PENGEMBANGAN WAWASAN
MULTIKULTURAL AGAMA
DI KALANGAN MAJELIS TAKLIM*
Ust Hasbullah Ahmad
1.
Latar belakang
Salah satu agenda besar kehidupan berbangsa dan
bernegara adalah menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dan membangun
kesejahteraan hidup bersama seluruh warga negara dan ummat beragama. Hambatan
yang cukup berat untuk mewujudkan ke arah keutuhan dan kesejahteraan adalah
masalah kerukunan nasional, termasuk didalamnya hubungan antar agama dan
kerukunan hidup umat beragama. Permasalah ini semakin krusial karena terdapat
serangkaian kondisi sosial yang
menyuburkan konflik, sehingga terganggu kebersamaan dalam membangun negeri ini.
Demikian pula kebanggaan terhadap kerukunan dirasakan selama bertahun-tahun
yang mengalami dekradasi, bahkan menimbulkan kecemasan terjadinya disintegrasi
bangsa.
Keberagaman
adalah ciri khas Indonesia.
Indonesia,
bukanlah bangunan negara yang tunggal. Dia terdiri dari beragam suku, agama,
ras dan golongan. Sehingga, sejatinya Indonesia adalah negara multikultur
yang dikenal dengan semoyan filosofi nasionalnya adalah Bhineka Tunggal Ika
(berbeda-beda tetapi tetap satu jua). Namun keberagaman yang mestinya dirayakan
dengan penuh rasa syukur ini, dalam sejarah perjalanan berbangsa, kerap menjadi
persoalan. Perjumpaan antara yang berbeda, sering terjadi tidak secara akrab.
Saling curiga yang berbuntut pada permusuhan dan konflik sering tak bisa
dihindari. (Tarmidzi Taher, 1998: 59)
Maka, Indonesia butuh etika bersama dalam memaknai keberagaman
tersebut. Sebuah sikap dan pemikiran yang memberi tempat bagi kehadiran ”the
other” dalam pergaulan publik, perlu dikembangkan. Ini bukan langkah mudah.
Sebab, agama-agama atau apapun yang saling berbeda itu akan berhadapan dengan
tuntutan menjaga ”kemurnian” ajaran dan keyakinannya. Meski pada hal
mendasarnya, karena tuntutan itulah sehingga sikap eksklusif yang tidak
menerima kehadiran ”the other” menjadi pilihan dari antara yang berbeda
itu.
Masyarakat
Indonesia
khususnya Jambi dikenal sebagai masyarakat majemuk (Pluralistic Society).
Hal tersebut terlihat pada kenyataan sosial dan semboyang dalam lambang negara
Republik Indonesia
yaitu “Bhineka Tunggal Ika” (berbeda-beda namun satu jua). Kemajemukan
masyarakat Indonesia
ditandai oleh pelbagai perbedaan, baik horizontal maupun vertikal. Perbedaan
horizontal meliputi kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan suku bangsa, bahasa,
adat istiadat dan agama. Sedangkan perbedaan yang bersifat vertikal yakni
menyangkut perbedaan-perbedaan lapisan atas dan bawah dalam masyarakat kita
saat ini sangat tajam, baik dibidang sosial, ekonomi, politik maupun budaya.
(Said Aqil Husin al Munawwar, 2003 : viii)
Ada
kecenderungan memahami multikulturalisme sebagai sesuatu yang bukan berasal
dari dalam agama, sehingga harus ditolak. Sehingga, mencari titik temu antara
konsep multikulturalisme dengan agama, adalah sesuatu yang sedikit sulit
dilakukan, tapi bukan mustahil. Sehingga, tidak berarti kesulitan itu kemudian
membuntukan usaha mempertemukan antara agama dengan konsep multikulturalisme.
Multikulturalisme memiliki visi yang mencerahkan dalam memberi petunjuk untuk
memaknai agama secara benar dalam konteks masyarakat yang multikultul seperti Indonesia.
Bahwa, multikulturalisme pada prinsipnya membuka ruang dalam sikap yang terbuka
dengan penuh semangat persamaan bagi yang saling berbeda suku, ras, agama,
golongan dan ideologi untuk hidup bersama dalam suatu arak-arakan kehidupan.
Multikulturalisme juga menuntut adanya
sikap keterbukaan untuk memaknai secara benar keyakinan yang dianut - tanpa
harus dibenturkan dengan yang lain – dalam sebuah masyarakat yang multikultur.
Visi multikulturalisme adalah terciptanya masyarakat yang multikultur dalam
sebuah persamaan hak, berkeadilan, sejahtera dan damai. Jika semangat
multikulturalisme itu diruntuhkan dengan semangat monokulturalisme, maka
hancurlah bangunan Indonesia.
Multikulturalisme sebenarnya merupakan
konsep dimana sebuah komunitas dalam konteks kebangsaan dapat mengakui
keberagaman, perbedaan, dan kemajemukan budaya, baik ras, suku, etnis, dan
agama. Sebuah konsep yang memberikan pemahaman kita bahwa sebuah bangsa yang
plural atau majemuk adalah bangsa yang dipenuhi dengan budaya-budaya yang
beragam (multikutural). Bangsa yang multikultural adalah bangsa yang
kelompok-kelompok etnik dan budaya yang ada dapat hidup berdampingan secara
damai dalam prinsip co-existence yang ditandai oleh kesediaan untuk
menghormati budaya lain. Pluralitas ini juga dapat ditangkap oleh agama,
selanjutnya agama mengatur untuk menjaga keseimbangan masyarakat yang plural
tersebut. Adapun masyarakat multikultural adalah masyarakat yang mampu
menekankan dirinya sebagai arbitrer yaitu sebagai penengah bagi proses
rekonsiliasi ketika proses dialektika tersebut menemui kejumudan atau titik
jenuh. (Ngainun Naim, 2010 : 126)
Istilah multikulturalisme juga menjadi
perbincangan yang hangat akhir-akhir ini. Bagi sebagian orang, konsep ini diharapkan
menjadi oase di tengah hubungan antar komponen masyarakat Indonesia yang
kurang harmonis. Bahkan ada yang menjadikannya obat mujarab dalam menyembuhkan
penyakit disintegrasi yang sedang menggerogoti batang tubuh bangsa.
Multikulturalisme merupakan mekanisme yang terpenting bagi pendidikan demokrasi
dan perlindungan hak-hak minoritas, ia mencegah individu atau kelompok
masyarakat yang merasa diri paling benar, dan dengan mengatasnamakan kebenaran,
mengembangkan prilaku ekslusif yang mengabaikan hak-hak orang lain. Dengan cara
demikian multikulturalisme berperan menjaga kohesi sosial, maka multikultural
adalah kemampuan masyarakat untuk mengatur sumber daya dan memproduksi serta
mereproduksi tatanan sosial dan lainnya yang ia butuhkan untuk tetap eksis.
(Elza Peldi Taher, 2009 : 199)
Peduduk Jambi terdiri dari berbagai etnis, budaya,
dan agama. Masing-masing tidak meninggalkan corak identitasnya, seperti bahasa
derah dan tradisi, sehingga mudah dikenal dan dibedakan, meskipun demikian,
antara etnis satu dengan yang lainnya saling menghormati dan menghargai adat
istiadat masing-masing. Disamping multi suku, masyarakat jambi juga menganut
berbagai agama, agama-agama yang dianut oleh masyarakat Jambi diantaranya
adalah Islam, Kristen, Katolik, Budha dan Hindu. Kesadaran masyarakat terhadap
terhadap perbedaaan agama sangat baik. Dikarenakan antara tokoh-tokoh agama,
tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh pemerintah terjalin komunikasi yang sangat
baik dalam satu wadah forum kerukunan antar umat beragama. (Mursyid Ali,
2009:120).
Majelis taklim merupakan sarana bagi
para perempuan Islam yang membutuhkan pendidikan dan pengajaran agama secara
klasikal, maka dengan adanya Majelis Taklim tersebut upaya memberikan pemahaman
tentang Multikultural sebagai wujud realisasi nilai-nilai perdamaian di
Indonesia dan di Jambi khususnya dapat
diwujudkan. Pertumbuhan majelis taklim yang begitu pesat di setiap daerah
khususnya di Jambi, mengindikasikan betapa besar animo masyarakat, khususnya
kaum perempuan jambi dalam mencari pengetahuan tentang agama. Berdasarkan data
Penamas Kementerian Agama Provinsi Jambi, setidaknya terdapat 4374 majelis
taklim di seluruh Propinsi Jambi, dengan rincian: Kota Jambi 410, Batang Hari
1753, Tanjab Barat 364, Tanjab Timur 280, merangin 355, Sarolangun 207, tebo
326, Kerinci 436. (Penerangan Agama Islam, Kementrian Agama Provinsi Jambi,
2010).
Sehubungan
dengan hal tersebut di atas, maka perlu pengembangan wawasan multikultural para
da’i dan da’iyah Jambi khususnya dan Indonesia pada umumnya, baik dalam tataran
normatif maupun realitas bagi majelis
taklim. Untuk itu, wawasan multikultural khususnya dalam masalah antara dan
Intern Umat beragama terus perlu dikembangkan dan disebar-luaskan, antara
lain melalui Buku Saku yang lebih praktis dan memungkinkan mudah dibawa ke
tempat-tempat pengajian, sebagai acuan dalam mewujudkan harmoni dan
dinamika kehidupan dalam keragaman
budaya dengan sentuhan Islam sebagai rahmatan lil ’alamin.
2.
Tujuan Penulisan Multikultural
a.
Tujuan Umum
Untuk dijadikan sebagai
media pengembangan wawasan multikultural dalam masalah antar dan intern umat
beragama dan penerapannya dalam berbagai aspek budaya di kalangan majelis
taklim
b.
Tujuan Khusus
1)
Tersusunnya deskripsi
nilai-nilai Islam tentang konsep multikultural dalam berbagai aspek budaya dan
keagamaan.
2)
Tersedianya sumber belajar agama
Islam bagi majelis taklim yang berbasis multikultural pada aspek keagamaan
dalam bentuk buku saku.
3)
Tersosialisasinya konsep
multikultural khususnya dalam wawasan keagamaan di kalangan majelis taklim.
3.
Kegunaan penulisan.
Penulisan buku saku Pengembangan Wawasan Multikultural
dalam masalah keagamaan baik antar maupun intern ummat beragama di
Kalangan Majelis Taklim ini dapat digunakan:
a.
Bagi pimpinan Pondok Pesantren,
Kepala Sekolah, Pimpinan Instansi terkait yang berupaya membumikan
multikultalisme, da’i/da’iyah dan jamaah majelis taklim sebagai bahan bacaan
agar lebih memantapkan pemahaman wawasan multikultural dalam masalah keagamaan
baik antar maupun intern ummat beragama. Dengan demikian, diharapkan akan
terwujud toleransi (tasamuh) yang tinggi dalam menyikapi perbedaan
budaya dan paham keagamaan intern umat Islam, dan dalam hubungan antarumat
beragama di Indonesia umumnya dan di Jambi pada khususnya.
b.
Bagi Direktorat Pendidikan
Diniyah, lembaga-lembaga dan organisasi Islam dan Pondok Pesantren, buku saku
ini dapat digunakan sebagai media pembinaan majelis taklim yang harus
disosialisasikan secara luas.
c.
Bagi lembaga-lembaga lain yang
peduli terhadap pengembangan wawasan multikultural dan pemberdayaan majelis
taklim sebagai bahan acuan dalam perumusan kebijakan dan operasionalisasi
pengembangan majelis taklim.
4.
Sistematika Penulisan
Tulisan tentang Multikultural dalam
masalah keagamaan baik antar maupun intern ummat beragama ini terdiri
atas 5 (lima) bagian. Bagian pertama adalah Pendahuluan yang berisi latar belakang,
di dalamnya memuat idealitas dan realitas multikultural dan majelis taklim;
tujuan penulisan, baik umum maupun khusus, kegunaan dan sistematika penulisan.
Bagian kedua menjelaskan Definisi
Operasional sebagai acuan yang digunakan dalam panduan ini, yang meliputi
majelis taklim, wawasan, multikultural, agama, dan pengertian umat.
Bagian ketiga memuat tentang deskripsi
multikultural secara umum, hakikat multikultural, multikultural di Indonesia
dan Multikultural di Provinsi Jambi dalam masalah keagamaan baik antar
maupun intern umat beragama dalam lintas general discription atau
gambaran umum penulisan.
Bagian keempat, berisi Komponen
realisasi hubungan antar dan Intern umat beragama. Bagian kelima merupakan
Penutup, saran dan rekomendasi.
BAB II
Defenisi Operasional
1.
Wawasan
Wawasan adalah cara
pandang mengenai multikultural secara luas dan menyeluruh.
2.
Multikultural
Multikulturalisme adalah pemahaman, penghargaan, dan
penilaian terhadap keragaman budaya dan sikap khas terhadap keragaman itu.
Islam sebagai din rahmatan lil ’alamin, menegaskan adanya keragaman
budaya, dan nilai-nilai Islam memberi warna budaya yang dikembangkan
masyarakat.
Dalam seminar Pusat Studi Agama dan Multikulturalisme (PSAM)
Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) bersama Puslitbang
Kehidupan Keagamaan Balitbang dan Diklat Kementerian Agama menyelenggarakan
Seminar dan Lokakarya Pengarusutamaan Multikulturalisme untuk Mengembangkan
Toleransi dan Kerjasama antarumat Beragama di Indonesia, yang
di adakan tanggal 3 sampai dengan 4 Mei 2010 bertempat di UMM Inn Malang Jawa
Timur. Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan Balitbang dan Diklat Kementerian
Agama Prof. H. Abd. Rahman Mas’ud, Ph.D memaparkan bahwa secara teologis agama
senantiasa mengajarkan keadilan, perdamaian dan saling menghargai (justice,
peace and mutual respect), etika universal yang merupakan bagian dari gagasan
multikulturalisme. Etika tersebut merupakan nilai bersama, yang tidak hanya
dimiliki oleh bangsa Indonesia,
tetapi juga merupakan nilai yang juga diakui dunia.
Beliau juga
menjelaskan: “ Indonesia
adalah sebuah negara bangsa yang multikultural di semua tingkatan mulai
konstitusi hingga praktik sosial. Secara substantif dan prosedural, semua
konstitusi produk sejarah Indonesia,
UUD 1945 dan UUDS 1950, menyimpan konsep demokrasi yang menghargai keberagaman
yang bersifat multikultural.”
3.
Majelis Taklim
Majelis Taklim adalah pendidikan non formal bagi
orang dewasa untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama Islam,
dan sebagai wadah dalam melaksanakan berbagai kegiatan yang memberikan
kemaslahatan bagi jama’ah dan masyarakat sekitarnya.
4.
Agama
Agama sebagai bagian dari budaya adalah pemikiran,
pengahayatan dan karya manusia yang dilandasi dan diwarnai nilai-nilai
keyakinan yang dianutnya.
5.
Umat
Kata ummat terambil dari kata [tulisan arab] (amma-yaummu) Yang berarti menuju,
menumpu, dan meneladani. Dari akar yang sama, lahir antara lain kata um yang berarti
"ibu" dan imam yang maknanya "pemimpin"; karena keduanya menjadi teladan, tumpuan
pandangan, dan harapan anggota masyarakat Pakar bahasa Al-Quran Ar Raghib al Isfahani
(w. 508 H/1108 M) dalam bukunya Al-Mufradat fi Gharib Al-Qur'an, menjelaskan bahwa kata
ini didefinisikan sebagai semua kelompok yang dihimpun oleh sesuatu, seperti agama, waktu,
atau tempat yang sama, baik penghimpunannya secara terpaksa maupun atas kehendak mereka.
BAB III
Deskripsi Umum Multikultural.
A. Defenisi Multikultural
Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk
menjelaskan pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun
kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas
keragaman, dan berbagai macam budaya (multikultural) yang ada dalam kehidupan
masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang
mereka anut. (http://id.wikipedia.org/wiki).
Azyumardi Azra mendefenisikan bahwa “Multikulturalisme”
pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian dapat diterjemahkan dalam
berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap
realitas keagamaan, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan
masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahami sebagai pandangan dunia yang
kemudian diwujudkan dalam kesadaran politik.
Masyarakat multikultural adalah suatu
masyarakat yang terdiri dari beberapa macam komunitas budaya dengan segala
kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia, suatu sistem
arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaan (“A
Multicultural society, then is one that includes several cultural communities
with their overlapping but none the less distinc conception of the world,
system of [meaning, values, forms of social organizations, historis, customs
and practices”).
Akhyar Yusuf Lubis dalam buku
Deskontruksi Epistemologi Modern mengungkapkan (2006:174) Multikulturalisme
mencakup suatu pemahaman, penghargaan serta penilaian atas budaya seseorang,
serta suatu penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain, Sebuah
ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik
secara individual maupun secara kebudayaan.
Multikulturalisme mencakup gagasan,
cara pandang, kebijakan, penyikapan dan tindakan, oleh masyarakat suatu negara,
yang majemuk dari segi etnis, budaya, agama dan sebagainya, namun mempunyai
cita-cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang sama dan mempunyai
kebanggan untuk mempertahankan kemajemukan tersebut.
B. Hakikat Multikultural
Indonesia termasuk negara yang mencoba memperbaiki konsepnya
dalam menghadapi keragaman agama dan budayanya. Jika sebelumnya, konsep
homogeneisasi (penyeragaman) yang mirip dengan melting pot-nya Amerika Serikat
diutamakan, maka Indonesia
saat ini menempatkan semua agama secara sejajar. Dengan memperhatikan
pokok-pokok tentang multikulturalisme dan dihubungkan dengan kondisi negara Indonesia saat ini, kiranya menjadi jelas bahwa
multikulturalisme perlu dikembangkan di Indonesia,
karena justru dengan gagasan inilah kita dapat memaknai keragaman agama di Indonesia.
Konsep ini dapat memperkaya konsep kerukunan umat beragama yang dikembangkan
secara nasional di negara kita.
Multikulturalisme sebenarnya merupakan
konsep dimana sebuah komunitas dalam konteks kebangsaan dapat mengakui
keberagaman, perbedaan, dan kemajemukan budaya, baik ras, suku, etnis, dan
agama. Sebuah konsep yang memberikan pemahaman kita bahwa sebuah bangsa yang
plural atau majemuk adalah bangsa yang dipenuhi dengan budaya-budaya yang
beragam (multikutural). Bangsa yang multikultural adalah bangsa yang
kelompok-kelompok etnik dan budaya yang ada dapat hidup berdampingan secara
damai dalam prinsip co-existence yang ditandai oleh kesediaan untuk
menghormati budaya lain. Pluralitas ini juga dapat ditangkap oleh agama,
selanjutnya agama mengatur untuk menjaga keseimbangan masyarakat yang plural
tersebut. Adapun masyarakat multikultural adalah masyarakat yang mampu
menekankan dirinya sebagai arbitrer yaitu sebagai penengah bagi proses
rekonsiliasi ketika proses dialektika tersebut menemui kejumudan atau titik
jenuh. (Ngainun Naim, 2010 : 126)
Satu hal yang harus diamalkan bahwa
gagasan multikulturalisme menghargai dan menghormati hak-hak sipil, termasuk
hak-hak kelompok minoritas. Tapi, sikap ini tetap memperhatikan hubungan antara
posisi negara Indonesia
sebagai negara religius yang berdasarkan Pancasila. Negara Indonesia tidak
membenarkan dan tidak mentolerir adanya pemahaman yang anti Tuhan (atheism).
Negara Indonesia
juga tidak mentolerir berbagai upaya yang ingin memisahkan agama dari negara (secularism).
Mungkin kedua hal ini menjadi ciri khas multikulturalisme di negara asalnya
seperti Amerika Serikat dan Eropa. Tapi, ketika konsep ini diterapkan di Indonesia, harus disesuaikan dengan konsep
negara dan karakteristik masyarakat Indonesia yang religius.
Singkatnya, multikulturalisme yang diterapkan di Indonesia adalah multikulturalisme
religius.
Merupakan kenyataan yang tak bisa
ditolak bahwa negara-bangsa Indonesia
terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain sehingga
negara-bangsa Indonesia
secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat “multikultural”. Tetapi pada
pihak lain, realitas “multikultural” tersebut berhadapan dengan kebutuhan
mendesak untuk merekonstruksi kembali “kebudayaan nasional Indonesia” yang
dapat menjadi “integrating force” yang mengikat seluruh keragaman etnis dan
budaya tersebut.
Perbedaan budaya merupakan sebuah
konduksi dalam hubungan interpersonal. Sebagai contoh ada yang orang yang bila
diajak bicara (pendengar) dalam mengungkapkan perhatiannya cukup dengan
mengangguk-anggukan kepala sambil berkata “uh. huh”. Namun dalam kelompok lain
untuk menyatakan persetujuan cukup dengan mengedipkan kedua matanya. Dalam
beberapa budaya, individu-individu yang berstatus tinggi biasanya yang
memprakarsai, sementara individu yang statusnya rendah hanya menerima saja
sementra dalam budaya lain justru sebaliknya.
Beberapa psikolog menyatakan bahwa
budaya menunjukkan tingkat intelegensi masyarakat. Sebagai contoh, gerakan
lemah gemulai merupakan ciri utama masyarakat Bali.
Oleh karena kemampuannya untuk menguasai hal itu merupakan ciri dari tingkat
intelligensinya. Sementara manipulasi dan rekayasa kata dan angka menjadi
penting dalam masyarakat Barat. Oleh karenanya “keahlian” yang dimiliki
seseorang itu menunjukkan kepada kemampuan intelligensinya.
Paling tidak ada tiga kelompok sudut
pandang yang biasa berkembang dalam menyikapi perbedaan identitas kaitannya
dengan konflik yang sering muncul. Pertama, pandangan primordialis. Kelompok
ini menganggap, perbedaan-perbedaan yang berasal dari genetika seperti suku,
ras (dan juga agama) merupakan sumber utama lahirnya benturan-benturan
kepentingan etnis maupun agama. Kedua, pandangan kaum instrumentalis. Menurut
mereka, suku, agama dan identitas yang lain dianggap sebagai alat yang
digunakan individu atau kelompok untuk mengejar tujuan yang lebih besar, baik
dalam bentuk metril maupun non-materiil. Konsepsi ini lebih banyak digunakan
oleh politisi dan para elit untuk mendapatkan dukungan dari kelompok identitas.
Dengan meneriakkan “Islam” misalnya, diharapkan semua orang Islam merapatkan
barisan untuk mem-back up kepentingan politiknya. Oleh karena itu, dalam
pandangan kaum instrumentalis, selama setiap orang mau mengalah dari prefence
yang dikehendaki elit, selama itu pula benturan antar kelompok identitas dapat
dihindari bahkan tidak terjadi. Ketiga, kaum konstruktivis, yang beranggapan
bahwa identitas kelompok tidak bersifat kaku, sebagaimana yang dibayangkan kaum
primordialis. Etnisitas, bagi kelompok ini, dapat diolah hingga membentuk
jaringan relasi pergaulan sosial. Karenanya, etnisitas merupakan sumber
kekayaan hakiki yang dimiliki manusia untuk saling mengenal dan memperkaya
budaya. Bagi mereka, persamaan adalah anugrah dan perbedaan adalah berkah.
Walaupun
pengertian kultur sedemikian beragam, tetapi ada beberapa titik kesamaan yang
mempertemukan keragaman defenisi tersebut, diantaranya adalah pertama Kultur
adalah sesuatu yang general dan spesifik sekaligus. General maksudnya adalah
setiap manusia di dunia ini mempunyai kultur dan spesifik bermaksud setiap
kultur pada kelompok masyarakat bervariasi antara satu dengan lainnya,
tergantung kepada kelompok masyarakat yang mana kultur itu berbeda.
Kedua Kultur adalah sesuatu yang dipelajari. Seorang bayi
atau anak kecil yang mudah meniru kebiasaan orang tuanya adalah contoh unik
dari kapasitas kemampuan manusia dalam belajar. Ketiga Kultur adalah
sebuah simbol, simbol dapat berbentuk sesuatu yang verbal dan non verbal.
Seperti kata harimau di Indonesia
dan Tiger dalam bahasa lain, begitu pula non verbal seperti simbol
bendera yang dapat mewakili sebuah negara.
Keempat
Kultur dapat membentuk dan melengkapi sesuatu yang alami. Kelima Kultur
adalah sesuatu yang dilakukan secara bersama-sama yang menjadi atribut bagi
individu sebagai anggota dari kelompok masyarakat. Keenam Kultur adalah
sebuah model, artinya kultur bukan kumpulan adat istiadat dan kepercayaan yang
tidak ada artinya sama sekali, kultur adalah sesuatu yang disatukan dan
sistem-sistem yang tersusun dengan jelas.
Yang ketujuh Kultur adalah
sesuatu yang bersifat adaptif, yang maksudnya kultur merupakan sebuah proses
bagi sebuah populasi untuk membangun hubungan yang baik dengan lingkungan
disekitarnya sehingga semua anggotanya melakukan usaha maksimal untuk bertahan
hidup dan melanjutkan keturunan. (Ngainun Naim, 2010 : 123)
C. Multikultural di Indonesia
Masyarakat Indonesia
merupakan masyarakat dengan tingkat keanekaragaman yang sangat kompleks.
Masyarakat dengan berbagai keanekaragaman tersebut dikenal dengan istilah
mayarakat multikultural. Bila kita mengenal masyarakat sebagai sekelompok
manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama sehingga mereka mampu
mengorganisasikan dirinya dan berfikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan
sosial dengan batas-batas tertentu (Linton), maka konsep masyarakat tersebut
jika digabungkan dengan multikurtural memiliki makna yang sangat luas dan
diperlukan pemahaman yang mendalam untuk dapat mengerti apa sebenarnya masyarakat
multikultural itu.
Multikultural dapat diartikan sebagai keragaman atau
perbedaan terhadap suatu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Sehingga
masyarakat multikultural dapat diartikan sebagai sekelompok manusia yang
tinggal dan hidup menetap di suatu tempat yang memiliki kebudayaan dan ciri
khas tersendiri yang mampu membedakan antara satu masyarakat dengan masyarakat
yang lain. Setiap masyarakat akan menghasilkan kebudayaannya masing-masing yang
akan menjadi ciri khas bagi masyarakat tersebut.
Dari sinilah muncul istilah multikulturalisme. Banyak
definisi mengenai multikulturalisme, diantaranya multikulturalisme pada
dasarnya adalah pandangan dunia -yang kemudian dapat diterjemahkan dalam
berbagai kebijakan kebudayaan- yang menekankan tentang penerimaan terhadap
realitas keragaman, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan
masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahamni sebagai pandangan dunia yang
kemudian diwujudkan dalam “politics of recognition” (Azyumardi Azra, 2007). Lawrence
Blum mengungkapkan bahwa multikulturalisme mencakup suatu pemahaman,
penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, serta penghormatan dan
keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Berbagai pengertian mengenai
multikulturalisme tersebut dapat ddisimpulkan bahwa inti dari multikulturalisme
adalah mengenai penerimaan dan penghargaan terhadap suatu kebudayaan, baik
kebudayaan sendiri maupun kebudayaan orang lain. Setiap orang ditekankan untuk
saling menghargai dan menghormati setiap kebudayaan yang ada di masyarakat.
Apapun bentuk suatu kebudayaan harus dapat diterima oleh setiap orang tanpa
membeda-bedakan antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain.
Pada dasarnya, multikulturalisme yang terbentuk di Indonesia
merupakan akibat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu
beragam dan luas. Menurut kondisi geografis, Indonesia memiliki banyak pulau
dimana stiap pulau tersebut dihuni oleh sekelompok manusia yang membentuk suatu
masyarakat. Dari masyarakat tersebut terbentuklah sebuah kebudayaan mengenai
masyarakat itu sendiri. Tentu saja hal ini berimbas pada keberadaan kebudayaan
yang sangat banyak dan beraneka ragam.
Dalam konsep multikulturalisme, terdapat kaitan yang
erat bagi pembentukan masyarakat yang berlandaskan bhineka tunggal ika serta
mewujudkan suatu kebudayaan nasional yang menjadi pemersatu bagi bangsa Indonesia.
Namun, dalam pelaksanaannya masih terdapat berbagai hambatan yang menghalangi
terbentuknya multikulturalisme di masyarakat.
D. Multikultural di Provinsi Jambi
Masyarakat Jambi kebanyakan pendatang dari berbagai
daerah yang memiliki latar belakang suku dan budaya yang beraneka ragam.
Penduduk asli Provinsi Jambi adalah Melayu. Penduduk asli dan pendatang membaur
menjadi warga masyarakat Jambi, bagi pendatang akan dikatakan masyarakat Jambi
bila telah memenuhi ketentuan tinggal “setahun padi” atau sekitar enam
bulan dengan semboyan filosofinya yaitu “dimana bumi dipijak disitu langit
dijunjung, dimana tembilang di cacak disitu tanaman tumbuh”.
Suku-suku
pendatang di Jambi terdiri dari berbagai etnis diantaranya adalah suku Bugis,
Jawa, Minang, Banjar, Batak, Sunda, Madura, Aceh, India, Arab dan lain-lain,
identitas kesukuan sangat mudah dikenal karena masing-masing suku atau etnis
memiliki perkumpulan atau organisasi berdasarkan daerah asal atau suku asal dan
didalam perkumpulan tersebut anggota ataupun pengurus dari perkumpulan itu
dengan berbagai latar belakang agama maupun pekerjaan, ada yang beragama Islam,
Kristen, Protestan Budha dan Hindu.
Antara
warga masyarakat yang berbeda suku maupun antar pemeluk agama yang berbeda bisa
duduk berdampingan secara damai. Mereka menjalankan aktivitas sehari-hari tanpa
ada gangguan dari pihak atau kelompok lain. Meskipun masing-masing suku membuat
organisasi-organisasi persatuan daerah asal masing-masing. Namun
organisasi-organisasi itu bersifat kekeluargaan dan sosial keagamaan. Hubungan
dengan warga masyarakat rukun, warga masyarakat non muslim membaur dengan
masyarakat secara luas tanpa pandang ras atau suku, bila ada hajatan syukuran
atau pernikahan terkadang non muslim pun ikut berpartisipasi sebagai wujud multikultural.
(Mursyid Ali, 2009 : 112).
Sedangkan
dalam kilasan berita Republika direalise 02 November 2010 dengan tajuk Kekerasan
Berlatar Agama Paling Banyak Terjadi di Jabar-Banten, dinyatakan
bahwa Jambi adalah wilayah dengan tingkat kekerasan yang rendah. Insiden kekerasan
terkait agama paling banyak terjadi di Banten dan Jawa Barat. Keduanya
menempati posisi teratas dengan masing-masing 28 kasus dan 23 kasus belakangan
ini. “Kekerasan keagamaan di dua provinsi ini menyumbang andil sekitar 67
persen dari total 76 insiden yang terjadi di 10 provinsi dalam kurun waktu
beberapa tahun terakhir,” kata Rudy Harisyah Alam, peneliti dari Balai
Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, dalam Seminar Hasil Penelitian Peta
Kerukunan Antar Umat Beragama Provinsi Banten yang dilakukan Balai, di Hotel
Santika, Bogor, Senin malam.
