دفاع عن السنة
Pembelaan Terhadap Sunnah al-Nabawiyyah
dalam Kehidupan Bermasyarakat.
Mata Kuliah Konsentrasi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir UIN STS Jambi
Dosen Pengampu : Dr KH Hasbullah Ahmad, MA
Makna
dan Hakikat Sunnah:
Sunnah bermakna sebuah jalan yang baik
dan terpuji, makna Istilah yang biasa digunakan oleh Muhaditsin adalah:
sesuatu yang bersumber dari Nabi shalallahu alaihi wasallam, baik itu dari
perkataan beliau, perbuatan, pembenaran (legalitas hukum), sifat fisik maupun
Akhlaq (budi pekerti), maupun segala gerak dan diam beliau, baik dalam keadaan
terjaga maupun terlelap.
Adapun
definisi para ahli fiqih tentang Sunnah adalah: Sesuatu yang telah ditetapkan
oleh Nabi shalallahu alaihi wasallam, tetapi ianya bukan wajib ataupun fardhu,
diberi pahala pelakunya, dan tidak berdosa jika di tinggalkan. (Dalam hal ini
Sunnah bermakna sebagai sebuah hukum, yaitu hukumnya Sunnah, bukan wajib).
Dua
makna di atas, terangkum dengan definisi
global : Sunnah bagi para ulama Hadits lebih mencakup dan menyeluruh, karena
memposisikan Rasul shalallahu alaihi wasallam sebagai pembawa petunjuk, dan
penyampai risalah dari Tuhannya. Maha suci Allah ketika berfirman:
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ
لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ :
النحل-44
Artinya: “Dan Kami turunkan kepadamu
(wahai Muhammad) Al Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka[1], dan supaya mereka memikirkan”. (An
Nahl: 44)
Sunnah
juga merupakan wahyu Allah
Sesungguhnya Allah telah mewahyukan
kepada Rasul-Nya Al Qur’an, dan mewahyukan pula penjelasannya, yaitu berupa
Hadits (Sunnah). Dan keduanya (Al Qur’an dan Sunnah) merupakan pedoman beragama
bagi umat Muslim serta penjelasan syari’at Allah yang dibutuhkan manusia
sepanjang hayatnya, yang memberi petunjuk kepada manusia demi kebahagiaan hidup
di dunia maupun akhirat
Al
Qur’an telah menjelaskan bahwa Rasul Shalallahu alaihi wasallam tidak berbicara
suatu perkara apapun melainkan apa yang telah diwahyukan kepada beliau. Firman
Allah:
وَمَا يَنْطِقُ عَنْ الْهَوَى، إِنْ
هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى : النجم 3-4
Artinya: “Dan tiadalah yang
diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain
hanyalaih wahyu yang telah diwahyukan kepadanya”. (An Najm: 3-4)
Dan
firman Allah di ayat yang lain:
قُلْ لَا أَقُولُ لَكُمْ عِندِي
خَزَائِنُ اللَّهِ وَلَا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلَا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ
إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَى إِلَيَّ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الْأَعْمَى
وَالْبَصِيرُ أَفَلَا تَتَفَكَّرُونَ : الأنعام-50
Artinya: Katakanlah: “Aku tidak
mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula)
aku mengetahui yang ghaib, dan tiadk (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku
seorang Malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.”
Katakanlah: “Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat?” Maka
apakah kamu tidak memikirkan(nya)?. (Al An’aam: 50)
Perbedaan
antara wahyu Qur’an dan Sunnah adalah: Bahwa Wahyu dengan Al Qur’an
adalah secara lafadz dan makna, sedangkan wahyu Sunnah, maknanya dari Allah,
dan lafadznya dari Nabi shalallahu alaihi wasallam.
Berpegang
teguh dan mengamalkan Sunnah adalah Wajib
Sebagaimana telah dimaklumi, bahwa
Sunnah merupakan sumber kedua di dalam pensyari’atan, adapun menjadikan Sunnah
sebagai hujjah, maka dia pada peringkat yang setaraf dengan Qur’an. Sangat
banyak sekali ayat-ayat dan hadits-hadits yang memerintahkan untuk mengikuti
dan berpegang teguh dengan Sunnah serta larangan untuk menyelisihinya. Seperti
Firman Allah:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ
فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمْ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ
غَفُورٌ رَحِيمٌ :آل عمران-31
Artinya: Katakanlah: “Jika kamu
(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Ali ‘Imran:
31)
Ayat
ini Allah menjelaskan bahwa mengikuti Rasul adalah sebagai salah satu tanda
mencintai-Nya. Pada ayat lain juga terdapat perintah untuk mentaati Rasul dan
ancaman bagi orang yang bermaksiat kepadanya dengan tidak patuh kepada
perintahnya. Firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
: النساء-59
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kamu, kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (An Nisaa’: 59), Allah juga berfirman:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ
حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنفُسِهِمْ
حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا : النساء-65
Artinya: “Maka demi Tuhanmu, mereka
(pada hakikatnya) tidak beriman, hingga mereka menjadikan kamu hakim dalm
perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam
hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya.” (An Nisaa’ 65)
Korelasi
yang Erat antara Qur’an dan Sunnah
Setelah mengkaji teks-teks Qur’an dan
Sunnah, didapati kuatnya hubungan antara keduanya, maka sangat tidak mungkin
menjadikan Qur’an sebagai satu-satunya sumber pensyari’atan tanpa meng-ikutkan
Sunnah, karena hubungan antara keduanya adalah saling melengkapi..
Para Ulama menjelaskan tugas-tugas yang
diemban Sunnah atas Qur’an, diantaranya:
1. Bahwa
Sunnah adalah sebagai bayan atau penjelas Al Qur’an. Seperti penjelasan tentang
tata cara Ibadah semisal Sholat, Zakat, Puasa, dan Haji. Yang mana Qur’an hanya
memerintahkan kaum Muslimin untuk melakukan ibadah-ibadah tersebut secara
global, tanpa penjelasan yang rinci akan tata cara pelaksanaannya.
2. Sunnah
mengkhususkan lafadz-lafadz yang umum dari teks Qur’an. Seperti perintah untuk
memotong tangan pencuri, Qur’an datang dengan lafadz yang umum, kemudian Sunnah
menjelaskan bahwa pencuri yang di potong tangannya adalah jika dia telah
mencapai batas seperempat dinar[2] atau lebih, dan pencuri tersebut
melakukannya bukan karena terpaksa, seperti karena tertimpa kelaparan. Maka
tidak semua pencuri dipotong tangannya.. Imam Syafi’i berkata: Kalau kita hanya
berdalil dengan Qur’an saja tanpa sunnah, maka setiap pencuri akan dipotong
tangannya walaupun dia hanya mencuri barang yang tidak berharga (seperi ball
point, atau buku tulis yang tidak memiliki harga mahal, pen).
3. Sunnah
membatasi lafadz Qur’an yang nisbi, seperti kasus pencurian di atas, Qur’an
hanya memerintah untuk memotong tangan pencuri. Maka datang Sunnah menjelaskan
bahwa tangan pencuri yang dipotong adalah tangan kanan dari jari-jari sampai
pergelangan tangan, tidak memotong satu Tangan tanpa batasan.
4.
Sunnah menjelaskan makna kalimat asing di dalam Qur’an, seperti lafadz
“dzalim” yang terdapat dalam surah al An’am ayat 82, Sunnah menjelaskan bahwa
yang dimaksud dengan dzalim pada ayat tersebut adalah melakukan kemusyrikan
(menjadikan tuhan lain selain daripada Allah).
5. Sunnah
secara independen membuat hukum baru yang terpisah dan tidak terdapat di dalam
Al Qur’an, seperti larangan untuk memadu antara seorang wanita dengan bibinya,
Qur’an hanya melarang memadu antara seorang wanita dengan saudari (kandung)
perempuannya, dan Sunnah datang dengan membawa hukum baru yang terdapat di
dalam Al Qur’an.
Ingkar
Sunnah dan Bahaya Kemunculannya.
Hal ini terjadi pada akhir abad ke-2
Hijriyah, muncul di dalam tubuh umat Islam segolongan kaum yang menyerukan
untuk menafikan Sunnah (sebagai sumber kedua bagi syari’at Islam) secara
menyeluruh, dan memandang tidak perlunya berpegang teguh pada Sunnah. Yang
demikian adalah hasil dari Syubhat-syubhat yang dihembuskan oleh sebagian sekte
sempalan semacam Syi’ah, Khawarij dan mu’tazilah.
