Rabu, 09 Oktober 2013

Pelajaran Inspiratif dari Nabi Ibrahim (Refleksi Qurban)



 Pelajaran Inspiratif dari Nabi Ibrahim

Sejarah rasul yang berjuluk kekasih Allah (KhaliluLLAH) dan juga Bapaknya Para Nabi (Abu al-Anbiya’) ini, ditulis dengan tinta emas di dalam buku-buku sejarah. Sikap tabah dan teguhnya dalam menjalankan perintah Allah, telah menjadikan nabi Ibrahim sebagai panutan umat sepanjang zaman. Bahkan ketika para malaikat yang dikomandani Jibril bertanya kepada Allah : “Ya Allah, mengapa Engkau memberi gelar Khalilullah (Kekasih Allah) kepada Ibrahim, padahal ia selalu sibuk dengan harta kekayaan dan keluarganya ? Oleh karena itu, mana mungkin ia pantas menjadi Khalilullah ?” Allah berfirman : “Jangan kalian menilai secara lahiriah, tapi lihatlah hati dan amal baktinya. Karena tiada dihatinya rasa cinta selain kepada-Ku. Bila kalian ingin menguji, ujilah ia”. Lalu malaikat Jibril mengujinya yang ternyata memang terbukti bahwa kekayaan dan keluarganya sedikitpun tidak membuat dirinya lalai dalam mengabdi kepada Allah.
Pernyataan adanya keteladanan Nabiyullah Ibrahim ini diabadikan oleh Allah dalam firman-Nya : “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan-nya “ (QS. Al-Mumtahanah : 4). Sementara, tentang keharuman namanya sepanjang zaman, pun Allah telah menuturkan dalam firman-Nya : Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian. “ (QS. As-Shofat : 108) ternyata Allah sedemikian memuliakan Nabi Ibrahim. Sehingga Beliaulah yang menjadi bapak para Nabi. Lalu mengapakah Allah demikian memuliakannya? Apakah karena keturunannya, ataukah karena hartanya, atau kah karena kekuatannya, keperkasaannya? owwh, ternyata bukan. Rupanya Nabi Ibrahim dikenang hingga akhir zaman karena keteguhannya memegang amanah Allah, dan kerelaannya mengorbankan segala miliknya demi Allah SWT.
Sejarah hidup Nabi Ibrahim adalah sejarah manusia yang sukses dalam menjalani hidup, meski ia berangkat dari nol. Sukses berdakwah dalam kondisi sulit dan sukses menjaga amanah ketika telah mulai memanen hasil jerih keringat dakwahnya. Ia memulai Dakwah sebagai seseorang yang harus berhadapan dengan berhadapan kepada orang tuanya sendiri serta penguasa yang dzalim dan kuat. Harus melewati hukuman yang berat dan tidak memungkinkannya selamat, kecuali atas izin Allah, SWT.
Beliau juga begitu setia menjaga isterinya yang sedang mengandung keturunannya, menemaninya hingga ke sebuah tempat yang sangat jauh dari daerahnya semula. Menjalani kehidupan dengan normal dan tetap menyerukan ayat-ayat Allah dengan bijaksana, agar umatnya tak kembali lagi ke jalan yang tak di ridhoi Allah.
Akan tetapi, bagi Nabi Ibrahim, cobaan yang demikian rupanya belumlah seberapa, ternyata, cobaan terberatnya adalah ketika ia harus merelakan putera tercintanya Ismail AS, untuk dikorbankan, kepada Allah dengan cara disembelih. Putera yang beberapa waktu setelah kelahirannya segera ditinggalkan untuk memenuhi seruan Allah SWT. Kerelaan Nabiyullah Ibrahim untuk menyembelih puteranya inilah yang terus kita peringati hingga sekarang sebagai Idul Adha atau Idul Qurban.
Berkurban adalah berarti wujud ketaatan dan peribadatan seseorang, dan karenanya seluruh sisi kehidupan seseorang bisa menjadi manifestasi sikap berkurban. Namun demikian, kita juga harus senantiasa menginterpretasikan keteguhan ketaatan dan ketabahan dalam kisah nabi Ibrahim tersebut zaman kita hidup saat ini. Ketabahan Nabi Ibrahim untuk merelakan puteranya dapat kita wujudkan dalam kerelaan kita untuk berbagi kebahagiaan dengan para tetangga, lingkungan dan saudara-saudara umat Islam lainnya di manapun mereka berada.
Berkurban juga berarti upaya menyembelih hawa nafsu dan memotong kemauan syahwat yang selalu menyuruh kepada kemungkaran dan kejahatan. Seandainya sikap menyembelih hawa nafsu ini dimiliki oleh umat Islam, subhanallah, umat Islam akan maju dalam segalanya. Betapa tidak, bagi yang berprofesi sebagai guru, ia berkurban dengan ilmunya. Pengusaha ia berkurban dengan bisnisnya yang fair dan halal. Politisi ia berkurban demi kemaslahatan umum dan bukan kelompoknya. Pemimpin ia berkurban untuk kemajuan rakyat dan bangsanya bukan untuk pribadinya dan begitu seterusnya. Dengan semangat ini, bentuk-bentuk kejahatan akan bisa diminimalisir bahkan dihilangkan di bumi pertiwi ini.
Ibadah Qurban mengandung dua makna yakni makna spiritual – transendental dan makna sosial humanis. Sisi spiritual transendental sebagai  konskuensi wajar dari ketaatan dan kepatuhan kepada Allah, sedangkan sisi sosial humanis, nampak dari adanya pendistribusian hewan qurban kepada yang berhak (mustahiq). Namun ini akan bernilai manakala disertai dengan refleksi ketakwaan kepada Allah. Karena itu Allah swt menegaskan dalam firman-Nya : ”Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Hajj:37)
Namun apa yang kita saksikan dewasa ini. Jiwa pengorbanan pada banyak kalangan telah digeser oleh semangat atau nafsu mengorbankan orang lain. Perhatikan saja kemelut di layar kaca dirumah kita, Perang terbuka di  media massa, baik itu korupsi, tuduh menuduh, kemaksiatan dan lain-lain makin membuat kita prihatin. Dari kasus ke kasus yang makin ruwet bagai gulungan benang kusut. Naudzubillah Analisis secara yuridis dan sosiologis tidak mampu membawa peta masalah makin terang benderang. Hanya satu pisau analisis yang mampu memposisikan dan memahami masalah yang ada secara mendasar dan tepat. Yaitu analisis mental dan moral manusia. Secara mental ada kerusakan yang serius, yaitu hilangnya kejujuran ”al-Shidq”, dan diputusnya ketertautan antara apa yang diperbuat di dunia ini dengan kesadaran terhadap negeri akhirat. Dengan absennya kejujuran maka yang menggantikannya adalah kedustaan ”al-Kizb”. Kalau sudah begitu, tidak ada lagi orang yang mau mengakui kesalahan malah justeru menyalahkan pihak lain, dan ujung-ujungnya mengorbankan pihak lain demi  membela akuisme personal (diri sendiri) atau egoisme lembaga. Dalam konteks ini Rasulullah saw telah memberikan peringatan dengan sabdanya : ”Hati-hati dengan dusta, sebab dusta akan membawa pada perbuatan dosa, dan perbuatan dosa akan menyeret ke naraka. Seseorang berulang kali berdusta hingga terbentuk sifat  dan dituliskan sebagai pendusta” (Riwayat Muslim)
Kini Allah memanggil kita, menuntut ketaatan total kita kepada-Nya. Ketaatan itu menuntut kita untuk berkorban; mengorbankan apa saja yang kita miliki demi menggapai ridha-Nya. Hanya dengan pengorbanan demi ketaatan itulah, kita akan meraih kembali kemuliaan hidup kita, baik di dunia maupun di akhirat. Inilah saatnya kita berkorban. Yang tidak hanya berhenti pada penyembelihan kambing, sapi, atau unta. Namun pengorbanan harta, waktu, jiwa dan raga kita demi tegaknya agama Allah di muka bumi. Ingatlah, bahwa untuk itulah Nabi bersumpah: ”Demi Allah, andai saja mereka bisa meletakkan matahari di tangan kananku, dan bulan di tangan kiriku, (lalu mereka minta) agar aku meninggalkan urusan (agama) ini, maka demi Allah, sampai urusan (agama) itu dimenangkan oleh Allah, atau aku binasa di jalannya, aku tetap tidak akan meninggalkannya.” (Hr. Ibn Hisyam)
            Seseorang menjadi besar karena jiwanya besar. Tidak ada jiwa besar tanpa jiwa yang punya semangat berkorban. Berkat ruhul badzli wal tadlhiyah wal mujahadah  atau spirit berbagi, berkorban dan berjuang dengan menyemai semangat memberi, berkorban dan mujahadah pada diri dan keluarga kita, dan kita  berusaha mewujudkan JAMBI yaitu Jadikan Alqur’an Membangun Bangsa Indonesia. Amin. Wallahu ’alam >>> (Realise Jambi Independent, Jum'at 11/10/2013)

·          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar