaknya pemahaman yang benar terhadap ayat tersebut termasuk di
dalamnya adalah ketergesah-gesahan serta sikap subjektivitas dalam
penafsiran.
Hanya saja bagi penulis sendiri, makna
tafsir kontekstual tidak jauh beda dengan tafsir bil ra’yi yang penekanannya
terdapat pada ijtihad seorang mufassir dalam memahami makna ayat disertai
pengetahuan mendalam tentang bahasa Arab dan segala persyaratan yang telah
ditetapkan ulama dalam menafsirkan al Qur’an[4][12]. Dari
pemahaman ini pula sehingga tafsir kontekstual pun terbagi menjadi dua bentuk, mahmudah
(terpuji) dan madzmumah (tercela).
Keterpujian dan ketercelaan tafsir
kontekstual sangat terkait dengan kapabilitas mufassir itu sendiri. Sebab
menafsirkan al Qur’an merupakan salah satu aktivitas intelektual yang
membutuhkan seperangkat disiplin keilmuan khusus. Tanpa keilmuan tersebut
dikhawatirkan –jika tidak ingin mengatakan pasti- akan terjerumus ke dalam
jurang kesalahpahaman yang pada akhirnya merusak nilai-nilai al Qur’an. Memang
patut disadari, bahwa setiap umat Islam memang berhak memahami al Qur’an. Namun
hal itu bukan berarti bahwa umat Islam atau siapa saja berhak menafsirkannya.
Kita tahu bahwa segala sesuatu ada caranya, demikian juga dengan menafsirkan al
Qur’an. Karenanya, penafsiran ini sangat terkait dengan pelbagai disiplin ilmu
terutama bahasa Arab, sejarah dan ilmu kemanusiaan. Ini bukan diskriminasi,
tetapi suatu jalan untuk menemukan tujuan secara memadai.[5][13]
Persamaan antara tafsir bil ra’yi dan
kontekstual yang menyebabkan penulis menganggap keduanya sama atau paling tidak
memiliki kemiripan adalah disamping defenisi dan syarat-syarat yang dibutuhkan[6][14], juga karena
aplikasi keduanya yang menyebabkan terjadinya kontradiksi di antara ulama
mengenai eksistensi kedua metode tafsir tersebut. Sebagian ulama menganggap
bahwa tafsir bil ra’yi dan atau tafsir kontekstual merupakan bentuk penafsiran
yang tidak boleh dan identik dengan penafsiran mengada-ada. Sebagian yang lain
berpendapat bahwa selama seorang mufassir mempunyai kapabilitas untuk
menafsirkan al Qur’an dengan akal dan kedalaman pemahamannya, kenapa mesti
dilarang? Bukankah Islam datang dengan memberikan perhatian besar pada akal?[7][15]
Penulis melihat makalah ini bukanlah
tempat yang paling tepat untuk membahas mengenai keragaman pendapat tersebut.
Namun dari kedua pendapat di atas terdapat sebuah kesepakatan bahwa selama
langkah-langkah penafsiran tidak menyalahi aturan dan persyaratan maka keduanya
adalah boleh bahkan terkadang harus dilakukan[8][16].
Khusus untuk tafsir kontekstual, ada
beberapa prinsip yang perlu diperhatikan –di samping syarat-syarat seorang
mufassir- sebagaimana Fazlur Rahman (w.
1408 H/1988 M) menjelaskannya. Pertama, pendekatan historis yang seksama
dan serius untuk menemukan makna teks al Qur’an. Kedua, membedakan
antara ketetapan-ketetapan legal al Qur’an dengan sasaran dan tujuan utamanya. Ketiga,
memahami dan memastikan sasaran/tujuan al Qur’an dengan tetap memperhatikan
latar sosiologis pewahyuan al Qur’an[9][17].
Dari analisis di atas maka tafsir
kontekstual (al tafsir al siyaqy) –yang esensinya tidak jauh berbeda
atau sama dengan tafsir bil ra’yi- merupakan sebuah penafsiran yang
tidak lepas dari tafsir bil ma’tsur. Bahkan untuk menghidupkan nilai-nilai al
Qur’an, keduanya harus jalan bersama. Sebab tafsir bil ma’tsur merupakan
pondasi, sedang tafsir bil ra’yi atau kontekstual seperti bangunannya. Sebab
ilmu-ilmu rasional telah menjadi produk yang populer dan barang yang terus
berkembang dan umat manusia memerlukan penjelasan, uraian dan takwil ayat-ayat
yang belum dijelaskan.[10][18]
Akan tetapi bagaimana keserasian kedua
metode di atas, namun tetap memiliki perbedaan. Untuk membedakan keduanya,
perlu dilihat lawan kata dari keduanya. Tafsir bil ra’yi antonim dengan tafsir
bil ma’tsur, sementara tafsir kontekstual antonim dengan tafsir tekstual.
Sehingga dari sinilah nampak jelas bahwa tafsir bil ra’yi dan bil ma’tsur
merupakan sumber penafsiran. Sedangkan tafsir kontekstual dan tekstual adalah
pendekatan yang digunakan mufassir dalam memahami nas(al Qur’an).
2.
Sejarah Perkembangan Tafsir Kontekstual
Tafsir kontekstual yang tujuan utamanya adalah
membumikan nilai-nilai al Qur’an sehingga semangat keislaman tetap selaras
dengan perkembangan zaman, memberikan sebuah pemahaman bahwa keberadaan tafsir
kontekstual mulai terasa dan berkembang sejak al Qur’an diturunkan.
Sekalipun di antara argumen-argumen dan data yang
diberikan para cendekiawan untuk menyatakan kebenaran eksistensi tafsir
kontekstual yaitu kebijakan Umar bin Khattab yang tidak lagi membagikan harta ghanimah
(rampasan perang) kepada para prajurit yang telah bertumpah darah di medan
perang melainkan memasukkanya ke kas negara (baitul mal) karena ia
berargumen secara kontekstual dengan alasan bahwa al Qur’an –surat al Anfal :
41 & 69- memang mengizinkan untuk membagi harta rampasan tersebut kepada
para prajurit yang ikut perang dan itu adalah benar. Sebab pada saat itu semua
prajurit berperang dengan membawa modal sendiri, baik bekal, pakaian maupun
peralatan perang. Maka, masuk akal jika mereka diberi harta ghanimah
itu, bahkan justru terasa tidak adil jika hal ini tidak ditempuh. Tetapi pada
masa Umar, kondisi tersebut sudah berubah, karena semua bekal ditanggung oleh
negara. Sehingga Umar memandang bahwa pembagian harta rampasan sudah tidak
relevan lagi.
Demikian pula dengan keputusan Umar bin Khattab
yang dianggap telah melanggar dalil qath’iy dengan tidak melaksanakan
hukum potong tangan pada saat musim paceklik, atau peristiwa-peristiwa lain
yang dijadikan oleh ulama sebagai dasar eksistensi tafsir kontekstual atau
bahkan menjadi awal munculnya tafsir ini. Lebih jauh lagi, sebagian cendekiawan
mengkategorikan Prof. DR. Fazlur Rahman sebagai perintis pertama metode tafsir
kontekstual, hanya dengan alasan bahwa Fazlur Rahman memandang bahwa tafsir
yang ada sekarang belum berhasil memberi jawaban terhadap perkembangan yang
bersifat alami yang dapat menyentuh seluruh perkembangan ilmu dan teknologi.
Untuk memahami al Qur’an sebagai suatu kesatuan maka perlu mempelajarinya
dengan sebuah latar belakang[11][19].
Argumen seperti ini tidak sepenuhnya penulis
terima, karena pertama, memahami al Qur’an bukan hanya dari aspek
teksnya semata tetapi aspek konteksnya pun diperhatikan, itu telah ada sejak
masa Rasulullah. Sebagai contoh riwayat yang disampaikan oleh al Bukhari dari
Ibnu Abbas bahwa ketika QS. Al Nashr diturunkan, Umar bin Khattab bertanya kepada sahabat-sahabat
senior yang ikut dalam perang Badar mengenai pemahaman mereka tentang ayat ini.
Para sahabat tersebut menjawab bahwa surat ini berbicara mengenai perintah
untuk memuji dan beristigfar kepada Allah karena adanya pertolongan dan
kemenangan dari-Nya. Tetapi ketika Umar bertanya kepada Abdullah bin Abbas, ia
memahaminya bahwa surat tersebut adalah sebuah indikasi atau peringatan bahwa
ajal Rasulullah sudah tidak lama lagi. Hal ini dipahami oleh Ibnu Abbas dari
konteks ayatnya, ketika pertolongan dan kemenangan telah diraih berarti tugas
Rasulullah telah selesai sehingga keberadaanya pun di dunia akan segera berakhir.[12][20]
Bahkan ada di antara penafsiran Rasulullah yang
dianggap sebagai tafsir bil ma’tsur, namun sebenarnya Rasulullah SAW
menjelaskanya sesuai dengan konteks masyarakat saat itu. Karenanya Rasulullah
terkadang hanya memberi contoh-contoh konkret yang beliau angkat dari
masyarakatnya, sehingga dapat dikembangkan atau dijabarkan oleh
generasi-generasi berikutnya. Misalnya saja ketika beliau menafsirkan kalimat al
Maghdhub ’alayhim (QS. Al Fatihah :7) sebagai ”orang-orang Yahudi” atau quwwah
dalam QS. Al Anfal : 60) yang memerintahkan mempersiapkan keuatan untuk
menghadapi musuh, sebagai ”panah”[13][21].
Dari contoh-contoh itulah sehingga penulis
berkesimpulan bahwa tafsir kontekstual sudah dimulai oleh Rasullah sebagai
perintis pertama metode ini, sekalipun –mungkin- istilah atau namanya belum
ditemukan.
Kedua, sikap dan kebijakan Umar sebagimana disebutkan di
atas bukanlah sebuah bentuk penafsiran
al Qur’an. Memang diakui bahwa kebijakan Umar tersebut sangat
kontekstual serta sesuai dengan situasi dan kondisi pada saat itu, dan
demikianlah gambaran ajaran Islam. Akan tetapi kebijakan Umar tidak berarti
bahwa seperti itulah yang ia pahami. Sebab kalimat faqta’u aidiyahuma (potonglah
tangan keduanya) –misalnya- tidak bisa diartikan apatah lagi ditafsirkan selain
”memotong”. Jadi kebijakan Umar tersebut bukanlah sebuah penafsiran tetapi
sebuah bentuk penerapan hukum atau dalam bahasa fiqhinya adalah ijtihad
tathbiq al ahkam. Dan hal ini sangat berbeda dengan tafsir, sebab tujuan
tafsir adalah mengetahui kandungan al Qur’an, baik penjelasan tentang maknanya,
pengambilan hukum-hukumnya, maupun pengambilan hikmah-hikmahnya.
Ketiga, terkait dengan argumen bahwa perintis pertama
metode tafsir kontekstual adalah Fazlur Rahman, penulis melihatnya sebagai
sesuatu yang berlebihan atau bahkan mengada-ada. Sebab jauh sebelum adanya
Fazlur Rahman, pemahaman secara kontekstual sudah dilakukan oleh para ulama
bahkan pemahaman seperti itu adalah
sebuah kemestian[14][22]. Adapun anggapan Fazlur Rahman bahwa tafsir
yang ada sekarang atau yang pernah ada belum berhasil memberi jawaban terhadap
perkembangan yang bersifat alami yang dapat menyentuh seluruh perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi maka penulis berani membenarkankan. Akan tetapi
kenapa anggapan tersebut benar? Karena kelihatannya Fazlur Rahman melihat
metode penafsiran masa lalu dengan kacamata kondisi saat ini. Sehingga wajar
bila metode tafsir yang ada sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman
sekarang. Dari sini dapat dipahami bahwa teori penafsiran Fazlur Rahman yang
menekankan pada kritik sejarah dan perkembangan kronologis al Qur’an yang luas
bukanlah sebuah formulasi baru tetapi ia hanya meramunya sedemikian rupa
sehingga rasional bagi tuntunan modern[15][23]. Dan juga
bisa saja anggapan bahwa Fazlur Rahman adalah perintis pertama metode tafsir
kontekstual hanyalah terkait dengan penamaan metode ini, karena mungkin
–penulis tidak terlalu yakin- istilah tersebut berawal dari metode yang
ditawarkan olehnya.
Dari beberapa penjelasan yang disebutkan di atas,
dapat dipahami bahwa perkembangan tafsir kontekstual tidak terlepas dari
perkembangan dan kemajuan masyarakat yang dihadapi al Qur’an. Tafsir
kontekstual masa lalu tentu sangat berbeda dengan tafsir kontekstual masa kini,
sebab metode ini tidak hanya dilihat dari aspek sosial ketika al Qur’an
diturunkan namun sangat erat dengan perubahan sosial yang dihadapinya tapi
dengan syarat bahwa tujuan moral dan prinsip al Qur’an tidak boleh diubah atau
dimodifikasi. Karena hal itulah yang akan mejadi pengontrol dan pengarah
terhadap perubahan sosial dewasa ini.
B.
Bentuk-bentuk Tafsir
Kontekstual
Untuk menentukan bentuk atau jenis tafsir
kontekstual, terlebih dahulu kita harus membedakan antara bentuk yang
berdasarkan sumbernya dengan bentuk yang berdasarkan penyajian atau
pembahasannya. Sebab sumber penafsiran mengarah kepada tafsir bil ma’tsur
dan bil ra’yi. Artinya sumber penafsiran ada dua yaitu riwayat dan akal.
Demikian pula dengan bentuk penyajian atau pembahasan sebab hal ini terkait
dengan metode yang digunakan penafsir dalam menafsirkan al Qur’an baik
penulisannya maupun penjelasannya.
Mengenai bentuk-bentuk tafsir kontekstual (tafsir
siyaqy) dilihat dari sumber penafsirannya –sebagaimana telah disebutkan
pada point A di atas- ada dua macam, yaitu:
1. Tafsir mahmudy (tafsir yang terpuji)
Tafsir kontekstual jenis ini adalah sebuah
interpretasi al Qur’an berdasarkan ijtihad yang benar dengan kaidah yang tepat
serta tidak keluar dari prinsip-prinsip syari’ah dan jauh dari kesesatan.
Termasuk sesuatu yang sangat diperhatikan dalam metode ini adalah aspek
sosio-historis suatu ayat. Misalnya saja, penafsiran ayat tentang poligami
dalam surat al Nisa’ ayat 3. sebagian besar ulama sepakat bahwa ayat tersebut
merupakan dasar hukum berpoligami, padahal jika kita merujuk kepada kondisi
sosial masyarakat ketika ayat tersebut turun maka jelas bahwa ayat tersebut
tidak menganjurkan –sekalipun tetap ada indikasi mengizinkan- poligami,
melainkan hanya meringankan atau mengurangi kebiasaan orang Arab dari kegemaran
berpoligami[16][24].
2. Tafsir madzmumy (tafsir yang tercela)
Tafsir kontekstual jenis ini adalah kebalikan dari
jenis yang pertama sebab ia merupakan interpretasi al Qur’an yang tidak sesuai
dengan syari’at, bertentangan dengan kaidah bahasa Arab. Atau dengan kata lain,
tafsir madzmumy adalah menginterpretasikan noktah-noktah al Qur’an
berdasarkan pendapat dan pandangan yang bersifat subjektif (pribadi), tanpa
pertimbangan lain yang lebih objektif. Misalnya Firman Allah QS. Al Qiyamah :
23 yang merupakan alasan utama bahwa orang mukmin akan melihat Allah di
akhirat. Oleh sekelompok aliran Muktazilah, mereka pahami kata ila pada
kalimat الى ربها ناظرة sebagai bentuk mufrad dari kata al
alaa’u yang berarti karunia. Sehingga ayat tersebut mereka artikan
”wajah-wajah pada hari itu berseri-seri, menunggu karunia dari Tuhannya untuk
didahulukan atau ditangguhkan masuk ke dalan syurga”. Penafsiran seperti ini
dilakukan karena motif interest pribadi yang mengindikasikan tidak bisanya
seorang mukmin bertemu dengan Allah di akhirat kelak[17][25].
Adapun bentuk penafsiran al Qur’an ditinjau dari
aspek penyajian dan pembahasannya tidak jauh beda dengan bentuk penafsiran
metode-metode yang lain. Hanya saja perlu diingat bahwa pengkategorian sebuah
metodologi biasanya merujuk kepada aspek pandangan seorang mufassir, termasuk
di dalamnya metodologi yang ditawarkan oleh Abdul Hayyi al Farmawi sebagai
metodologi tafsir kontemporer, yaitu : metode global (ijmali), analitis
(tahlili), perbandingan (muqarin), dan tematik (maudhu’i)[18][26].
Demikian pula dengan metode tafsir kontekstual (التفسير السياقي
) ada diantara cendekiawan
yang mengkategorikannya sebagai metode yang berdiri sendiri yang menjadi salah
satu metode tafsir kontemporer selain dari metode yang empat sebagaimana
disebutkan di atas[19][27]. Akan tetapi
penulis sangat sulit memisahkan metode kontekstual ini dengan metode tafsir
yang lain atau dengan kata lain menjadikan metode tafsir ini berdiri sendiri.
Sebab penekanan tafsir kontekstual adalah cara pandang penafsir terhadap sebuah
teks atau cara memahami nas, apakah ia akan pahami secara literatur (tekstual)
atau ia akan mengkaji lebih dalam dengan melihat aspek bahasa, latar belakang,
asbab nuzul, pranata-pranata sosial, dan lain-lain. Berbeda dengan keempat metode di atas, sebab
penekanannya terletak pada cara penulisan dan pembahasannya. Bahkan penulis
sendiri melihat bahwa hampir semua kitab tafsir –karena tidak berani mengatakan
semua- menggunakan metode tafsir kontekstual.
Oleh karena itu, bentuk-bentuk tafsir kontekstual
dari segi penulisan atau penyajiannya, yaitu :
1. Tafsir kontekstual tahlily, artinya
seorang mufassir dalam menyajikan penafsirannya adalah mengurai ayat-ayat al
Qur’an dari awal sampai terakhir sesuai susunannya dalam mushaf. Jenis
penafsiran seperti dapat terlihat pada karya Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid
Ridha; Tafsir al Manar, Sayyid Tabathaba’i; tafsir al Mizan, dll.
2.
Tafsir kontekstual
Muqarin, artinya mufassir dalam menyajikan tulisannya, ia menyebutkan perbedaan
pemahaman kemudian membandingkan di antara tafsir-tafsir yang penafsir
inginkan, sehingga kekurangan sebuh penafsiran dapat tertutupi oleh penafsiran
yang dibandingkannya. Jenis ini dapat dilihat pada karya Imam al Qurthuby: al
jami’ li ahkam al Qur’an al Karim atau karya Quraish Shihab: tafsir al
Misbah.
3. Tafsir kontekstual Maudhu’i, artinya
seorang mufassir dalam menyajikan tafsirannya ia hanya mengoleksi sejumlah ayat
dari beberapa surat yang membahas satu persoalan tertentu yang sama, lalu
ayat-ayat itu ditata sedemikian rupa dan diletakkan di bawah satu topik bahasan
kemudian selanjutnya ditafsirkan secara tematik metode ini dapat dilihat pada
karya al Raghib al Asfahany; Mufaradat al Qur’an, Fazlur Rahman; Major
Themes of The Qur’an, dll.
Bentuk-bentuk tafsir kontekstual dari segi
pembahasanya, yaitu:
1. Tafsir kontekstual tahlily, artinya
seorang mufassir dalam menafsirkan al Qur’an ia jelaskan secara rinci dari
berbagai aspek tinjauan termasuk munasabah, asbab nuzul, kebahasaan, ilmu
pengetahuan, dan sebagainya. Caontoh metode seperti ini dapat dilihat pada Ali
bin Muhammad Bin Ibrahim al Baghdady; tafsir al Khazin, Fakhruddin al
Razy; al Tafsir al Kabir (Mafatih al Ghaib), dll.
2. Tafsir kontekstual ijmali, yaitu
menafsirkan al Qur’an secara global, ringkas, tidak memerlukan penjelasan yang
rinci bahkan terkadang cukup dengan isyarat dan uraian sederhana. Metode
seperti ini dapat dilihat pada karya al
Fairuzzabady; al Miqbas fi tafsir Ibn ’Abbas, Muhammad Farid
Wajdi; Tafsir al Qur’an al Karim, dll.
3. Tafsir kontekstual maudhui, artinya
menafsirkan al Qur’an secara tematik namun sejalan dengan konteks ayat yang
ditafsirkan, hal ini dapat dilihat pada karya abu A’la al Maududy; al Riba
fi al Qur’an, Muhammad Abu Zahrah; al Aqidah fi al Islam, dll.
4. Tafsir kontekstual muqarin, artinya
menafsirkan al Qur’an dengan membandingkan beberapa kitab tafsir yang
dijelaskan secara timbal-balik[20][28] tanpa
meninggalkan konteks ayat tersebut. Hal seperti ini dapat dilihat pada karya al
Qurthuby; al Jami’ li Ahkam al Qur’an al Karim, Muhammad Farid Wajdi; Tafsir
al Qur’an al Karim, dll.
C.
Kelebihan dan
Keterbatasan Tafsir Kontekstual
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa kehadiran al
Qur’an adalah sebagai jawaban atas berbagai permasalahan yang dihadapi manusia
sekaligus menjadi pendoman hidup mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat. Salah
satu cara untuk melestarikan fungsi al Qur’an tersebut adalah dengan memahami
al Qur’an secara kontekstual. Oleh karena urgensi tersebut sehingga metode
tafsir kontekstual memiliki beberapa kelebihan dan keistimewaan sekalipun di
dalamnya tetap memiliki keterbatasan.
Adapun kelebihan-kelebihan tafsir kontekstual,
diantaranya:
1. Mempertahankan semangat keuniversalan al
Qur’an, sebab dengan penafsiran kontekstual maka nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya akan tetap sejalan dengan perkembangan zaman.
2. Metode tafsir kontekstual merupakan sintesa
dari metode analitis, tematik, dan hermeneutika. Sebab metode analitis
diperkaya dengan sumber tradisional yang memuat substansi yang diperlukan bagi
proses penafsiran, metode tematik diunggulkan dengan kemampuannya meramu
ayat-ayat al Qur’an dalam satu tema dan mengaktualisasikannya, tafsir
hermeneutika titik penekanannya adalah kajian kata dan bahasa , sejarah,
sosiologi, antropologi dan sebagainya sebagai alat bantu yang penting dalam
menafsirkan al Qur’an. Sehingga wajar bila tafsir kontekstual dianggap sebagai
gabungan dari metode-metode tersebut.
3. Metode tafsir kontekstual akan membuka
wawasan berpikir serta mudah dipahami sebab banyak data yang ditampilkan namun
penyampaiannya tetap sesuai dengan konteks pemahaman audiens.
Adapun kelemahan-kelemahan tafsir kontekstual, itu
sangat terkait dengan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh penafsir itu
sendiri yang berdampak pada kualitas penafsirannya. Diantara kelemahan tersebut
adalah:
1. Hasil penafsiran kontekstual terkadang
didahului oleh interest pribadi dan dorongan hawa nafsu karena adanya pintu
penyesuaian nilai-nilai al Qur’an dengan kondisi masyarakat. Tentu dengan
keterbukaan tersebut memancing seseorang untuk menafsirkan al Qur’an sesuai
dengan seleranya yang pada akhirnya penafsiran yang ia lahirkan sifatnya
mengada-ada.
2. Dengan semangat tafsir kontekstual
terkadang melahirkan ketergesa-gesahan menafsirkan ayat yang merupakan otoritas
Allah untuk mengetahui maknanya[21][29].
3. Usaha tafsir kontekstual terkadang menitikberatkan
sebuah penafsiran pada satu aspek misalnya aspek kondisi sosial semata tanpa
melihat aspek-aspek yang lain termasuk bahasa, asbab nuzul, nasikh mansukh,
dsb. Sehingga penafsiran tersebut menyimpang dari maksud yang diinginkan[22][30].
