Rabu, 28 November 2012

Radikalisme Dalam Pandangan Islam

Radikalisme dalam Pandangan Islam
 Ust H Hasbullah Ahmad Dosen Tafsir Fakultas Ushuluddin IAIN STS Jambi

Makna Radikalisme
Radikal dalam bahasa Indonesia berarti amat keras menuntut perubahan. Sementara itu, radikalisme adalah paham yang menginginkan perubahan sosial dan politik dengan cara drastis dan kekerasan.

Radikalisme Agama
Istilah radikalisme atau terorisme sering sengaja atau tidak dialamatkan kepada umat Islam, hal ini merupakan semacam kecelakaan sejarah. Menjadi demikian karena memang posisi Islam sebagai kekuatan peradaban sedang berada di buritan.

Umat Islam sangat tersudut, karena pelaku teroris mayoritas beragama Islam dan dalam aksinya selalu menggunakan simbol-simbol Islam. Bahkan, media massa yang didominasi oleh media Barat menuduh Islam sebagai basic Idea dari terorisme, dan pesantren-pesantren yang banyak tersebar di Indonesia dituding sebagai sarang teroris.

Sebenarnya apa yang dimaksud dengan radikalisme?
Dalam sebuah buku sederhana berjudul Islam dan Radikalisme (2004), Rahimi Sabirin menjelaskan bahwa radikalisme adalah pemikiran atau sikap keagamaan yang ditandai oleh empat hal, yaitu: (1) sikap tidak toleran, tidak mau menghargai pendapat dan keyakinan orang lain, (2) sikap fanatik, yaitu selalu merasa benar sendiri (paling benar), menganggap orang lain salah, (3) sikap eksklusif, yaitu membedakan (memisahkan) diri dari kebiasaan umat Islam kebanyakan, dan (4) sikap revolusioner, yaitu cenderung menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan.

Umumnya radikalisme muncul dari pemahaman agama yang tertutup dan tekstual. Kaum radikal selalu merasa sebagai kelompok yang paling memahami ajaran Tuhan, karena itu mereka suka mengkafirkan orang lain atau menganggap orang lain sebagai sesat. Dalam sejarahnya, terdapat dua wujud radikalisme, yaitu (1) radikalisme dalam pikiran, yang sering disebut sebagai fundamentalisme, dan (2) radikalisme dalam tindakan, yang sering disebut sebagai terorisme.

Sejak kapan radikalisme muncul?
Sikap fanatik, intoleran dan eksklusif dalam masyarakat Islam pertama kali ditampakkan oleh Kaum Khawarij sejak abad pertama Hijriyah.  Kaum Khawarij pada mulanya merupakan pengikut Khalifah Ali bin Abu Thalib (sering disebut sebagai kelompok Syi’ah). Sejarah tentang Khawarij berawal dari perang Shiffin. yaitu perang antara pasukan Ali melawan pasukan Muawiyah, pada tahun 37 H/648 H.

Ketika perang berlangsung dan kelompok Ali hampir memenangkan perang, Muawiyah menawarkan perundingan sebagai penyelesaian permusuhan. Ali menerima tawaran Muawiyah. Kesediaan Ali untuk berunding menyebabkan kurang lebih empat ribu pengikut Ali memisahkan diri dan membentuk kelompok baru yang dikenal dengan Khawarij (artinya keluar atau membelot). Kelompok ini menolak perundingan. Bagi mereka, permusuhan hanya bisa diselesaikan dengan Kehendak Tuhan, bukan perundingan.  Karena kelompok Ali melakukan perundingan, maka dianggap sebagai kafir, dan dituduh sebagai pengecut. Kafir dan pengecut dipakai oleh kelompok Khawarij untuk kelompok-kelompok moderat. Kelompok Khawarij pun melalukan teror dan kekerasan terhadap orang-orang Islam yang tidak sependapat dengan mereka. Mereka bahkan memasukkan JIHAD sebagai  RUKUN IMAN.  Dan, Ali bin Abu Thalib pun dibunuh oleh seorang Khawarij –Ibnu Muljam– ketika sedang shalat subuh.

Pemikiran dan sikap keagamaan model Khawarij ternyata diteruskan oleh faham Wahabi di Arab Saudi pada abad ke12 H/18 M yang dipimpin oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Gerakan ini bermaksud memurnikan ajaran Islam, dan menuduh kaum muslim yang tidak sependapat dengan mereka disebut sebagai Islam sesat, tidak asli, atau menyimpang.

Sampai sekarang, radikalisme Islam terus berkembang. Radikalisme demikian tidak mudah dihilangkan karena terkait dengan pemahaman teologi dan syariat Islam yang kaku. Kekuasaan Barat yang semakin dominan menguasai Islam, menjadikan kekuatan radikalisme ini semakin menguat.

Menjinakkan Radikalisme dan Terorisme
Untuk menjinakkan terorisme dan radikalisme memerlukan pendekatan, pemikiran dan strategi yang cerdas, komprehensif dan integratif. Memerlukan sinergi oleh banyak pihak dan peran, baik untuk tingkat nasional, regional maupun global.  

Pertanyaan yang wajib diketengahkan terlebih dahulu adalah, bahwa perang terbuka melawan terorisme telah sejak lama digalakkan dengan berbagai cara dan menelan biaya melimpah. Densus 88 dibentuk, pengejaran, pengepungan, saling baku tembak bak dalam film sering kita saksikan, lalu hukuman mati ditegakkan.  Namun, kenapa terorisme  tak pernah habis, bahkan semakin subur, cerdas, sistematis, kreatif dan inovatif? Kenapa begitu? Karena terorisme dan radikalisme, khususnya yang berkedok agama, memiliki akarnya. Dan perang terbuka seperti tergambar di atas tak mampu membunuh akarnya. Akarnya masih tetap hidup dan terus menumbuhkan duri-duri terorisme dan radikalisme kembali. 

Akarnya banyak dan kadang sulit terbaca. Salah satunya adalah ideologi dan doktrin keliru yang telah mencuci otak para teroris dan radikalis sehingga hal keliru dianggap  benar, pembunuhan dianggap jihad. Akhirnya, mereka pun tak segan-segan melakukan perbuatan bodoh berupa teror dan radikal meskipun harus menghilangkan nyawa sendiri. Ironisnya, ideologi itu dengan sangat mudahnya mereka dapatkan dari para pengasongnya dengan cuma-cuma, bahkan sengaja dipaksakan tertanam dalam otak mereka. Bisa secara oral, melalui kitab (baca-buku), media, dan yang paling gencar adalah melalui internet. Jika akarnya adalah ideologi tentu logis jika teroris dan radikalis terus merajalela meskipun telah berulangkali ditangkapi dan dibunuhi. Karena yang terbunuh hanyalah raga semata sementara ideologinya tetap bergentayangan. Dan, untuk membunuh ideologi kita memerlukan pisau ideologi lain yang lebih tajam.

Begitulah, bahwa untuk memerangi terorisme dan radikalisme memang membutuhkan peran dari banyak elemen. Tapi peran paling fital adalah yang seharusnya dilakukan oleh para ulama. Karena serangan yang paling kuat dalam upaya meradikalkan seseorang menjadi teroris adalah ideologi. Seperti memetakan teks-teks keagamaan yang telah diselewengkan kemudian dijadikan justifikasi atas tindak terorisme dan radikalisme. Kemudian menginterpretasikan teks-teks tersebut secara toleran dan moderat.


Reinterprestasi ayat al-Qur'an
Dalam al-Qu`ran dan Hadis bertebaran keterangan yang menjelaskan keutamaan berjihad, etika berjihad, serta tujuan dan strategi jihad. Nampaknya ayat-ayat dan hadis-hadis inilah yang menjadi motivasi utama Radikalis atau Teroris (para pelaku bom bunuh diri di Indonesia), tanpa Interprestasi yang komprehensif atau dengan interprestasi kaku. Seperti pada Surah al-Nisâ’/4:74 dan 76:
فَلْيُقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللهِ الَّذِينَ يَشْرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا بِاْلأَخِرَةِ وَمَن يُقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللهِ فَيُقْتَلْ أَوْ يَغْلِبْ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
“Karena itu hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat berperang di jalan Allah. Barangsiapa yang berperang di jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan maka kelak akan Kami berikan kepadanya pahala yang besar.” (74)
الَّذِينَ ءَامَنُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ فَقَاتِلُوا أَوْلِيَآءَ الشَّيْطَانِ إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا
“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, karena sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah.” (76)

Selain kedua ayat di atas, pada Surah al-Anfâl/8: 39 juga diterangkan tentang perintah berperang melawan kaum kafir, dan ayat ini yang dijadikan oleh Imam Samudera dan kawan-kawannya sebagai dasar gerakannya. Yaitu;
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لاَتَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ للهِ فَإِنْ انْتَهَوْا فَإِنَّ اللهَ بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرُُ
“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan”

Re-Interprestasi Hadis
Rasulullah bersabda, “Keluar di pagi hari atau siang hari (untuk berjihad) fi sabilillah adalah lebih baik dari pada dunia dan seluruh isinya.” (Muttafaq ‘Alaih dari Anas bin Malik)

Rasulullah bersabda, “Demi (Allah) Dzat Yang menggenggam jiwaku, sungguh aku ingin terbunuh (dalam berjihad) fi sabilillah, kemudian aku dihidupkan, lalu aku terbunuh lagi, lalu dihidupkan lagi, lalu terbunuh lagi, lalu dihidupkan lagi, lalu terbunuh lagi.” (HR. Al-Bikhari dari Abu Hurairah)

Rasulullah bersabda, “Demi (Allah) Dzat Yang menggenggam jiwaku, tiada seseorang terluka (dalam jihad) fi sabilillah, dan Allah Maha Tahu siapa yang terluka dalam jihad fi sabilillah, kecuali ia datang pada hari kiamat, tubuhnya berwarna merah seperti darah dan aroma tubuhnya seperti minyak misk.” (HR. Muttafaq ‘Alaih dari Abu Hurairah)

Ummu Haritsah binti Saraqah menanyakan kabar anaknya yang bernama Haritsah yang wafat terkena panah nyasar kepada Rasulullah saw., “Kalau dia sekarang berada di surga, aku akan bersabar,” ungkapnya. “Dan kalau dia sekarang tidak di surga, maka aku akan meratapinya.” Rasulullah menjawab, “Ya Ummu Haritsah, putramu sekarang berada di surga firdaus yang tertinggi.” (HR. Al-Bukhari)

Rasulullah bersabda, “Ketahuilah, bahwa surga berada di bawah bayangan pedang” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Abu Aufa)

2 komentar: