Minggu, 26 Februari 2017

دفاع عن السنة

دفاع عن السنة
Pembelaan Terhadap Sunnah al-Nabawiyyah
dalam Kehidupan Bermasyarakat.
Mata Kuliah Konsentrasi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir UIN STS Jambi
Dosen Pengampu : Dr KH Hasbullah Ahmad, MA

Makna dan Hakikat Sunnah:
Sunnah bermakna sebuah jalan yang baik dan terpuji, makna Istilah yang biasa digunakan oleh Muhaditsin adalah: sesuatu yang bersumber dari Nabi shalallahu alaihi wasallam, baik itu dari perkataan beliau, perbuatan, pembenaran (legalitas hukum), sifat fisik maupun Akhlaq (budi pekerti), maupun segala gerak dan diam beliau, baik dalam keadaan terjaga maupun terlelap.
            Adapun definisi para ahli fiqih tentang Sunnah adalah: Sesuatu yang telah ditetapkan oleh Nabi shalallahu alaihi wasallam, tetapi ianya bukan wajib ataupun fardhu, diberi pahala pelakunya, dan tidak berdosa jika di tinggalkan. (Dalam hal ini Sunnah bermakna sebagai sebuah hukum, yaitu hukumnya Sunnah, bukan wajib).
            Dua makna di atas, terangkum dengan  definisi global : Sunnah bagi para ulama Hadits lebih mencakup dan menyeluruh, karena memposisikan Rasul shalallahu alaihi wasallam sebagai pembawa petunjuk, dan penyampai risalah dari Tuhannya. Maha suci Allah ketika berfirman:
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ : النحل-44
Artinya: “Dan Kami turunkan kepadamu (wahai Muhammad) Al Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka[1], dan supaya mereka memikirkan”. (An Nahl: 44)

Sunnah juga merupakan wahyu Allah
Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepada Rasul-Nya Al Qur’an, dan mewahyukan pula penjelasannya, yaitu berupa Hadits (Sunnah). Dan keduanya (Al Qur’an dan Sunnah) merupakan pedoman beragama bagi umat Muslim serta penjelasan syari’at Allah yang dibutuhkan manusia sepanjang hayatnya, yang memberi petunjuk kepada manusia demi kebahagiaan hidup di dunia maupun akhirat
            Al Qur’an telah menjelaskan bahwa Rasul Shalallahu alaihi wasallam tidak berbicara suatu perkara apapun melainkan apa yang telah diwahyukan kepada beliau. Firman Allah:
وَمَا يَنْطِقُ عَنْ الْهَوَى، إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى : النجم 3-4
Artinya: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalaih wahyu yang telah diwahyukan kepadanya”. (An Najm: 3-4)

Dan firman Allah di ayat yang lain:
قُلْ لَا أَقُولُ لَكُمْ عِندِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلَا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلَا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَى إِلَيَّ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الْأَعْمَى وَالْبَصِيرُ أَفَلَا تَتَفَكَّرُونَ : الأنعام-50
Artinya: Katakanlah: “Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib, dan tiadk (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang Malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.” Katakanlah: “Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat?” Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)?. (Al An’aam: 50)
            Perbedaan antara wahyu Qur’an dan Sunnah adalah: Bahwa Wahyu dengan  Al Qur’an adalah secara lafadz dan makna, sedangkan wahyu Sunnah, maknanya dari Allah, dan lafadznya dari Nabi shalallahu alaihi wasallam.

Berpegang teguh dan mengamalkan Sunnah adalah Wajib
Sebagaimana telah dimaklumi, bahwa Sunnah merupakan sumber kedua di dalam pensyari’atan, adapun menjadikan Sunnah sebagai hujjah, maka dia pada peringkat yang setaraf dengan Qur’an. Sangat banyak sekali ayat-ayat dan hadits-hadits yang memerintahkan untuk mengikuti dan berpegang teguh dengan Sunnah serta larangan untuk menyelisihinya. Seperti Firman Allah:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمْ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ :آل عمران-31
Artinya: Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Ali ‘Imran: 31)
            Ayat ini Allah menjelaskan bahwa mengikuti Rasul adalah sebagai salah satu tanda mencintai-Nya. Pada ayat lain juga terdapat perintah untuk mentaati Rasul dan ancaman bagi orang yang bermaksiat kepadanya dengan tidak patuh kepada perintahnya. Firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا : النساء-59
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An Nisaa’: 59), Allah juga berfirman:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا : النساء-65
Artinya: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman, hingga mereka menjadikan kamu hakim dalm perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An Nisaa’ 65)

Korelasi yang Erat antara Qur’an dan Sunnah
Setelah mengkaji teks-teks Qur’an dan Sunnah, didapati kuatnya hubungan antara keduanya, maka sangat tidak mungkin menjadikan Qur’an sebagai satu-satunya sumber pensyari’atan tanpa meng-ikutkan Sunnah, karena hubungan antara keduanya adalah saling melengkapi..
Para Ulama menjelaskan tugas-tugas yang diemban Sunnah atas Qur’an, diantaranya:
1.      Bahwa Sunnah adalah sebagai bayan atau penjelas Al Qur’an. Seperti penjelasan tentang tata cara Ibadah semisal Sholat, Zakat, Puasa, dan Haji. Yang mana Qur’an hanya memerintahkan kaum Muslimin untuk melakukan ibadah-ibadah tersebut secara global, tanpa penjelasan yang rinci akan tata cara pelaksanaannya.
2.      Sunnah mengkhususkan lafadz-lafadz yang umum dari teks Qur’an. Seperti perintah untuk memotong tangan pencuri, Qur’an datang dengan lafadz yang umum, kemudian Sunnah menjelaskan bahwa pencuri yang di potong tangannya adalah jika dia telah mencapai batas seperempat dinar[2] atau lebih, dan pencuri tersebut melakukannya bukan karena terpaksa, seperti karena tertimpa kelaparan. Maka tidak semua pencuri dipotong tangannya.. Imam Syafi’i berkata: Kalau kita hanya berdalil dengan Qur’an saja tanpa sunnah, maka setiap pencuri akan dipotong tangannya walaupun dia hanya mencuri barang yang tidak berharga (seperi ball point, atau buku tulis yang tidak memiliki harga mahal, pen).
3.      Sunnah membatasi lafadz Qur’an yang nisbi, seperti kasus pencurian di atas, Qur’an hanya memerintah untuk memotong tangan pencuri. Maka datang Sunnah menjelaskan bahwa tangan pencuri yang dipotong adalah tangan kanan dari jari-jari sampai pergelangan tangan, tidak memotong satu Tangan tanpa batasan.
4.       Sunnah menjelaskan makna kalimat asing di dalam Qur’an, seperti lafadz “dzalim” yang terdapat dalam surah al An’am ayat 82, Sunnah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan dzalim pada ayat tersebut adalah melakukan kemusyrikan (menjadikan tuhan lain selain daripada Allah).
5.      Sunnah secara independen membuat hukum baru yang terpisah dan tidak terdapat di dalam Al Qur’an, seperti larangan untuk memadu antara seorang wanita dengan bibinya, Qur’an hanya melarang memadu antara seorang wanita dengan saudari (kandung) perempuannya, dan Sunnah datang dengan membawa hukum baru yang terdapat di dalam Al Qur’an.

Ingkar Sunnah dan Bahaya Kemunculannya.
Hal ini terjadi pada akhir abad ke-2 Hijriyah, muncul di dalam tubuh umat Islam segolongan kaum yang menyerukan untuk menafikan Sunnah (sebagai sumber kedua bagi syari’at Islam) secara menyeluruh, dan memandang tidak perlunya berpegang teguh pada Sunnah. Yang demikian adalah hasil dari Syubhat-syubhat yang dihembuskan oleh sebagian sekte sempalan semacam Syi’ah, Khawarij dan mu’tazilah.
            Sebagai upaya untuk meredam gerakan ini, muncul segolongan ulama (dimotori oleh Imam al-Syafi’i rahimahullah, pen) yang berusaha untuk membatalkan hujah-hujjah mereka. Dan, segala puji bagi Allah, akhirnya Imam al-Syafi’i  mampu menjawab semua keraguan yang tidak berdasar yang telah dihembuskan oleh sebagian golongan sesat ini, serta menyerukan kembali akan pentingnya ber-hujjah kepada sunnah dan wajibnya mengamalkan Hadits Ahad. Adapun di antara dalil-dalil yang sering dimanfaatkan oleh kaum ingkar Sunnah pada masa lalu dan kini, adalah sebagai berikut:
1.  Mereka berkata: Bahwasanya Al Qu’an telah menjelaskan segala perkara yang dibutuhkan oleh umat Islam secara detail, sehingga tidak perlu lagi menjadikan Sunnah sebagai sumber syari’at yang kedua.
2.  Bahwasanya Sunnah (Hadits) diriwayatkan melalui jalan orang-orang yang memungkinkan untuk berbuat dusta dan lemah ingatannya. Oleh karena itu sunnah merupakan sumber hukum yang nisbi, yang tidak dapat dijadikan sumber pensyariatan yang absolut seperti halnya Al Qur’an.[3] Fitnah ingkar Sunnah pada masa lalu tidaklah tersebar ke seluruh negeri kaum Muslimin, akan tetapi hanya dihembuskan perorangan saja. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Musthofa A’zhami, Bahwa setelah abad ke-2 hijriyah kita tidak menemukan di dalam kitab-kitab Tarikh dan Aqidah bukti-bukti nyata tentang eksistensi sekte dan gerakan ingkar Sunnah, hal ini berlangsung 10 abad lamanya.[4]





Ingkar Sunnah pada zaman Modern
Pada abad ke-13 Hijriyah, muncul kembali segolongan kaum yang menamakan dirinya dengan istilah Qur’aniyyun[5]. Adapun tempat pertama kali gerakan ini mengakar adalah di Mesir, yang kemudian tumbuh dan berkembang dengan pesat di India.
            Seruan berpegang teguh kepada Al Qur’an tanpa menghiraukan Sunnah ini mulai meng-invasi India sejak akhir abad 19 Masehi, sebagai dampak dari berkembangnya faham Naturalisme yang disebarkan oleh para anggota gerakan Sir Sayyid Ahmad Khan. Gerakan (Sekte) Qur’aniyyun ini pertama kalinya di gagas oleh Muhibul haqq Azhim-Abad di Bihar, India timur, dan Abdullah Cakralwi di Lahore.[6] Adapun sebab-sebab yang memunculkan kembali gerakan Ingkar Sunnah ini adalah:
·         Fitnah Ingkar Sunnah merupakan dampak dari benih-benih faham Naturalisme[7] yang disebarkan oleh gerakan Sir Sayyid Ahmad Khan
·         Penjajahan Kolonial Inggris di anak benua India yang menggunakan segala cara untuk memecah-belah kaum Muslimin, di antaranya dengan cara-cara sebagai berikut:
1.      Memotivasi kaum Muslimin untuk tidak mempedulikan Ilmu-ilmu Syari’at.
2.      Merangkul sebagian tokoh kaum Muslimin semisal Sir Sayyid Ahmad Khan, untuk menyebarkan faham-faham dan pemikiran yang dapat mendangkalkan Aqidah kaum Muslimin.
3.      Berupaya untuk membantu aliran sempalan Islam (semisal aliran Ahmadiyah-nya Mirza Ghulam Ahmad, dan gerakan Ingkar Sunnah-nya Abdullah Cakaralwi) sebagai upaya pembodohan dan pendangkalan Aqidah kaum Muslimin.
4.      Politik Pecah-Belah, dengan memasukkan sebagian ajaran yang tidak Islami ke dalam ajaran Islam, sebagai upaya memecah belah barisan kaum Muslimin.

Tokoh Ingkar Sunnah pada masa lalu
Abdul Maujud Muhammad Abdul Lathif berkata: Pengingkaran terhadap ke-hujjah-an Sunnah dengan berpegang pada Al Qur’an saja merupakan suatu gerakan yang di pelopori oleh Khawarij, Zindiq, dan Syi’ah Rafidhah pada masa lalu. Yang di ikuti pada masa kini oleh sebagian golongan yang menamakan dirinya Qur’aniyyun di anak benua India, dan juga Mesir.[8]
            Adapun para penyeru ingkar Sunnah di anak benua India yang sangat masyhur diantaranya:
1.      Abdullah Cakralwi
2.      Ahmaddin Amratsary
3.      Aslam Churajpuri
4.      Ghulam Ahmad Pervaiz
Dan pada saat ini, di India terdapat 4 firqah dari golongan Qur’aniyyun:
1.      Firqah Ummah Muslim Ahl adz Dzikr wa al Qur’an
2.      Firqah Ummah Muslimah
3.      Firqah Thulu’ al Islam
4.      Firqah Tahrik Insaniyat
Adapun para penyeru ingkar Sunnah di Mesir:
1.      dr. Muhammad Taufiq Shiddiqy
2.      Mahmud Abu Rayah
3.      dr. Abu Syady Ahmad Zaky
4.      DR. Ismail Adham
5.      Mahmud Abu Zaid ad Damanhury

Dalil Syubhat sekte Qur’aniyyun terhadap Sunnah, dan bantahannya:
Syubhat Pertama:
Mereka berkata: Al Qur’an  tidak membutuhkan As Sunnah (Hadits) karena dia telah menjelaskan semua perkara Syari’at secara detail. Dalil-dalil mereka: Firman Allah Azza wa Jalla:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ : النحل-89
Artinya: “Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab untuk menjelaskan segala sesuatu, dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (An Nahl: 89)
مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ : الأنعام-38
Artinya: “Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam Al Kitab[9], kemudiajn kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” (Al An’aam: 38)
Bantahan atas Syubhat ini:
Keduanya (Al Qur’an dan Sunnah) tidak berbeda, bahwa Al Qur’an telah mencakup dasar-dasar dan asas-asas Syari’at secara menyeluruh, dan Al Qur’an hanya memberikan penjelasan Syari’at secara global. Adapun apa yang mereka serukan bahwa Al Qur’an telah menjelaskan segala permasalahan secara mendetail, sangatlah tidak sesuai dengan realitas Qur’an itu sendiri. Dan kedua ayat di atas, sangatlah  tidak tepat untuk mereka jadikan dalil pengingkaran mereka terhadap Sunnah.
            Adapun maksud dari ayat pertama adalah bahwasanya Al Qur’an telah mencakup dasar-dasar Agama (Ushuluddin) dan kaidah-kaidah hukum secara umum, yaitu bahwa Al Qur’an telah menyebutkan perkara secara global, dan meninggalkan penjelasannya kepada Rasul Shalallahu alaihi wasallam (berupa Sunnah atau Hadits). Seperti penjelasan tentang jumlah raka’at di dalam Sholat, rukun dan syaratnya, nishab Zakat, rincian manasik ibadah Haji, dan sebagainya. Al Qur’an hanya memberikan perintah syari’at secara global, dan tugas Rasulullah-lah yang menjelaskan rinciannya.[10]
            Adapun ayat yang kedua, para musuh Sunnah memahami bahwa yang di maksud dengan lafadz الْكِتَاب yaitu Qur’an, akan tetapi makna ayat secara keseluruhan, menjelaskan bahwa lafadz  الْكِتَاب dalam ayat tersebut artinya adalah Lauhul Mahfuzh yang telah mencatat semua perkara yang telah di takdirkan oleh Allah Jalla wa ‘Alaa. Adapun ayat ke 38 dari surah al An’am tersebut lafadz lengkapnya adalah sebagai berikut:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلَّا أُمَمٌ أَمْثَالُكُمْ مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ : الأنعام-38
Artinya: “Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi, dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam Al Kitab[11], kemudiajn kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” (Al An’aam: 38)
            Dan sebagai bantahan lain terhadap mereka (kaum ingkar Sunnah), yaitu jika mereka benar-benar beriman kepada Al Qur’an, maka sesungguhnya Al Qur’an telah menjelaskan dengan gamblang, bahwa Sunnah Nabawiyah juga merupakan wahyu dari Allah melalui lisan Nabinya, sebagaimana yang telah dijelaskan terdahulu.
            Dan hendaklah mereka yang menamakan dirnya sebagai Qur’aniyyun (pembela / pencinta Qur’an) mengintrospeksi diri kembali, bagaimana pemahaman mereka tentang Al Qur’an? Sedangkan Qur’an menyuruh untuk taat kepada Rasul dan mengancam para penentangnya.
Kemudian kita Tanya kembali kepada mereka, bagaimana mereka dapat memahami dan melaksanakan ayat yang memerintah untuk menegakkan Sholat dan membayar Zakat? Yang mana Qur’an hanya memberikan perintah global tanpa menjelaskan detailnya, maka Hadits-lah yang menjelaskan rukun-syaratnya, waktu dan tata cara pelaksanaan dan lain sebagainya.
            Sebagai kesimpulan, bahwa sangatlah tidak mungkin untuk mencukupkan diri dengan Al Qur’an tanpa berpegang teguh kepada Sunnah juga. Karena keduanya memiliki sumber yang sama, yaitu wahyu Allah. Maka, baik itu Al Qur’an maupun Sunnah keduanya memiliki sumber yang Rabbany.



Syubhat Kedua:
Mereka berkata: Kalau Sunnah merupakan Hujjah, maka Allah azza wa jalla akan menjamin penjagaannya. Akan tetapi Allah hanya menjamin penjagaan Qur’an saja. Mereka berdalil dengan ayat:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ : الحجر-9
Artinya: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz Dzikr (Al Qur’an), dan sesungguhnya kami benar memeliharanya”. (Al Hijr: 9)

Bantahan terhadap Syubhat ini:
Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala telah menjamin penjagaan atau pemeliharaan apa-apa yang Shahihdari Hadits-hadits Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Adapun dalil dari Qur’an yang menegaskan penjagaan Sunnah adalah firman Allah:
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ : النحل-44
Artinya: “”Dan Kami turunkan kepadamu (wahai Muhammad) Al Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka[12], dan supaya mereka memikirkan”. (An Nahl: 44)

            Lafadz ” الذِّكْر” di dalam Al Qur’an tidaklah bermakna Qur’an saja, bahkan juga bermakna Sunnah. Maka, penjagaan Sunnah menjadi suatu keniscayaan yang telah Allah janjikan. Abdullah Mahdi Abdul Qadir berkata: “Mungkin kami bisa menerima, bahwa makna lafadz  ” الذِّكْر” adalah Al Qur’an. Akan tetapi ayat-ayat (yang telah disebutkan di atas, pen) menunjukkan penjagaan Allah subhanahu wa ta’ala kepada Sunnah. Sebab, penjagaan al-Mubayyan (sesuatu yang dijelaskan / Al Qur’an) menuntut kepada penjagaan al-Mubayyin (sesuatu yang menjelaskan, dalam hal ini adalah Sunnah, pen). dan selama Sunnah itu merupakan sebagai Bayan (penjelas) bagi Qur’an. Maka, penjagaan Allah terhadap Qur’an berarti sebuah penjagaan terhadap Sunnah. Karena jika tidak demikian, maka berarti Allah meninggalkan Al Qur’an tanpa adanya sebuah penjelasan. Maka, hal ini berarti bahwa Al Qur’an-pun tidak terjaga.[13] Wallahu A’lam. ===

Penutup
Setelah pembahasan yang dirasa cukup mengenai mafhum Sunnah, dan penjelasan bahwa Sunnah juga merupakan Wahyu, serta wajibnya berpegang teguh kepadanya. Juga penjelasan korelasi antara Sunnah dan Qur’an (yaitu saling menyempurnakan, pen). Kemudian pembahasan sejarah ringkas kaum Ingkar Sunnah dan beberapa Syubhat yang mereka hembuskan dari masa ke masa, serta bantahannya. Maka penulis memohon maaf apabila ada kesalahan atau kekurang teliti-an penulis dalam membahasakan Al Qur’an maupun Sunnah. Yang benar datangnya dari Allah semata, sedangkan salah dan khilaf adalah dari setan dan diri penulis sendiri.
            Sebenarnya masih sangat banyak dalil syubhat-syubhat kaum ingkar Sunnah, akan tetapi penulis rasa, dua syubhat yang telah dikemukakan terdahulu telah cukup memberikan peringatan akan bahaya gerakan ingkar Sunnah. Dan semoga tulisan ini dapat menjadi awal yang baik dalam memahami urgensi berpegang teguh kepada Qur’an dan Sunnah, yang mana keduanya merupakan sumber hukum yang utama di dalam syari’at Islam.

[…] Wallahu A’lam Bish Showab

[1] Yaitu: perintah-perintah, larangan-larangan, dan aturan-aturan lain yang terdapat dalam Al Qur’an.
[2] Dinar adalah mata uang emas pada zaman dahulu, dia bernilai lebih tinggi dari dirham, karena dirham merupakan mata uang perak.
[3] Lihat: Al Qur’aniyyun wa Syubutatuhum hawla as Sunnah, Prof. Khadim Husain Bakhs, Maktabah Ash Shiddiq, India
[4] Lihat: Dirosat fi al Hadits an Nabawy, DR. Musthofa A’zhami, hal: 26
[5] Mereka menamakan diri Qur’aniyyun (golongan yang mencintai Qur’an), padahal al Qur’an sendiri tidak mencintai mereka, dan secara nyata menentang sikap dan pendirian mereka yang sama sekali jauh dari pemahaman Qur’an yang murni. Seperti cinta gila-nya Majnun terhadap Laila yang sama sekali tidak mencintainya.
[6] Lihat: Al Qur’aniyyun wa Syubutatuhum hawla as Sunnah, hal 19-20)
[7] Naturalisme adalah suatu faham yang menyatakan bahwa alam semesta ini terjadi secara begitu saja (natural), tanpa adanya campur tangan Tuhan. (Faham ini sunguh berbahaya, dan dapat menyebabkan kaum Muslimin menjadi Atheis – yang tidak percaya kepada Tuhan).
[8] As Sunnah Nabawiyah baina Du’at al Fitnah wa Ad’iyaa al Ilm, DR. Abdul Maujud Muhammad Abdul Lathif, Matba’ah ath Thoyyibah – Mesir, Hal: 88-89.
[9] Sebagian Mufassir meenafsirkan Al Kitab itu dengan Lauh Mahfuzh dengan arti bahwa nasib semua makhluk itu sudah dituliskan (ditetapkan) dalam Lauh Mahfuzh. Dan ada pula yang menafsirkan dengan Al Qur’an, dengan arti: dalam Al Qur’an itu telah ada poko-pokok agama, norma-norma hukum, hikmah-hikmah dan petunjuk untuk kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat, dan kebahagiaan makhluk pada umumnya.
[10] As Sunnah wa Makaanatuha fi at Tasyri’ al Islamy, DR. Musthofa as Siba’iy, penerbit Dar ul Waraq, hal: 178.
[11] Sebagian Mufassir meenafsirkan Al Kitab itu dengan Lauh Mahfuzh dengan arti bahwa nasib semua makhluk itu sudah dituliskan (ditetapkan) dalam Lauh Mahfuzh. Dan ada pula yang menafsirkan dengan Al Qur’an, dengan arti: dalam Al Qur’an itu telah ada poko-pokok agama, norma-norma hukum, hikmah-hikmah dan petunjuk untuk kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat, dan kebahagiaan makhluk pada umumnya.
[12] Yaitu: perintah-perintah, larangan-larangan, dan aturan-aturan lain yang terdapat dalam Al Qur’an.
[13] Lihat: Daf’us Syubuhat ‘anis Sunnah an Nabawiyah, DR. Abdulllah al Mahdi Abdul Qadir, Penerbit Al Iman – Mesir. Hal: 64

Tidak ada komentar:

Posting Komentar