Sebagai
upaya untuk meredam gerakan ini, muncul segolongan ulama (dimotori oleh Imam al-Syafi’i
rahimahullah, pen) yang berusaha untuk membatalkan hujah-hujjah
mereka. Dan, segala puji bagi Allah, akhirnya Imam al-Syafi’i mampu
menjawab semua keraguan yang tidak berdasar yang telah dihembuskan oleh
sebagian golongan sesat ini, serta menyerukan kembali akan pentingnya ber-hujjah kepada
sunnah dan wajibnya mengamalkan Hadits Ahad. Adapun di antara dalil-dalil yang
sering dimanfaatkan oleh kaum ingkar Sunnah pada masa lalu dan kini, adalah
sebagai berikut:
1. Mereka berkata: Bahwasanya Al
Qu’an telah menjelaskan segala perkara yang dibutuhkan oleh umat Islam secara
detail, sehingga tidak perlu lagi menjadikan Sunnah sebagai sumber syari’at
yang kedua.
2. Bahwasanya Sunnah (Hadits)
diriwayatkan melalui jalan orang-orang yang memungkinkan untuk berbuat dusta
dan lemah ingatannya. Oleh karena itu sunnah merupakan sumber hukum yang nisbi,
yang tidak dapat dijadikan sumber pensyariatan yang absolut seperti halnya Al
Qur’an.[3] Fitnah ingkar Sunnah pada masa lalu
tidaklah tersebar ke seluruh negeri kaum Muslimin, akan tetapi hanya
dihembuskan perorangan saja. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Musthofa
A’zhami, Bahwa setelah abad ke-2 hijriyah kita tidak menemukan di dalam
kitab-kitab Tarikh dan Aqidah bukti-bukti nyata tentang eksistensi sekte dan
gerakan ingkar Sunnah, hal ini berlangsung 10 abad lamanya.[4]
Ingkar
Sunnah pada zaman Modern
Pada abad ke-13 Hijriyah, muncul
kembali segolongan kaum yang menamakan dirinya dengan istilah Qur’aniyyun[5]. Adapun tempat pertama kali gerakan ini
mengakar adalah di Mesir, yang kemudian tumbuh dan berkembang dengan pesat di
India.
Seruan
berpegang teguh kepada Al Qur’an tanpa menghiraukan Sunnah ini mulai meng-invasi India
sejak akhir abad 19 Masehi, sebagai dampak dari berkembangnya faham Naturalisme
yang disebarkan oleh para anggota gerakan Sir Sayyid Ahmad Khan. Gerakan
(Sekte) Qur’aniyyun ini pertama kalinya di gagas oleh Muhibul haqq
Azhim-Abad di Bihar, India timur, dan Abdullah Cakralwi di Lahore.[6] Adapun sebab-sebab yang memunculkan
kembali gerakan Ingkar Sunnah ini adalah:
·
Fitnah Ingkar Sunnah merupakan dampak
dari benih-benih faham Naturalisme[7] yang disebarkan oleh gerakan Sir
Sayyid Ahmad Khan
·
Penjajahan Kolonial Inggris di anak
benua India yang menggunakan segala cara untuk memecah-belah kaum Muslimin, di
antaranya dengan cara-cara sebagai berikut:
1.
Memotivasi kaum Muslimin untuk tidak
mempedulikan Ilmu-ilmu Syari’at.
2.
Merangkul sebagian tokoh kaum Muslimin
semisal Sir Sayyid Ahmad Khan, untuk menyebarkan faham-faham dan pemikiran yang
dapat mendangkalkan Aqidah kaum Muslimin.
3.
Berupaya untuk membantu aliran sempalan
Islam (semisal aliran Ahmadiyah-nya Mirza Ghulam Ahmad, dan gerakan Ingkar
Sunnah-nya Abdullah Cakaralwi) sebagai upaya pembodohan dan pendangkalan Aqidah
kaum Muslimin.
4.
Politik Pecah-Belah, dengan memasukkan
sebagian ajaran yang tidak Islami ke dalam ajaran Islam, sebagai upaya memecah
belah barisan kaum Muslimin.
Tokoh
Ingkar Sunnah pada masa lalu
Abdul Maujud Muhammad Abdul Lathif
berkata: Pengingkaran terhadap ke-hujjah-an Sunnah dengan berpegang pada
Al Qur’an saja merupakan suatu gerakan yang di pelopori oleh Khawarij, Zindiq,
dan Syi’ah Rafidhah pada masa lalu. Yang di ikuti pada masa kini oleh sebagian
golongan yang menamakan dirinya Qur’aniyyun di anak benua India, dan
juga Mesir.[8]
Adapun
para penyeru ingkar Sunnah di anak benua India yang sangat masyhur diantaranya:
1.
Abdullah Cakralwi
2.
Ahmaddin Amratsary
3.
Aslam Churajpuri
4.
Ghulam Ahmad Pervaiz
Dan
pada saat ini, di India terdapat 4 firqah dari golongan
Qur’aniyyun:
1.
Firqah Ummah Muslim
Ahl adz Dzikr wa al Qur’an
2.
Firqah Ummah Muslimah
3.
Firqah Thulu’ al Islam
4.
Firqah Tahrik
Insaniyat
Adapun
para penyeru ingkar Sunnah di Mesir:
1.
dr. Muhammad Taufiq Shiddiqy
2.
Mahmud Abu Rayah
3.
dr. Abu Syady Ahmad Zaky
4.
DR. Ismail Adham
5.
Mahmud Abu Zaid ad Damanhury
Dalil Syubhat sekte Qur’aniyyun
terhadap Sunnah, dan bantahannya:
Syubhat
Pertama:
Mereka berkata: Al Qur’an tidak
membutuhkan As Sunnah (Hadits) karena dia telah menjelaskan semua perkara
Syari’at secara detail. Dalil-dalil mereka: Firman Allah Azza wa Jalla:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ
تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ :
النحل-89
Artinya: “Dan Kami turunkan kepadamu Al
Kitab untuk menjelaskan segala sesuatu, dan petunjuk serta rahmat dan kabar
gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (An Nahl: 89)
مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ
شَيْءٍ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ : الأنعام-38
Artinya: “Tiadalah Kami alpakan
sesuatupun di dalam Al Kitab[9], kemudiajn kepada Tuhanlah mereka
dihimpunkan.” (Al An’aam: 38)
Bantahan atas Syubhat ini:
Keduanya (Al Qur’an dan Sunnah) tidak
berbeda, bahwa Al Qur’an telah mencakup dasar-dasar dan asas-asas Syari’at
secara menyeluruh, dan Al Qur’an hanya memberikan penjelasan Syari’at secara
global. Adapun apa yang mereka serukan bahwa Al Qur’an telah menjelaskan segala
permasalahan secara mendetail, sangatlah tidak sesuai dengan realitas Qur’an
itu sendiri. Dan kedua ayat di atas, sangatlah tidak tepat untuk mereka
jadikan dalil pengingkaran mereka terhadap Sunnah.
Adapun
maksud dari ayat pertama adalah bahwasanya Al Qur’an telah mencakup dasar-dasar
Agama (Ushuluddin) dan kaidah-kaidah hukum secara umum, yaitu bahwa Al Qur’an
telah menyebutkan perkara secara global, dan meninggalkan penjelasannya kepada
Rasul Shalallahu alaihi wasallam (berupa Sunnah atau Hadits). Seperti
penjelasan tentang jumlah raka’at di dalam Sholat, rukun dan syaratnya, nishab
Zakat, rincian manasik ibadah Haji, dan sebagainya. Al Qur’an hanya memberikan
perintah syari’at secara global, dan tugas Rasulullah-lah yang menjelaskan rinciannya.[10]
Adapun
ayat yang kedua, para musuh Sunnah memahami bahwa yang di maksud dengan lafadz الْكِتَاب yaitu
Qur’an, akan tetapi makna ayat secara keseluruhan, menjelaskan bahwa
lafadz الْكِتَاب dalam ayat tersebut artinya adalah Lauhul Mahfuzh yang
telah mencatat semua perkara yang telah di takdirkan oleh Allah Jalla wa ‘Alaa.
Adapun ayat ke 38 dari surah al An’am tersebut lafadz lengkapnya adalah sebagai
berikut:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ
وَلَا طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلَّا أُمَمٌ أَمْثَالُكُمْ مَا فَرَّطْنَا
فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ : الأنعام-38
Artinya: “Dan tiadalah
binatang-binatang yang ada di bumi, dan burung-burung yang terbang dengan kedua
sayapnya, melainkan umat-umat seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di
dalam Al Kitab[11], kemudiajn kepada Tuhanlah mereka
dihimpunkan.” (Al An’aam: 38)
Dan
sebagai bantahan lain terhadap mereka (kaum ingkar Sunnah), yaitu jika mereka
benar-benar beriman kepada Al Qur’an, maka sesungguhnya Al Qur’an telah
menjelaskan dengan gamblang, bahwa Sunnah Nabawiyah juga merupakan wahyu dari
Allah melalui lisan Nabinya, sebagaimana yang telah dijelaskan terdahulu.
Dan
hendaklah mereka yang menamakan dirnya sebagai Qur’aniyyun (pembela / pencinta
Qur’an) mengintrospeksi diri kembali, bagaimana pemahaman mereka tentang Al
Qur’an? Sedangkan Qur’an menyuruh untuk taat kepada Rasul dan mengancam para
penentangnya.
Kemudian kita Tanya kembali kepada
mereka, bagaimana mereka dapat memahami dan melaksanakan ayat yang memerintah
untuk menegakkan Sholat dan membayar Zakat? Yang mana Qur’an hanya memberikan
perintah global tanpa menjelaskan detailnya, maka Hadits-lah yang menjelaskan
rukun-syaratnya, waktu dan tata cara pelaksanaan dan lain sebagainya.
Sebagai
kesimpulan, bahwa sangatlah tidak mungkin untuk mencukupkan diri dengan Al
Qur’an tanpa berpegang teguh kepada Sunnah juga. Karena keduanya memiliki
sumber yang sama, yaitu wahyu Allah. Maka, baik itu Al Qur’an maupun Sunnah
keduanya memiliki sumber yang Rabbany.
Syubhat
Kedua:
Mereka berkata: Kalau Sunnah merupakan Hujjah,
maka Allah azza wa jalla akan menjamin penjagaannya. Akan tetapi Allah hanya
menjamin penjagaan Qur’an saja. Mereka berdalil dengan ayat:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ
وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ : الحجر-9
Artinya: “Sesungguhnya Kami-lah yang
menurunkan Adz Dzikr (Al Qur’an), dan sesungguhnya kami benar memeliharanya”.
(Al Hijr: 9)
Bantahan terhadap Syubhat ini:
Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala
telah menjamin penjagaan atau pemeliharaan apa-apa yang Shahihdari
Hadits-hadits Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Adapun dalil dari Qur’an
yang menegaskan penjagaan Sunnah adalah firman Allah:
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ
لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ :
النحل-44
Artinya: “”Dan Kami turunkan kepadamu
(wahai Muhammad) Al Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka[12], dan supaya mereka memikirkan”. (An
Nahl: 44)
Lafadz
” الذِّكْر” di dalam Al Qur’an tidaklah bermakna Qur’an saja, bahkan juga
bermakna Sunnah. Maka, penjagaan Sunnah menjadi suatu keniscayaan yang telah
Allah janjikan. Abdullah Mahdi Abdul Qadir berkata: “Mungkin kami bisa
menerima, bahwa makna lafadz ” الذِّكْر”
adalah Al Qur’an. Akan tetapi ayat-ayat (yang telah disebutkan di atas, pen)
menunjukkan penjagaan Allah subhanahu wa ta’ala kepada Sunnah. Sebab, penjagaan al-Mubayyan (sesuatu
yang dijelaskan / Al Qur’an) menuntut kepada penjagaan al-Mubayyin (sesuatu
yang menjelaskan, dalam hal ini adalah Sunnah, pen). dan selama
Sunnah itu merupakan sebagai Bayan (penjelas) bagi Qur’an.
Maka, penjagaan Allah terhadap Qur’an berarti sebuah penjagaan terhadap Sunnah.
Karena jika tidak demikian, maka berarti Allah meninggalkan Al Qur’an tanpa
adanya sebuah penjelasan. Maka, hal ini berarti bahwa Al Qur’an-pun tidak
terjaga.[13] Wallahu A’lam. ===
Penutup
Setelah pembahasan yang dirasa cukup mengenai
mafhum Sunnah, dan penjelasan bahwa Sunnah juga merupakan Wahyu, serta wajibnya
berpegang teguh kepadanya. Juga penjelasan korelasi antara Sunnah dan Qur’an
(yaitu saling menyempurnakan, pen). Kemudian pembahasan sejarah
ringkas kaum Ingkar Sunnah dan beberapa Syubhat yang mereka hembuskan dari masa
ke masa, serta bantahannya. Maka penulis memohon maaf apabila ada kesalahan
atau kekurang teliti-an penulis dalam membahasakan Al Qur’an maupun Sunnah.
Yang benar datangnya dari Allah semata, sedangkan salah dan khilaf adalah dari
setan dan diri penulis sendiri.
Sebenarnya
masih sangat banyak dalil syubhat-syubhat kaum ingkar Sunnah, akan tetapi
penulis rasa, dua syubhat yang telah dikemukakan terdahulu telah cukup
memberikan peringatan akan bahaya gerakan ingkar Sunnah. Dan semoga tulisan ini
dapat menjadi awal yang baik dalam memahami urgensi berpegang teguh kepada
Qur’an dan Sunnah, yang mana keduanya merupakan sumber hukum yang utama di
dalam syari’at Islam.
[…] Wallahu
A’lam Bish Showab…
[1] Yaitu: perintah-perintah,
larangan-larangan, dan aturan-aturan lain yang terdapat dalam Al Qur’an.
[2] Dinar adalah mata uang emas pada
zaman dahulu, dia bernilai lebih tinggi dari dirham, karena dirham merupakan
mata uang perak.
[3] Lihat: Al Qur’aniyyun wa
Syubutatuhum hawla as Sunnah, Prof. Khadim Husain Bakhs, Maktabah Ash Shiddiq,
India
[4] Lihat: Dirosat fi al Hadits an
Nabawy, DR. Musthofa A’zhami, hal: 26
[5] Mereka menamakan diri Qur’aniyyun
(golongan yang mencintai Qur’an), padahal al Qur’an sendiri tidak mencintai
mereka, dan secara nyata menentang sikap dan pendirian mereka yang sama sekali
jauh dari pemahaman Qur’an yang murni. Seperti cinta gila-nya Majnun terhadap
Laila yang sama sekali tidak mencintainya.
[6] Lihat: Al Qur’aniyyun wa
Syubutatuhum hawla as Sunnah, hal 19-20)
[7] Naturalisme adalah suatu faham
yang menyatakan bahwa alam semesta ini terjadi secara begitu saja (natural),
tanpa adanya campur tangan Tuhan. (Faham ini sunguh berbahaya, dan dapat
menyebabkan kaum Muslimin menjadi Atheis – yang tidak percaya kepada Tuhan).
[8] As Sunnah Nabawiyah baina Du’at al
Fitnah wa Ad’iyaa al Ilm, DR. Abdul Maujud Muhammad Abdul Lathif, Matba’ah ath
Thoyyibah – Mesir, Hal: 88-89.
[9] Sebagian Mufassir meenafsirkan
Al Kitab itu dengan Lauh Mahfuzh dengan arti bahwa nasib semua
makhluk itu sudah dituliskan (ditetapkan) dalam Lauh Mahfuzh. Dan
ada pula yang menafsirkan dengan Al Qur’an, dengan arti: dalam Al Qur’an itu
telah ada poko-pokok agama, norma-norma hukum, hikmah-hikmah dan petunjuk untuk
kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat, dan kebahagiaan makhluk pada umumnya.
[10] As Sunnah wa Makaanatuha fi at
Tasyri’ al Islamy, DR. Musthofa as Siba’iy, penerbit Dar ul Waraq, hal: 178.
[11] Sebagian Mufassir meenafsirkan
Al Kitab itu dengan Lauh Mahfuzh dengan arti bahwa nasib semua
makhluk itu sudah dituliskan (ditetapkan) dalam Lauh Mahfuzh. Dan
ada pula yang menafsirkan dengan Al Qur’an, dengan arti: dalam Al Qur’an itu
telah ada poko-pokok agama, norma-norma hukum, hikmah-hikmah dan petunjuk untuk
kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat, dan kebahagiaan makhluk pada umumnya.
[12] Yaitu: perintah-perintah,
larangan-larangan, dan aturan-aturan lain yang terdapat dalam Al Qur’an.
[13] Lihat: Daf’us Syubuhat ‘anis
Sunnah an Nabawiyah, DR. Abdulllah al Mahdi Abdul Qadir, Penerbit Al Iman –
Mesir. Hal: 64
Tidak ada komentar:
Posting Komentar