4. Tafsir kontekstual memotivasi seseorang
untuk cepat merasa mampu menafsirkan al Qur’an sekalipun syarat-syarat mufassir
belum terpenuhi. Sebab penguasaan terhadap satu cabang ilmu dan keberanian
berkomentar bukanlah dasar utama sebuah penafsiran.
5. Berkembangnya tafsir kontekstual
sebenarnya menjadi awal kemunduran umat Islam[23][31]. Sebab
terkadang tafsir kontekstual ini berdampak pada keengganan –kekurangan- untuk
merujuk pada riwayat-riwayat dan penjelasan para ulama terdahulu. Padahal
keiistimewaan dan ciri khas umat Islam adalah dalil-dalil naqlinya (نحن أمة الدليل ).
Semua kelebihan dan kelemahan yang disebutkan di
atas bukanlah final dari sebuah penilaian. Kemungkinan masih ada kelebihan dan
kelemahan yang belum disebutkan. Demikian pula dengan kitab-kitab tafsir
tersebut, penulis yakin masih banyak kitab tafsir lain yang menggunakan metode
tafsir kontekstual. Kitab-kitab tafsir yang disebutkan hanyalah merupakan
sampel yang menurut penulis dapat mewakili kitab-kitab yang lain.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian-uraian di atas yang berbicara mengenai
metode tafsir kontekstual, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, sebagai
berikut:
1. Urgensi metode tafsir kontekstual sama
urgensinya dengan keberadaan ajaran Islam. Sebab tafsir kontekstual merupakan
upaya untuk membumikan nilai-nilai al Qur’an sehingga tetap sejalan dengan
situasi dan kondisi masyarakat atau tafsir kontekstual merupakan upaya untuk
mempertahankan semangat shalihun li kulli zaman wa makan.
2. Tafsir kontekstual atau yang penulis
istilahkan sebagai al Tafsir al Siyaqy merupakan penafsiran al Qur’an
yang berusaha menarik dan menggiring segala aspek yang terkait dengan ayat yang
ditafsirkan termasuk aspek bahasa, sosio-historis ayat, kondisi masyarakat,
dll. Disertai dengan upaya menghalau segala hal yang tidak terkait dengannya.
Akan tetapi untuk lebih simpelnya, dapat dikatakan bahwa tafsir kontekstual
adalah sebuah pendekatan dalam memahami sebuah ayat yang merupakan penafsiran
bukan secara tekstual. Metode ini sangat dibutuhkan untuk menghidupkan nilai
keuniversalan al Qur’an sehingga keberadaanya telah nampak sejak masa
Rasulullah SAW. Akan tetapi perkembangan tafsir kontekstual ini sangat terkait
dengan perkembangan zaman sehingga pola penafsiran di zaman Rasulullah berbeda
dengan pola penafsiran sahabat dan generasi-generasi berikutnya.
3. Bentuk-bentuk tafsir kontekstual dapat
dilihat dari tiga sisi, pertama, berdasarkan sumber penafsirannya terbagi
kepada dua bentuk, yaitu: tafsir kontekstual terpuji dan tafsir kontekstual
tercela. Adapun berdasarkan penyajiannya, ia terbagi kepada tiga bentuk yaitu;
tafsir kontekstual tahlily, tafsir kontekstual muqarin dan tafsir kontekstual
maudhu’i. Sementara tafsir kontekstual ditinjau dari segi pembahasannya terbagi
kepada empat macam, yaitu; tafsir kontekstual tahlily, tafsir kontekstual
ijmaly, tafsir kontekstual maudhu’i, dan tafsir kontekstual muqarin.
Pembagian-pemabagian seperti ini, pada dasarnya merujuk kepada metode tafsir
yang ditawarkan oleh Abdul Hayyi al Farmawi, namun bentuk-bentuk tersebut
dirinci ke dalam dua segi, penyajian dan pembahasan.
4. Tafsir kontekstual merupakan sebuah metode
yang dianggap paling penting dalam memahami teks al Qur’an. Sehingga metode ini
memiliki banyak kelebihan dibandingkan metode tafsir yang lain. Akan tetapi,
dengan adanya kelebihan tersebut tidak berarti ia bebas dari
keterbatasan-keterbatasan. Hanya saja keterbatasan tersebut sangat dipengaruhi
oleh kinerja dan kapabilitas penafsir. Oleh karena itu, titik utama yang
menjadi pondasi penilaian kualitas sebuah tafsir kontekstual adalah kesanggupan
mufassir memenuhi aturan-aturan penafsiran.
B.
Rekomendasi
Sebagai manusia biasa yang tidak luput dari
kesalahan dan kekurangan, sehingga penulis hanya mengaharapkan kritikan dan
masukan yang membangun dari semua pihak, termasuk dari pembaca guna memperbaiki
dan menyempurnakan tulisan dan pengetahuan penulis. Apatah lagi penulis yakin
bahwa makalah ini masih sangat jauh dari standar sebuah karya ilmiah.
Menyikapi segala bentuk masalah dan keragaman
pendapat tentang aktualisasi dan kontekstualisasi al Qur’an termasuk keragaman
bentuk pemikiran dan pendapat hendaknya dijadikan sebuah pegangan terhadap
kerahmatan agama Islam.
Inilah hasil usaha dan kerja keras penulis dalam
mencari, mempelajari dan menulis tentang apa dan bagaimana metode tafsir
kontekstual. Semoga dengan tulisan ini menjadi ilmu bagi penulis dan pembaca
sehingga dapat menuai pahala yang berlipat ganda di sisi Allah SWT. Wallahu
a’lam bi al sawab.
DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an dan terjemahannya
Abidu, Yunus
Hasan Tafsir al Qur’an; Sejarah
Tafsir dan Metode Para Mufassir. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.
Al Alusi, Ruh
al Ma’ani fi Tafsir al Qur’an al Adhim wa al Sab’ al matsani. Beirut: Dar Ihya al Turats
al ‘Arabi, tt.
Al Farmawi,
Abdul Hayyi al Bidayah fi al Tafsir
al Maudhu’I Dirasah Manhajiyah Maudhu’iyah, penerjemah: Rosihon Anwar. Bandung: Pustaka Setia,
2002.
Al Munawar, Said
Agil Husain Al Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki. Ciputat:
Ciputat Press, 2005.
Al Zarqany,
Muhammad Abdul Adhim Manahilul
‘Irfan. Kairo: al Maktabah al
Taufiqiyah,tt.
Asy Syathibi, al
Muwafaqat. Beirut:
Dar al Ma’arif, 1975.
Asyur, Ibnu Tafsir al Tahrir wa al Tanwir. Beirut: Dar al Shadr,
1965.
Djuaeni, M. Napis
Kamus Kontemporer; Istilah Politik-Ekonomi. Jakarta: Teraju, 2005.
Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia
dari Hermeneutika hingga Ideologi. Jakarta:
Teraju, 2003.
Katsir,
‘Imaduddin Abu al Fidai Ismail bin Umar Ibnu Tafsir al Qur’an al Karim. Beirut: Dar al Maktabah
al Ilmiyah, 1998.
Muhadjir, Noeng.
Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta:
Rake Sarasin, 2000
Rahman, Fazlur Major
Themes of The Qur’an. Bandung: Pustaka, 1983.
Saleh, H. Ahmad
Syukri. Metodologi Tafsir Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman. Jakarta: Gaung Persada
press, 2007.
Shihab, M.
Quraish. Rasionalitas Al Qur’an; Study Kritis atas Tafsir al Manar.Jakarta:
Lentera Hati, 2006.
--------, Membumikan
al Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan. Bandung: Mizan, 1999.
Syurbasyi,
Ahmad. Study Tentang Sejarah Perkembangan Tafsiral Qur’an al Karim
(Qishshatut Tafsir). Terj. Zufran Rahman. Jakarta: Kalam Mulia, 1999.
Tim Penyusun
Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus besar Bahasa Indonesia.
Jakarta:
Balai Pustaka, 1988.
Yunus, Mahmud. Kamus
Arab-Indonesia. Jakarta:
Hidakarya Agung, 1989.
Zakaria, Abu
Hasan Ahmad bin Faris bin Mu’jam
Maqayis al Lugah. Kairo: Dar al Fikr, 1972.
[24][1]
Lihat al Alusi, Ruh al Ma’ani fi Tafsir al Qur’an al Adhim wa al Sab’
al matsani (Beirut:
Dar Ihya al Turats al ‘Arabi, tt), jil. IV, hal. 145.
[25][2] Pendekatan tafsir di sini dimaknai
sebagai titik pijak keberangkatan dari proses tafsir. Itu sebabnya, dengan
pendekatan tafsir yang sama bisa saja melahirkan corak tafsir yang berbeda-beda.
[26][3] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hinga Ideologi (Jakarta: Teraju, 2003),
hal. 248.
[27][4]
Lihat misalnya M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al Qur’an; Study Kritis
atas Tafsir al Manar (Jakarta:
Lentera Hati, 2006), hal. 51-55 ketika ia menampilkan corak pemikiran Muhammad
Abduh yang sangat menentang taklid
[28][5]
Lihat QS. Al Isra’ : 106. dan Ibnu Asyur, Tafsir al Tahrir wa al
Tanwir (Beirut: Dar al Shadr, 1965), jil. VIII, hal. 319.
[29][1]
Lihat al Alusi, Ruh al Ma’ani fi Tafsir al Qur’an al Adhim wa al Sab’
al matsani (Beirut:
Dar Ihya al Turats al ‘Arabi, tt), jil. IV, hal. 145.
[30][2] Pendekatan tafsir di sini dimaknai
sebagai titik pijak keberangkatan dari proses tafsir. Itu sebabnya, dengan
pendekatan tafsir yang sama bisa saja melahirkan corak tafsir yang
berbeda-beda.
[31][3] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hinga Ideologi (Jakarta: Teraju, 2003),
hal. 248.
[32][4]
Lihat misalnya M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al Qur’an; Study Kritis
atas Tafsir al Manar (Jakarta:
Lentera Hati, 2006), hal. 51-55 ketika ia menampilkan corak pemikiran Muhammad
Abduh yang sangat menentang taklid
[33][5]
Lihat QS. Al Isra’ : 106. dan Ibnu Asyur, Tafsir al Tahrir wa al
Tanwir (Beirut: Dar al Shadr, 1965), jil. VIII, hal. 319.
[34][6]
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus
besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), Edisi II, hal. 458.
[35][7]
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000), Edisi IV, hal. 263-264
[36][8]
H. Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Kontemporer dalam Pandangan
Fazlur Rahman (Jakarta:
Gaung Persada press, 2007), hal. 58. pengertian yang sama dapat dilihat pada
Ahmad Syurbasyi, Study Tentang Sejarah Perkembangan Tafsiral Qur’an al Karim
(Qishshatut Tafsir). Terj. Zufran Rahman (Jakarta: Kalam Mulia,
1999), hal. 233.
[37][9] M. Napis Djuaeni, Kamus
Kontemporer; Istilah Politik-Ekonomi (Jakarta:
Teraju, 2005), cet. I, hal. 253.
[38][10] Mahmud Yunus, Kamus
Arab-Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989), hal. 185
[39][11] Abu Hasan Ahmad bin Faris nin
Zakaria, Mu’jam Maqayis al Lugah (Kairo: Dar al Fikr, 1972), jil. III,
hal. 117.
[40][12] Lihat pengertian tafsir bil ra’yi
secara lengkap pada Muhammad Husain al Dzahabi, al Tafsir wa al Mufassirun (
[42][14] Mengenai syarat-syarat yang harus
dimiliki oleh seorang mufassir, para ulama berbeda pendapat. As Suyuti
misalnya, menyebutkan lima
belas macam ilmu yang harus dimiliki oleh seorang mufassir. Namun secara umum
dan pokok dapat disimpulkan senagai berikut : a) pengetahuan tentang bahasa
Arab dalam berbagai bidangnya; b) pengetahuan tentang ilmu-ilmu al Qur’an,
sejarah turunnya, hadis-hadis Nabi, dan ushul fiqh; c) pengetahuan tentang prinsip-prinsip
pokok keagamaan; d) pengetahuan tentang disiplin ilmu yang menjadi materi
bahasan ayat. Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan al Qur’an; Fungsi dan
Peran Wahyu dalam Kehidupan (Bandung: Mizan, 1999), cet. XIX, hal. 79.
[43][15] Alasan-alasan dari kedua kelompok
tersebut dapat dilihat pada Muhammad
Abdul Adhim al Zarqany, Manahilul ‘Irfan (Kairo: al Maktabah al Taufiqiyah,tt), jil.
II, hal. 56.
[44][16] Di sini juga perlu diperjelas
perbedaan antara tafhim al Qur’an dan tafsir al Qur’an, sebab tafhim al Qur’an
atau memahaminya boleh dilakukan oleh siapa saja selama ia dapat
mempertanggungjawabkan dan sifatnya individual, sedangkan tafsir al Qur’an
merupakan sebuah upaya untuk menyingkap makna al Qur’an lebih dalam. Oleh
karenanya penafsiran ini membutuh kriteria dan persyaratan yang harus terpenuhi
agar sang penafsir tidak terjerumus masuk ke dalam lembahkesalahpahaman.
[45][17] Lihat selengkapnya pada H. Ahmad
Syukri Saleh, Op.Cit. hal. 128. dan Ahmad Syurbasyi, Op.Cit, hal. 254.
[46][18] Yunus Hasan Abidu, Tafsir al
Qur’an; Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufassir (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hal. 83
[47][19] Ahmad Syurbasyi, Op.Cit, hal. 253
[48][20] ‘Imaduddin Abu al Fidai Ismail
bin Umar Ibnu Katsir, Tafsir al Qur’an al Karim Beirut: Dar al Maktabah al Ilmiyah, 1998),
jil. VIII, hal. 481. Penafsiran ala Ibnu Abbas di atas dianggap oleh sebagian
ulama tidak termasuk tafsir kontekstual tetapi ia merupakan salah satu bentuk
tafsir implikasi, artinya Ibnu Abbas memahami ayat tersebut sebagai sebuah
akibat dari perjuangan seseorang, jika tugasnya telah selesai maka usianya
tidak lama lagi, demikian pula dengan Rasulullah. Akan tetapi penulis tetap
mengkategorikan contoh tersebut sebagai salah satu bentuk tafsir kontekstual
karena sekalipun hal tersebut dianggap sebagai pemahaman implikasi kasus tetapi
pemahaman seperti itu terjadi jika di dahului oleh pemahaman kontekstual.
[49][21] M. Quraish Shihab, Op.Cit, hal.
76
[50][22] Lihat pendapat asy Syathibi :
“Tidak dibenarkan seseorang hanya memerhatikan bagian dari suatu pembicaraan
kecuali pada saat dia bermaksud memahami arti lahiriah dan satu kesatuan kata
menurut etimologi, bukannya menurut maksud pembicaranya. Kalau arti tersebut
tidak dipahami, maka dia harus segera kembali memperhatikan seluruh
pembicaraan.” Asy Syathibi, al Muwafaqat (Beirut: Dar al Ma’arif, 1975),
cet. II, hal 414. Lihat juga M. Quraish Shihab, Rasionalitas al Qur’an;
Study Kritis atas Tafsi al Manar (Jakarta,
Lentera Hati, 2006), hal. 27
[51][23] H. Ahmad Syukri Saleh, Op.Cit,
hal. 128
[52][24] Lihat Fazlur Rahman, Major
Themes of The Qur’an (Bandung: Pustaka, 1983), hal. 70
[53][25] Said Agil Husain al Munawar, Al
Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki (Ciputat: Ciputat Press, 2005),
hal. 93.
[54][26] Abdul Hayyi al Farmawi, al
Bidayah fi al Tafsir al Maudhu’I Dirasah Manhajiyah Maudhu’iyah, penerjemaha:
Rosihon Anwar (Bandung:
Pustaka Setia, 2002), hal. 23.
[55][27] H. Ahmad Syukri Saleh, Op.Cit,
hal, 45
[56][28] Timbal-balik artinya melihat
bagaimana pemahaman ayat dari seorang mufassir dengan mufassir lain yang
kemudian ditelusuru sisi persamaan dan perbedaannya.
[57][29] Ilmu-ilmu al Qur’an terbagi tiga,
pertama, ilmu yang tidak diajarkan Allah pada seseorangpun dari
makhluk-Nya, seperti pengetahuan tentang zat-Nya. Kedua, ilmu yang hanya
diajarkan pada Nabi dan orang-orang tertentu, seperti tentang awal surat. Ketiga, ilmu
yang diajarkan kepada Nabi dan diperintahkan untuk mempelajarinya. Lihat Muhammad Abdul Adhim al Zarqany, Op.Cit, hal.
57. dan Said Agil Husain al Munawar, Al Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan
Hakiki (Ciputat: Ciputat Press, 2005), hal. 87
[58][30] Misalnya kata عين yang dapat berarti
mata sebagai alat penglihatan, emas, mata-mata, dan mata air. Namun pada ayat
18 surat al
Insan: عينا
فيها تسمى سلسبيلا “sebuah mata air yang ada di syurga
disebut salsabil”, jika lafadz ‘ain tidak diartikan dengan mata air maka secara
otomatis penafsiran tersebut akan jauh dari tujuannya, dan untuk mengetahui hal
tersebut harus juga dipertimbangkan aspek sosial dan tema pembicaraan ayat
[59][31] Ceramah H. Muin Salim pada
perkuliahan tafsir hadis khusu fakultas Ushuluddin UIN Alauddin Makassar
simester V tgl; 23 Agustus 2007
[1][6]
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus
besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), Edisi II, hal. 458.
[2][7]
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000), Edisi IV, hal. 263-264
[3][9] M. Napis Djuaeni, Kamus
Kontemporer; Istilah Politik-Ekonomi (Jakarta:
Teraju, 2005), cet. I, hal. 253.
[4][12] Lihat pengertian tafsir bil ra’yi
secara lengkap pada Muhammad Husain al Dzahabi, al Tafsir wa al Mufassirun (
[6][14] Mengenai syarat-syarat yang harus
dimiliki oleh seorang mufassir, para ulama berbeda pendapat. As Suyuti
misalnya, menyebutkan lima
belas macam ilmu yang harus dimiliki oleh seorang mufassir. Namun secara umum
dan pokok dapat disimpulkan senagai berikut : a) pengetahuan tentang bahasa
Arab dalam berbagai bidangnya; b) pengetahuan tentang ilmu-ilmu al Qur’an,
sejarah turunnya, hadis-hadis Nabi, dan ushul fiqh; c) pengetahuan tentang
prinsip-prinsip pokok keagamaan; d) pengetahuan tentang disiplin ilmu yang
menjadi materi bahasan ayat. Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan al Qur’an;
Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan (Bandung: Mizan, 1999), cet. XIX,
hal. 79.
[7][15] Alasan-alasan dari kedua kelompok
tersebut dapat dilihat pada Muhammad
Abdul Adhim al Zarqany, Manahilul ‘Irfan (Kairo: al Maktabah al Taufiqiyah,tt), jil.
II, hal. 56.
[8][16] Di sini juga perlu diperjelas
perbedaan antara tafhim al Qur’an dan tafsir al Qur’an, sebab tafhim al Qur’an
atau memahaminya boleh dilakukan oleh siapa saja selama ia dapat
mempertanggungjawabkan dan sifatnya individual, sedangkan tafsir al Qur’an
merupakan sebuah upaya untuk menyingkap makna al Qur’an lebih dalam. Oleh
karenanya penafsiran ini membutuh kriteria dan persyaratan yang harus terpenuhi
agar sang penafsir tidak terjerumus masuk ke dalam lembahkesalahpahaman.
[9][17] Lihat selengkapnya pada H. Ahmad
Syukri Saleh, Op.Cit. hal. 128. dan Ahmad Syurbasyi, Op.Cit, hal. 254.
[10][18] Yunus Hasan Abidu, Tafsir al
Qur’an; Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufassir (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hal. 83
[11][19] Ahmad Syurbasyi, Op.Cit, hal. 253
[12][20] ‘Imaduddin Abu al Fidai Ismail
bin Umar Ibnu Katsir, Tafsir al Qur’an al Karim Beirut: Dar al Maktabah al Ilmiyah, 1998),
jil. VIII, hal. 481. Penafsiran ala Ibnu Abbas di atas dianggap oleh sebagian
ulama tidak termasuk tafsir kontekstual tetapi ia merupakan salah satu bentuk
tafsir implikasi, artinya Ibnu Abbas memahami ayat tersebut sebagai sebuah
akibat dari perjuangan seseorang, jika tugasnya telah selesai maka usianya
tidak lama lagi, demikian pula dengan Rasulullah. Akan tetapi penulis tetap
mengkategorikan contoh tersebut sebagai salah satu bentuk tafsir kontekstual
karena sekalipun hal tersebut dianggap sebagai pemahaman implikasi kasus tetapi
pemahaman seperti itu terjadi jika di dahului oleh pemahaman kontekstual.
[13][21] M. Quraish Shihab, Op.Cit, hal.
76
[14][22] Lihat pendapat asy Syathibi :
“Tidak dibenarkan seseorang hanya memerhatikan bagian dari suatu pembicaraan
kecuali pada saat dia bermaksud memahami arti lahiriah dan satu kesatuan kata
menurut etimologi, bukannya menurut maksud pembicaranya. Kalau arti tersebut
tidak dipahami, maka dia harus segera kembali memperhatikan seluruh
pembicaraan.” Asy Syathibi, al Muwafaqat (Beirut: Dar al Ma’arif, 1975),
cet. II, hal 414. Lihat juga M. Quraish Shihab, Rasionalitas al Qur’an;
Study Kritis atas Tafsi al Manar (Jakarta,
Lentera Hati, 2006), hal. 27
[15][23] H. Ahmad Syukri Saleh, Op.Cit, hal.
128
[16][24] Lihat Fazlur Rahman, Major
Themes of The Qur’an (Bandung: Pustaka, 1983), hal. 70
[17][25] Said Agil Husain al Munawar, Al
Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki (Ciputat: Ciputat Press, 2005),
hal. 93.
[18][26] Abdul Hayyi al Farmawi, al
Bidayah fi al Tafsir al Maudhu’I Dirasah Manhajiyah Maudhu’iyah, penerjemaha:
Rosihon Anwar (Bandung:
Pustaka Setia, 2002), hal. 23.
[19][27] H. Ahmad Syukri Saleh, Op.Cit,
hal, 45
[20][28] Timbal-balik artinya melihat
bagaimana pemahaman ayat dari seorang mufassir dengan mufassir lain yang
kemudian ditelusuru sisi persamaan dan perbedaannya.
[21][29] Ilmu-ilmu al Qur’an terbagi tiga,
pertama, ilmu yang tidak diajarkan Allah pada seseorangpun dari
makhluk-Nya, seperti pengetahuan tentang zat-Nya. Kedua, ilmu yang hanya
diajarkan pada Nabi dan orang-orang tertentu, seperti tentang awal surat. Ketiga, ilmu
yang diajarkan kepada Nabi dan diperintahkan untuk mempelajarinya. Lihat Muhammad Abdul Adhim al Zarqany, Op.Cit, hal.
57. dan Said Agil Husain al Munawar, Al Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan
Hakiki (Ciputat: Ciputat Press, 2005), hal. 87
[22][30] Misalnya kata عين yang dapat berarti mata sebagai alat penglihatan, emas,
mata-mata, dan mata air. Namun pada ayat 18 surat al Insan: عينا فيها تسمى سلسبيلا “sebuah mata air yang ada di syurga
disebut salsabil”, jika lafadz ‘ain tidak diartikan dengan mata air maka secara
otomatis penafsiran tersebut akan jauh dari tujuannya, dan untuk mengetahui hal
tersebut harus juga dipertimbangkan aspek sosial dan tema pembicaraan ayat
[23][31] Ceramah H. Muin Salim pada
perkuliahan tafsir hadis khusu fakultas Ushuluddin UIN Alauddin Makassar
simester V tgl; 23 Agustus 2007