Sementara Nanggroe Aceh Darussalam dan
Sumatera Barat berada di posisi tengah dengan tingkat kekerasan masing-masing
11 kasus dan tujuh kasus. Sedangkan Jambi, Bengkulu, Lampung dan DKI Jakarta
menjadi wilayah dengan tingkat kekerasan yang rendah, yaitu antara satu hingga
tiga kasus. Sebaliknya dua provinsi yaitu Sumatera Utara dan Sumatera Selatan
tercatat sebagai wilayah dengan insiden keagamaan paling mini, bahkan hingga
zero level (nol). (REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR,
tgl 02/11/10).
BAB IV
Hubungan antar dan Intern umat
beragama
A.
Kerukunan antar umat beragama
Kerukunan antar umat
beragama di Jambi relatif rukun, hal ini terbukti belum pernah terjadi konflik
terbuka antar umat beragama, namun potensi konflik tampak selalu ada seperti
pendirian tempat ibadah khususnya gereja, kemudian pelaksanaan kebaktian yang
dilaksanakan di rumah kristian yang berada ditengah-tengah mayoritas muslim.
Potensi yang sedemikian akan mudah dihilangkan bila pemerintah
dan masyarakat menyikapi dengan bijaksana yang wujud nyatanya terlihat adalah
dialog melalui forum kerukunan antar umat beragama, kesadaran masyarakat
terhadap pentingnya hidup harmonis dan rukun dengan menciptakan mekanisme
sendiri serta terjalinnya kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah.
(Mursyid Ali, 2009 : 135).
SKB Menteri Agama dan Mendagri tahu 1979 No.
01/BER/MDG-MAG/1979 yang ditindaklanjuti dengan edaran Gubernur Jambi bahwa
pendirian rumah Ibadah boleh dibangun bila jumlah KK disekitar tersebut berjumlah
40 KK. Hal tersebut diwujudkan untuk mengatur, memupuk keharmonisan dan
kerukunan serta menumbuhkan toleransi antar umat beragama guna mendukung
terciptanya kehidupan beragama yang penuh kerukunan dan keharmonisan.
Namun Fakta
Nyata bagi masyarakat minoritas seperti kristen masih merasakan ganjalan yang
berat karena mereka melihat bahwa Muslim mayoritas mendirikan rumah ibadah
terkadang hanya 3 sampai 4 kemudian mendirikan mushola terkadang dalam 1 RT
terdapat 2 sampai 3 Mushola tanpa mengindahkan peraturan-peraturan yang
berlaku, padahal disekitar mushola itu sudah ada masjid. Maka bagi kalangan
minoritas menganggap itu adalah sebuah diskriminatif.
Membangun
kehidupan umat beragama yang harmonis memang bukan merupakan agenda yang
ringan, agenda ini harus dijalankan dengan hati-hati mengingat agama lebih
melibatkan aspek emosi daripada rasio, lebih menegaskan “Klaim Kebenaran” dari
pada “Mencari Kebenaran”, meskipun sejumlah pedoman telah digulirkan, pada
umumnya masih sering terjadi gesekan-gesekan ditingkat lapangan, terutama
berkaitan dengan penyiaran agama, pembangunan rumah ibadah, perkawinan beda
agama, bantuan luar negeri, perayaan hari-hari besar keagamaan, kegiatan aliran
sempalan, epenodaan agama dan lain sebagainya.
Meskipun membangun pembangunan kehidupan umat beragama yang
harmonis menghadapi tantangan berat, namun terdapat sejumlah peluang yang
menguntungkan yang dapat dijadikan landasan atau kaedah bersama ke depan,
diantara peluang tersebut adalah: Pertama semua agama ingin mensejahterakan
para pemeluknya, secara universal agama ingin menolong orang-orang miskin dan
teraniaya. Persamaan tersebut memungkinkan kerjasama dalam melakukan
kegiatan-kegiatan sosial dalam rangka penanggulangan kemiskinan, kebodohan dan
berbagai bendaca sosial lainnya. Kedua Agama-agama di Indonesia bersedia
mengembangkan wawasan keagamaan yang inklusif, mau menerima dan menghargai
kehadiran golongan agama-agama lain dan hidup berdampingan secara damai. Ketiga
Hubungan kekerabatan dalam masyarakat Indonesia dapat meredam pertentangan
antara agama yang berbeda. Keempat masyarakat secara Tradisional ada
kebiasaan-kebiasaan dan pranata sosial yang sudah melembaga dan fungsional
untuk memelihara ketertiban serta kerukunan masyarakat sekalipun berbeda agama.
Kelima Dialog dan Forum antar umat beragama. Keenam Wawasan
keberagaman makin meningkat dan luas. Ketujuh Berbagai kemudahan bagi
pemeluk agama untuk mengaktualisasikan ajaran agamanya dalam hidup sehari-hari.
(Said Aqil al Munawwar, 2003 : xiv).
Eksistensi Manusia dalam kebersamaan ini, dapat dipahami bahwa
arti manusia bukan terletak pada akunya tapi pada kitanya atau
pada kebersamaannya. Kebersamaan ini tidak hanya tergambar dalam bentuk
kolektif saja, tetap jauh dari itu, yakni kebersamaan dalam wujud saling membutuhkan
secara timbal balik. Allah SWT menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan
bergolong-golongan, sebagaimana Firmannya dalam QS al Hujurat/ 49:13 :
Artinya : Hai
manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Prof Dr H Said Aqil al Munawar dalam bukunya Fiqih hubungan
antar agama (2003), menyatakan bahwa dalam mewujudkan kerukunan antar umat
beragama diperlukan beberapa unsur sebagai penunjang utama. Unsur terkandung
yang terkandung dalam pengertian kerukunan antar umat beragama adalah :
a.
Adanya beberapa subjek sebagai unsur utama
Maksudnya adalah tiap
golongan umat beragama merupakan unsur utama dalam kerukunan, walaupun bangsa
Indonesia terdiri dari berbagai pemeluk agama, namun agama itu sendiri tidak
melarang pemeluknya untuk rukun dengan pemeluk agama lain
b.
Tiap subjek berpegang kepada agama masing-masing
Maksudnya adalah tiap
subjek harus menyadari, bahwa perbedaan agama bukan sebagai arena atau sarana
persaingan yang tidak sehat. Berpegang kepada agama masing-masing dan memahami
urgensi kerukunan, maka kerukunan antar umat beragama tidak lagi merupakan
masalah yang hanya menjadi topik pembicaraan secara teoritis, tapi sebagai
sarana untuk membuka jalan dalam mewujudkan kerukunan secara praktis dan
pragmatis, sehingga kerukunan antar umat beragama tidak lagi mengendap dalam teori
statis dengan status quo yang hanyut dengan arah dan tujuan yang tidak
jelas.
c.
Tiap subjek menyatakan diri sebagai partner
Maksudnya adalah adanya
saling pengertian tidak menekan atau ditekan oleh kemauan masing-masing subjek,
sesuai dengan situasi bangsa dan negara Indonesia yang sedang membangun, maka
kerukunan yang dituntut adalah kerukunan fungsional dan dinamis. Kerukunan ini
dipelihara dengan saling memahami, saling memperdulikan, dan saling membantu
dengan berorientasi kepentingan bersama. (Ibid, 2003 :7)
Semua
komponen dari unsur tersebut dapat berjalan dengan baik dan benar bila
dibarengi dengan akhlaq atau etik pergaulan yang baik pula, diantara etik
pergaulan tersebut adalah: Pertama saling menerima, tiap subjek
memandang dan menerima subjek lain
dengan segala keberadaannya dan bukan menurut kehendak dan kemauan subjek yang
pertama. Dengan maksud setiap golongan umat
beragama menerima golongan agama lain dalam hal kehidupan bermasyarakat
tanpa memperhitungkan perbedaan, kelebihan atau kekurangan.
Kedua Sikap saling mempercayai
merupakan kenyataan dan pernyataan dari saling menerima. Bila sikap ini hilang
kemudian berganti dengan sikap saling berprasangka serta saling mencurigai.
Kerukunan umat beragama akan terpelihara dengan terpeliharanya saling
mempercayai antara satu golongan agama dengan golongan agama lain. Ketiga Prinsip berfikir postif (Positive Thingking)
Prinsip ini akan dapat mempersatukan naluriah kolektif dan menumbuhkan rasa
tanggungjawab yang menurut kesusilaan harus dipikul dan ditanggung bersama.
Bila
ditinjau dari kepentingan agama-agama itu sendiri serta urgensinya dalam
membangun dan membina masyarakat dan bangsa, maka kerukunan antar umat beragama
bertujuan untuk memelihara eksistensi agama-agama, memelihara eksistensi Pancasila
dan UUD 1945, memelihara persatuan dan rasa kebangsaan, memelihara stabilitas
dan ketahanan nasional, menunjang dan mensukseskan pembangunan, mewujudkan
masyarakat religius. (Ibid, 2003 : 24).
Azyumardi
Azra dalam buku merayakan kebebasan beragama editor Elza Peldi Taher (2009:16) mengatakan
bahwa Kemajemukan keagamaan diantara umat manusia tidak terelakkan lagi, bahkan
kemajemukan itu telah merupakan hukum Tuhan (Sunnatullah). Karena itu,
agama Islam tidak boleh dipaksakan kepada siapapun, karena jika Tuhan
menghendaki, semua umat manusia akan beriman. Allah SWT berfirman dalam QS al
Baqarah/ 2:256 dan QS Yunus/10:99 :
Artinya :Tidak ada
paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang
benar daripada jalan yang sesat.
Artinya: Dan Jikalau
Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya.
Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang
yang beriman semuanya ?
Dr Aidh al
Qarni dalam buku Tafsirnya Tafsir al Muyassar (jld 1,2008 :202) beliau
menafsirkan Janganlah kalian memaksa orang untuk memeluk Islam, karena yang
wajib bagi kalian adalah menyeru manusia untuk masuk Islam melalui pemahaman
serta dialog dengan cara yang terbaik. Sebab, Islam telah jelas mana yang
merupakan petunjuk dan mana yang kesesatan. Mana keimanan dan mana kekafiran.
Hal ini juga senada dengan interprestasi Muhammad Musthofa al Maraghi dalam tafsir
al Maraghi (jld 1, 2001:261) bahwa jangan ada paksaan tapi seru mereka
dengan bukti dan dialog.
Dalam
konteks al Qur’an pula, Allah SWT membolehkan kita berinteraksi dan
berdampingan dengan orang-orang non muslim selama mereka mau berdamai dan tidak
memerangi kita, hal ini difirmankan Allah didalam QS al Mumtahanah, 60/ 8 :
Artinya : Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan
berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu Karena agama dan tidak
(pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berlaku adil.
Dalam tafsir fi dhilal al Qur’an Sayyid Qutub (1972 :
3544) mengatakan bahwa Islam adalah agama damai, aqidah yang penuh cinta,
aturan yang berprespektif melindungi dengan penuh perlindungan, dan terus
membangun sistem dengan mengayomi seluruh umat dalam bendera persaudaraan yang
saling mengenal dan harmonis. Allah menyuruh kita untuk melindungi dan
memberikan ketenangan kepada non muslim, bahkan kita harus berlaku adil dalam
implementasi hukum dan sosial. Senada dengan Muhammad Ali al Shabuni dalam
kitabnya Shafwat al Tafasir (2002:312) menyatakan bahwa Allah SWT tidak
melarang kita berbuat baik dengan non muslim yang tidak memerangi kita dalam
hal agama, dan tidak pernah mengusir dari kampung kita baik wanita maupun
anak-anak, maka sepatutnya kita berbuat adil dan baik kepada mereka baik dalam
hukum dan seluruh aspek kehidupan.
Sementara Prof DR Hamka (1985: 102) dalam kitab Tafsir al
Azhar, beliau mengatakan bahwa dengan tegas bahwa Allah tidak melarang kamu hai
pemeluk agama Islam, pengikut Nabi Muhammad SAW berbuat baik atau bergaul
dengan cara yang baik dan berlaku adil dan jujur dengan golongan atau agama
lain baik mereka itu Yahudi atau Nasrani ataupun Musyrik, selama mereka tidak
memerangi kamu, tidak memusuhi kamu atau mengusir kamu dari kampun halaman
kamu, dengan begini hendaknya disisihkan perbedaankepercayaan dan pergaulan
sehari-hari. Dan dalam ayat ini Allah SWT menggunakan kata qist bukan ‘adl
karena kata qist lebih luas yang mencakup pergaulan hidup, tegasnya
jika kita berbaik dengan tetangga sesama Islam hendaknya juga sama adilnya
dengan kita berbaik dengan tetangga non muslim, maka hal ini tidak hanya
berlaku pada masa nabi tapi juga zaman kita sekarang, karena ayat ini adalah Muhkamat
yang tidak pernah dimansukhkan jadi dalam segala zaman kita harus
tetap berbuat baik, adil, jujur dan harmonis selama mereka tidak memusuhi dan
mengusir kita dari kampung halaman.
Sikap dan Prinsip Toleransi tidak hanya ada dalam konstitusi
tapi juga berakar dalam tradisi agama dan kepercayaan khususnya dalam Agama
Islam, Prinsip Toleransi ini dalam al Qur’an termuat dibebarapa tempat yaitu QS
al Baqarah/2:256 (Tidak ada paksaan dalam memeluk Agama); QS Yunus/10:99
(larangan memaksa seseorang untuk beriman). QS Ali Imron/ 3:64 (himbauan untuk
mencari titik temu (Kalimatun Sawa’) QS al Mumtahanah/49:8-9 (anjuran
berbuat baik, berlaku adil dan menolong orang-orang non muslim yang tidak
memusuhi dan mengusir mereka dari kampung halamannya). (Elza Peldi Taher, 2009
: 344).
Sedangkan dalam tradisi Fiqh, prinsip ini termuat dalam “Maqashid
Syari’ah” yaitu Kebebasan Hidup (Hifdz
al Nafs), Kebebasan beropini dan berpendapat (Hifdz al ‘Aql),
Menjaga kelangsungan hidup (Hifdz al Nasl), menjaga kebebasan memiliki
properti (Hifdz al Mal), Kebebasan Beragama (Hifdz al Din).
Sedangkan Prof DR Tarmidzi Taher, mantan menteri Agama RI,
mengistilahkan bahwa pembangunan Islam di Indonesia harus dengan prinsip Ummatan
Wasathan yakni umat yang moderat dan berorientasi kualitas) untuk
mewujudkan kerukunan dan toleransi antar umat beragama. (Tarmizi Taher, 1998 :
101)
Dengan
demikian jelas, bahwa Islam mengakui hak hidup agama-agama lain tersebut dengan
berdampingan penuh kedamaian, keharmonisan dan toleransi, untuk menjalankan
ajaran-ajaran agama masing-masing. Disinilah terletak dasar ajaran Islam yang
mengenai tasamuh (toleransi) beragama.
B.
Kerukunan Intern Umat beragama
Kerukunan intern umat
beragama di Jambi khususnya muslim sangat baik, dan juga tidak menafikan secara
kasat mata begitu juga damai dan rukunnya non muslim dengan sesama mereka dalam
intern beragama. Karena memang mayoritas masyarakat Jambi adalah Muslim yang
masing-masing sangat memegang erat prinsip adat yang sangat kental yaitu adat
bersendi syara’ syara’ bersendi kitabullah yang bermakna bahwa apa saja
yang dilakukan dan diamalkan mestilah berlandaskan pada Kitabullah yaitu al
Qur’an dan Sunnah. Maka kerukunan intern umat beragama ini penulis tampilkan
dalam tulisan ini adalah kerukunan intern umat beragama khususnya Islam secara
dalil normatif yaitu al Qur’an dan Sunnah.
Secara fakta memang tampak ada terjadi kekurangrukunan
khususnya dalam hal ketidaksamaan dalam melakukan ritual atau bahasa lain
sering disebut dengan masalah khilafiyah dan furu’iyyah yang
sesungguhnya telah menjadi bahan perdebatan yang klasik dari ulam-ulama Fuqaha
terdahulu. Namun pemahaman tersebut terus bergulir sehingga terkadang menjdai
pemisah antara satu pemahaman dengan pemahaman lain. Diantara contoh yang
tampak adalah perbedaan paham dalam organisasi Islam yang terkenal di Indonesia
atau di Jambi pada khususnya yaitu (NU, Muhammadiyyah, LDII, Jama’ah Thariqat
dan lain-lain), seperti pelabelalan dengan kata Jama’ah Kompor yang
dilabelkan pada kumpulan Jama’ah Tabligh karena masyarakat melihat Jama’ah
ini selalu membawa beras dan kompor, begitu juga dalam perilaku sehari-hari
berlainan dengan masyarakat secara umum seperti bentuk pakaian (selalu memakai
gamis, surban, kain sarung diatas mata kaki), memelihara jenggot sampai panjang
dan memiliki metode khuruj yaitu keluar empat hari bahkan sampai empat
bulan bagi yang sudah sampai pada tingkatan lanjut.
Begitu
juga dengan masalah pembacaan surah yasin bersama-sama, pembacaan talqin,
kebiasaan niga hari, nujuh hari atau bahkan sampai empat puluh hari atau haul
terhadap orang yang meninggal. Perbedaan dalam Praktek sholat seperti
menggerak-gerakkan telunjuk ketika tahiyat, sujud seperti orang yang tiarap
atau dalam hal pengankatan dangan dalam takbiratul ihram. Perbedaaan ini kerap
terjadi. Yang menyedihkan lagi ada beberapa orang yang tidak mau mengangkat
Imam dari golongan yang mempunyai perbedaan dengan mereka dalam hal amaliyah
atau perbedaan gerkan sholat.
Tapi semua
itu terjadi hanya sebatas perbedaan pendapat yang tidak pernah berujung kepada
konflik yang tidak diinginkan, karena permasalahan demikian dapat diredam
dengan komunikasi ilmu tentang amaliyah dalam ibadah sehari-hari sebagai wujud
kerukunan intern umat beragama.
Maka dalam
hal kerukunan intern umat beragama Islam menawarkan karasteristik masyarakat
Islam yang sejati dan ideal. Diantara karakter tersebut adalah Pertama berpedoman
kepada al Qur’an dan Sunnah, masyarakat Islam yang ideal berpedoman kepada al
Qur’an dan sunnah secara totalitas dan tidak pula menginterprestasikan al
Qur’an mengikut hawa nafsunya, sehingga al Qur’an dapat dibumikan dalam
kehidupan sehari-hari sebagai sebuah pedoman kehidupan sosial seperti yang
diperkenalkan oleh ahli tafsir yaitu Syekh Muhammad Abduh dengan sistem
pemahaman tafsir yang bernuasa adab al Ijtima’i yaitu penafsiran dengan
metode sosial kemasyaratan.
Kedua Menghargai sesama secara
profesional dengan cara tidak lebih tinggi bersuara (QS al Hujurat/49:2), tidak
berkata kasar atau keras ((QS al Hujurat/49:3), dan sabar menunggu (QS al
Hujurat/49:5). Yang ketiga waspada terhadap isu, apalagi isu yang
memecah belah persatuan dan kesatuan serta perdamaian apalagi isu yang
dilayangkan oleh provokator yang tidak bertanggungjawab dengan maksud merusak.
Maka Islam menyuruh kita untuk mengklarifikasi terlebih dahulu melakukan filterisasi
dari lautan informasi yang terlalu bebas tanpa saring. Tidak semua informasi
itu baik, benar dan bermanfaat akan tetapi ada yang bersifat fitnah, hasud
atau da’wah syaithaniyah seperti kemaksiatan, pornografi dan lain-lain.
Fungsi ini dikenal dalam al Qur’an sebagai kata tabayyun.
Sikap filterisasi atau klarifikasi dilakukan untuk
mensejahterakan umat Islam dalam suasana ketenangan karena Islam menyuruh kita
untuk tabayyun (klarifikasi), ta’dib Ummah (Mendidik ummat) dan
juga Tanmiyatul ‘Adalah (Pengembangan keadilan). Apabila hal ini
dikesampingkan maka akan terjadi perpecahan dan ketidak harmonisan sehingga
kerukunan intern umat beragama terabaikan. (Samantho, 2000 : 69).
1.
Tata Pergaulan antar intern umat Islam.
Sesungguhnya mukmin itu
adalah bersaudara, maka saling mendamaikan dan mewujudkan kerukunan adalah
sebuah kewajiban karena “Muslim itu adalah saudara bagi Muslim yang lain”
sebagaimana yang difirmankan Allah dalam QS al Hujurat 49/10 (Sesungguhnya
orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua
saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapatkan rahmat)
Asal niat
kita suci untuk mewujudkan kerukunan dan kedamaian insya Allah bisa terwujud
dengan baik, diantara bentuk yang aplikatif untuk diwujudkan dalam tata
pergaulan sesama muslim adalah :
pertama
Janganlah
saling olok mengolok karena kadang-kadang orang yang diolok-olokkan itu lebih
baik disisi Allah daripada orang yang mengolok-olokkannya. (QS al Hujurat
49/11). Fenomena olok-mengolok dalam masyarakat kita kerap kali terjadi
khususnya pada akhir-akhir ini karena adanya demokrasi yang bablas sehingga
yang satu menghina atau mengolok-olok yang lain dengan tujaun untuk mendapatkan
apa yang diinginkannya. Kesombongan kelompok menjadi pilihan yang padahal
merusak tatanan akhlaq dan kerukunan intern umat beragama, Rasulullah bersabda
: الكبر بطر الحق وغمص الناس (Kesombongan itu menolak kebenaran dan
memandang rendah manusia) (HR Bukhori). Terkadang yang kita sedihkan pula majelis taklim
yang murni merupakan tempat menuntut ilmu dilecehkan oleh sekelompok orang
dengan menyebarkan bentuk olok-olokan atau hinaan kepada yang lainnya. Demi
mewujudkan keinginan pribadinya. Hal ini terjadi pada masa PILLEG dan PILKADA.
Padahal
Allah SWT telah mengingatkan kita untuk tidak mngolok-olok sebagaimana firman
Allah dalam QS al Hujurat/ 49:11) yang termaktub :
Artinya : janganlah sekumpulan
orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan
itu lebih baik dari mereka.
Kedua Janganlah mencelah sebagian kamu dengan sebagian yang
lain (QS al Hujurat/49:11) Artinya
: Janganlah suka mencela dirimu sendiri.
Dalam ayat
ini tersurat janganlah kamu menghina dirimu sendiri yang padahal ini merupakan
peringatan bahwa orang yang berakal tentu takkan mencela dirinya sendiri, oleh
karena itu tidak sepatutnya kita mencela orang lain. Karena rasul bersabda
”Mukmin satu dengan mukmin yang lain seperti satu tubuh, apabila salah satu
anggota sakit maka seluruh tubuhpun akan merasakan sakit” (HR Bukhori).
Fenomena
cela mencelapun sudah menjadi kebiasaan masyarakat kita, khususnya pada wanita
karena faktor beda kultur dan keadaan. Maka ayat inilah sebagai pengingat bahwa
menghina sesama mukmin sama saja dengan menghina diri sendiri. Dan hal tersebut
dilarang dalam tatanan pergaulan intern umat beragama khususnya Islam.
Ketiga Janganlah memanggil
dengan gelar yang menyakitkan hati atau yang tidak disukai (QS al
Hujurat/49:11) :
Artinya : Jangan
memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan.
Sering
kita saksikan fenomena dalam hidup kita memanggil orang dengan gelar yang
menyakitkan seperti ketika orang itu hitam dipanggil dengan gelar black, ketika
orang itu berjualan ayam digelar etek ayam ketika orang itu boneng
digelar Giman (gigi mancung), kalau orang itu pendek gemuk digelar Pendekar
(pendek dan kekar) dan seterusnya, yang dengan hal tersebut bisa
mengakibatkan ketidak rukunan karena gelar yang tidak baik dan tidak disukai.
Keempat Jauhi
berprasangka buruk terhadap sesama dalam kehidupan bermasyarakat (QS al
Hujurat/49:12) : Artinya
: Jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari
purba-sangka itu dosa.
Prasangka
adalah tuduhan yang bukan atau persangkaan yang tidak beralasan, hanya
semata-mata tuduhan. Karena prasangka adalah dosa (Hamka, jilid 26,1982:205).
Rasul bersabda dari riwayat Thabrani : ”Tiga macam membawa krisis bagi umatku
yaitu memandang kesialan, dengki dan buruk sangka (HR Thabrani)
Kelima Janganlah suka
mencari-cari kesalahan orang lain atau sengaja memata-matai dengan tujuan yang
buruk dan juga jangan menggunjing (QS al Hujurat/49:12)
Artinya
: Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan
satu sama lain.
Maksud jangan suka mencari kesalahan orang lain adalah
jangan suka mengorek-orek hal yang sesungguhnya tidak ada kemudian diadakan
dengan tujuan menjatuhkan atau menfitnah, sedangkan menggungjing atau ghibah
adalah membicarakan aib dan keburukan seseorang sedang ia tidak hadir atau
berada ditempat. Yang mana naudzu biLLAH ayat ini dilanjutkan dengan
informasi bahwa bila kita menggungjing sama kondisinya dengan kita memakan
daging saudara kita sendiri padahal kita benci.
2.
Hak Muslim satu dengan yang lainnya.
Sesama muslim mesti
saling melindungi antara satu dengan yang lain dalam hal yang positif. Dalam
ajaran Islam bahwa saling membantu dan melindungi adalah bentuk akhlaq muslim
yang mulia. Rasul bersabda yang
maksudnya “Barang siapa melapangkan nafas seorang muslim dari suatu kesusahan maka
Allah akan melapangkan nafasnya dari kesusahan-kesusahan akhirat, dan barang
siapa yang mempermudah bagi yang mendapat kesukaran, maka Allah akan memudahkan
orang itu di dunia dan akhirat, dan barang siapa menutup cela seorang muslim,
maka Allah akan menutup celanya di dunia dan akhirat, dan Allah akan selalu
menolong hambanya selama hambanya itu suka menolong saudaranya” (HR Muslim).
Sedang
sikap atau hak seorang muslim dengan yang lain Rasulpun bersabda : “Hak orang
muslim dengan muslim yang lain ada enam: Apabila engkau berjumpa berikan salam
padanya, dan apabila ia mengundangmu maka hadirilah, dan apabila ia meminta
nasehat kepadamu berilah nasehat, dan apabila ia bersin dan memuji nama Allah
maka doakanlah ia, dan apabila sakit hendaklah engkau melawatnya, dan apabila ia
meninggal dunia, maka iringilah ia (HR Muslim).
BAB V
Penutup
A.
Kesimpulan
·
Masyarakat
Indonesia
khususnya Jambi dikenal sebagai masyarakat majemuk (Pluralistic Society).
Hal tersebut terlihat pada kenyataan sosial dan semboyang dalam lambang negara
Republik Indonesia
yaitu “Bhineka Tunggal Ika” (berbeda-beda namun satu jua).
·
Masyarakat
multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam komunitas
budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai
dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta
kebiasaan
·
Masyarakat
Jambi kebanyakan pendatang dari berbagai daerah yang memiliki latar belakang
suku dan budaya yang beraneka ragam. Penduduk asli Provinsi Jambi adalah
Melayu.
·
Kerukunan antar umat beragama di Jambi relatif
rukun, hal ini terbukti belum pernah terjadi konflik terbuka antar umat
beragama, namun potensi konflik tampak selalu ada seperti pendirian tempat
ibadah khususnya gereja, kemudian pelaksanaan kebaktian yang dilaksanakan di
rumah kristian yang berada ditengah-tengah mayoritas muslim begitu juga halnya
dengan intern umat beragama.
·
Kerukunan intern umat beragama di Jambi khususnya
muslim sangat baik, karena memegang erat prinsip adat yang sangat kental yaitu adat
bersendi syara’ syara’ bersendi kitabullah yang bermakna bahwa apa saja
yang dilakukan dan diamalkan mestilah berlandaskan pada Kitabullah yaitu al
Qur’an dan Sunnah.
B.
Rekomendasi
·
Mudah-mudahan referensi kecil ini dapat
dimanfaatkan untuk memberikan pemahaman tentang Multikultural khususnya
dikalangan ahli ilmu yang komitmen terhadap kerukunan dan kedamaian.
·
Pemerintah Daerah baik Provinsi, Kota maupun
Kabupaten, mesti memberikan perhatian khusus baik materil maupun moril dalam
mewujudkan kerukunan antar dan intern ummat beragama. Sehingga tidak ada yang
merasa terzalimi atau tertindas haknya karena tidak adanya perlindungan khusus
dalam hal ini pemerintah setempat.
·
Kepada seluruh masyarakat, marilah kita gunakan
cara dialogis yang hikmah dalam setiap menyelesaikan konflik yang terjadi tanpa
ada kekerasan dan anarkhisme, sehingga Jambi dapat terwujud dengan Program
Jambi EMAS (Ekonomi Maju Aman dan Sejahtera).
Daftar Pustaka
Lubis, Akhyar Yusuf,. Deskontruksi
Epistemologi Modern. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu 2006
Samantho, S.Ahmad, Jurnalistik Islami panduan praktis bagi para aktivis
Muslim, Jakarta : Penerbit Harakah. 2002.
Elza Peldi Taher (ed), Merayakan Kebebasan Beragama, Bunga Rampai 70 tahun
Djohan Efendi. ICRP, Jakarta : 2009.
Tarmizi Taher, Menuju Ummatan Wasathan, kerukunan beragama di Indonesia.
PPIM, Jakarta : 1998.
Ngainun Naim & Achmad Syauqi, Pendidikan Multikultural, Konsep dan
Aplikasi, Arruz Media, Yogyakarta : 2010.
Said Aqil Husin al Munawwar, Fikih Hubungan antar Agama, Ciputat
Press, Jakarta : 2003
M Tuwah Subardi (ed), Islam Humanis. PT Moyo Segoro Agung, Jakarta :
2001.
Muhammad Imarah, Islam dan Pluralitas, Perbedaan dan Kemajemukan dalam
bingkai persatuan. Gema Insani Press, Jakarta : 1999.
M Quraish Shihab, Membumikan al Qur’an, Fungsi wahyu dalam kehidupan
bermasyarakat, Mizan, Bandung : 1994.
Mursyid Ali, Pemetaan Kerukunan Kehidupan Beragama di Berbagai Daerah di
Indonesia, Puslitbang Kehidupan
Beragama, Jakarta : 2009.
Sayyid Qutub, Tafsir fi Dhilal al Qur’an, Dar al Syuruq, Mesir :
1972.
Muhammad Ali al Shobuni, Shafwat al Tafasir, Dar Ehiya al Turats al
’Arabi, Lubnan : 2002.
Hamka, Tafsir al Azhar, Penerbit Pustaka Panjimas, Jakarta : 1982.
Muhammad Thalhah Hasan, Dinamika Kehidupan Religius, Listafariska
Putra, Jakarta : 2003.
Mustofa al Maraghi, Tafsir al Maraghi, Dar al Fikr, Beirut : 2001.
Aidh al Qarni, Tafsir Muyassar, (Terjemahan) Qisti Press, Jakarta :
2007.
* Ditulis dalam rangka penyusunan modul pembelajaran tentang Multikultural bagi Majelis Taklim Kerja sama Puslitbang Kehidupan
Keagamaan Kementerian Agama RI dengan Fatayat NU Provinsi Jambi Tahun 2010