Senin, 23 November 2015

Mewarnai Pilkada Serentak dengan Akhlaq

Mewarnai Pilkada Serentak dengan Akhlaq
Ust H Hasbullah Ahmad *
Allah SWT berfirman : Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri,(QS al-Isra 7). Rasulullah bersabda : Orang Mukmin yang paling sempurna Imannya adalah yang paling sempurna akhlaqnya (HR Turmudzi)
            Pilkada Serentak di ambang pintu, berbagai sosialisasi para calon pun sudah terlihat , baik itu dalam bentuk baliho, panplet ataupun iklan sudah mulai bermunculan, berbagai janji diubar untuk memperkuat posisi dengan cara instant, yang mulai ditinggalkan adalah akhlaq, terkadang agama dibawa sebagai penguat pondasi janji yang diubar, inilah fenomena yang kita rasakan saat ini.
            Bahkan ada anggapan bahwa agama dengan politik adalah dua unsur yang harus dipisahkan. Karena menyatunya agama dalam kehidupan politik akan mengakibatkan upaya-upaya penjualan ayat-ayat untuk kepentingan pribadi, atau agama jadi abuse buka use ada kecenderungan agama menjadi kedok. Naudzu biLLAH. Agama adalah Way of Life (Pandangan hidup manusia), Falsafah dan ideologi yang harus senantiasa ditanamkan dalam hati setiap orang. Yang namanya Way of Life tentu saja harus selalu mewarnai setiap langkah seseorang. Kehidupan beragama tidak hanya sebatas ibadah ritual, tetapi lebih dari itu. Kehidupan beragama seseorang harus ada sejak dia bangun sampai tidur kembali. Pengamalan keberagamaan seseorang tidak hanya sebatas di Masjid, akan tetapi lebih dari itu, masuk kamar mandi, tidur, sampai berhubungan suami isteri sekalipun harus dilandasi dengan nuansa keberagamaan.
           Dalam arti ada aturan-aturan tertentu yang harus dijalankan. Agama di sini bisa diartikan Ajaran agama, Akhlaq, Norma, Etika, Adat Istiadat, dan lain sebagainya yang merupakan pandangan hidup seseorang. Bukan hal yang mudah ketika kita berusaha membawa nilai-nilai ke semua unsur kehidupan, apalagi jika kita memproklamirkan (bukan mengklaim) sebagai golongan penyeru kebaikan. Bukan hal yang mudah membawa status mulia, seperti Ulama, Ustadz, Kiai, Guru, Santri, Mahasiswa Universitas yang berbasis agama. Karena seribu kali berbuat baik, itu hal yang lumrah karena memang itu lahannya. Tetapi ketika sekali terjerumus kedalam perbuatan negatif, sekecil apapun, maka dampaknya akan luar biasa sekali. Bukan saja dirinya akan diperolok-olok, tetapi nilai yang berdiri di belakangnya juga akan terbawa ikut serta. Seolah Agama ikut berperan dalam kejahatan itu. NaudzubiLLAH.
         Seolah Partai ikut menyumbang terhadap perilaku negatif politisinya, seolah Guru itu mengajarkan apa yang sering dilakukannya. Sungguh Berat, Tapi seberat apapun jika kita sudah berideologi bahwa agama (nilai) atau akhlaq harus dibawa kemanapun kita pergi, mau tidak mau harus dijalani dan itu sebagai kontrol terhadap sepak terjang kita, sebagai cermin dalam setiap tindak tanduk kita, apakah yang kita lakukan salah atau benar, menjadi cambuk ketika kita berbuat salah dan menjadi penyemangat ketika apa yang kita lakukan diyakini kebenarannya. SubhanaLLAH.
            Termasuk dalam hal berpolitik. Dalam berpolitik kita harus membawa agama yang berbasis akhlaq mahmudah, dalam berusaha dan berbisnis kita juga harus membawa agama dan akhlaq, agar apa yang kita usahakan tidak kebablasan. Ada kontrol dan ini fungsi utama. Tidak ada manipulasi, tidak ada mark up, tidak ada unsur penipuan, tidak ada barang dagangan yang tidak layak. Itu dalam berbisnis.
            Maka, ketika kita membawa agama dan akhlaq ke ranah politik, maka si pelaku harus berprinsip bahwa politik dan agama harus sejalan dengan akhlaq. Bukan agama yang mengikuti kemauan politik (berkedok agama). Yang dikategorikan berkedok atau menjual ayat adalah ketika agama bukan sebagai asasnya, tetapi ketika pemilu dia berdalil tentang agama, atau mencari fatwa dari para alim ulama sebagai pembenaran dari sikapnya yang sebenarnya salah, Iyyadzu biLLAH, tapi politiklah yang harus sesuai dengan agama yang diwarnai dengan akhlaq. Contohnya, bagaimana seorang pemimpin tidak berlaku sewenang-wenang, bagaimana seorang wakil rakyat menyampaikan amanah rakyatnya, bagaimana seorang politisi tidak memanipulasi anggaran dengan kedok tender dan studi banding keluar negeri dan banyak kasus-kasus lain yang silih berganti terngiang di telinga kita melalui media cetak dan elektronik,
            Bagaimana sebagai wakil rakyat mempunyai kepekaan sosial terhadap masyarakat disekelingnya. terlepas politisi itu berasal dari partai agamis, nasionalis atau lainnya, ketika berbuat salah ya tetap salah. Ketika kita mau obyektif, tingkat kesalahan yang dilakukan harus mendapat ganjaran yang setimpal pula. Tidak melakukan penghukuman yang berlebih kepada politisi berbasis agama sementara yang berbasis non agama, itu dianggap hal yang biasa. Korupsi ya korupsi, mencuri ya mencuri. Titik. Allahu Akbar
            Seringkali kita terjebak ke dalam penghujatan kepada nilai-nilai agama itu sendiri ketika sang Politisi melakukan sebuah kesalahan. Apakah itu karena poligaminya, karena berjenggotnya, karena baju kokonya. Tidak ada yang salah dengan semua itu. Kalaupun mau menyalahkan, ya salahkan si pelakunya tanpa ada embel-embel dibelakangnya. Resiko ketika sebuah nilai dibawa ke area publik.
            Maka, marilah kita songsong dan warnai tahun politik dengan akhlaq, bukan agama yang dijadikan kedok tapi akhlaq yang mesti dijiwai dan dibumikan. Jauhkan diri dari kemunafikan untuk meraih kemenangan mari tampilkan kejujuran untuk meraih keberkahan, karena Rasul pernah memberikan kode etik bahwa Allah SWT tidak melihat fisik, postur dan seberapa besar dan banyak harta kita, tapi Allah melihat dedikasi kita dalam beramal yang dilandasi dengan hati dan jiwa yang bersih yang bermuara dari akhlaq yang mulia.
            Sebagai calon legislator mulailah dengan langkah kejujuran bukan kebohongan, kerena kejujuran akan mengantarkan pada kebaikan, sedang kebohongan menggiring kita pada kenistaan dan kehancuran. Ingat : “Hidup sukses itu baik, tapi Hidup bahagia itu lebih Baik” berapa banyak orang yang memandang dirinya sudah sukses karena berada pada garis terdepan duduk pada posisi nomor satu atau pada kemenangan, akan tetapi posisi kesuksesan tersebut dilalui dengan mengenyampingkan kejujuran dan akhlaq. Demi posisi money politic jadi solusi, demi posisi segala macam cara dilakoni. Maka berapa banyak orang yang sukses diawal tapi sengsara diujung kepemimpinan. Naudzu biLLAH.
            Sebagai pemilih jadilah kita pemilih yang cerdas dan berakhlaq, jangan karena krisis ekonomi juga berdampak krisis akhlaq dalam kehidupan kita, rela menjadi munafiq hanya dengan seragam yang diberikan gratis, rela menjadi munafik hanya karena uang yang diberikan. NaudzubiLLAH Harus diakui bahwa praktek politik di Negara berpenduduk muslim terbesar di dunia ini dipenuhi oleh berbagai tingkah laku yang membawa hawa nafsunya sebagai tuhannya. Inilah yang kemudian membawa sejarah kepada fenomena bahwa kebanyakan gerakan politik pada akhirnya berujung pada pemenuhan birahi, libido dan nafsu untuk memiliki kekuasaan. Maka Yuk Jangan pesimis. Mari kita hidupkan akhlaq yang tertidur ke jalan keberkahan untuk Indonesia. Kita warnai tahun Pilgub Jambi dengan akhlak. Allahu Akbar…

*(Ketua LDNU Provinsi Jambi, Owner Sekolah Qur'an Hadis Jambi, Dosen Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin IAIN STS Jambi, Penulis buku Nikmatnya Sholat Sunnah Referensi Press Jakarta & Dewan Pakar BKMT Kota Jambi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar