Pelajaran
Inspiratif dari Nabi Ibrahim
Sejarah rasul yang berjuluk kekasih Allah (KhaliluLLAH)
dan juga Bapaknya Para Nabi (Abu al-Anbiya’) ini, ditulis dengan tinta
emas di dalam buku-buku sejarah. Sikap tabah dan teguhnya dalam menjalankan
perintah Allah, telah menjadikan nabi Ibrahim sebagai panutan umat sepanjang
zaman. Bahkan ketika para malaikat yang dikomandani Jibril bertanya kepada
Allah : “Ya
Allah, mengapa Engkau memberi gelar Khalilullah (Kekasih Allah) kepada Ibrahim,
padahal ia selalu sibuk dengan harta kekayaan dan keluarganya ? Oleh karena
itu, mana mungkin ia pantas menjadi Khalilullah ?” Allah berfirman
: “Jangan
kalian menilai secara lahiriah, tapi lihatlah hati dan amal baktinya. Karena
tiada dihatinya rasa cinta selain kepada-Ku. Bila kalian ingin menguji, ujilah
ia”. Lalu malaikat Jibril mengujinya yang ternyata memang terbukti
bahwa kekayaan dan keluarganya sedikitpun tidak membuat dirinya lalai dalam
mengabdi kepada Allah.
Pernyataan adanya keteladanan Nabiyullah Ibrahim ini
diabadikan oleh Allah dalam firman-Nya : “Sesungguhnya telah ada suri tauladan
yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan-nya “ (QS.
Al-Mumtahanah : 4). Sementara, tentang keharuman namanya sepanjang zaman,
pun Allah telah menuturkan dalam firman-Nya : Kami abadikan untuk Ibrahim itu
(pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian. “ (QS.
As-Shofat : 108) ternyata Allah sedemikian memuliakan Nabi Ibrahim.
Sehingga Beliaulah yang menjadi bapak para Nabi. Lalu mengapakah Allah demikian
memuliakannya? Apakah karena keturunannya, ataukah karena hartanya, atau kah
karena kekuatannya, keperkasaannya? owwh, ternyata bukan. Rupanya Nabi Ibrahim
dikenang hingga akhir zaman karena keteguhannya memegang amanah Allah, dan
kerelaannya mengorbankan segala miliknya demi Allah SWT.
Sejarah
hidup Nabi Ibrahim adalah sejarah manusia yang sukses dalam menjalani hidup,
meski ia berangkat dari nol. Sukses berdakwah dalam kondisi sulit dan sukses
menjaga amanah ketika telah mulai memanen hasil jerih keringat dakwahnya. Ia
memulai Dakwah sebagai seseorang yang harus berhadapan dengan berhadapan kepada
orang tuanya sendiri serta penguasa yang dzalim dan kuat. Harus melewati hukuman yang berat dan tidak
memungkinkannya selamat, kecuali atas izin Allah, SWT.
Beliau juga begitu setia menjaga isterinya yang sedang
mengandung keturunannya, menemaninya hingga ke sebuah tempat yang sangat jauh
dari daerahnya semula. Menjalani kehidupan dengan normal dan tetap menyerukan
ayat-ayat Allah dengan bijaksana, agar umatnya tak kembali lagi ke jalan yang
tak di ridhoi Allah.
Akan tetapi, bagi Nabi Ibrahim, cobaan yang demikian
rupanya belumlah seberapa, ternyata, cobaan terberatnya adalah ketika ia harus
merelakan putera tercintanya Ismail AS, untuk dikorbankan, kepada Allah dengan
cara disembelih. Putera yang beberapa waktu setelah kelahirannya segera
ditinggalkan untuk memenuhi seruan Allah SWT. Kerelaan Nabiyullah Ibrahim untuk
menyembelih puteranya inilah yang terus kita peringati hingga sekarang sebagai
Idul Adha atau Idul Qurban.
Berkurban
adalah berarti wujud ketaatan dan peribadatan seseorang, dan karenanya seluruh
sisi kehidupan seseorang bisa menjadi manifestasi sikap berkurban. Namun
demikian, kita juga harus senantiasa menginterpretasikan keteguhan ketaatan dan
ketabahan dalam kisah nabi Ibrahim tersebut zaman kita hidup saat ini.
Ketabahan Nabi Ibrahim untuk merelakan puteranya dapat kita wujudkan dalam
kerelaan kita untuk berbagi kebahagiaan dengan para tetangga, lingkungan dan
saudara-saudara umat Islam lainnya di manapun mereka berada.
Berkurban juga berarti upaya menyembelih hawa nafsu dan
memotong kemauan syahwat yang selalu menyuruh kepada kemungkaran dan kejahatan.
Seandainya sikap menyembelih hawa nafsu ini dimiliki oleh umat Islam,
subhanallah, umat Islam akan maju dalam segalanya. Betapa tidak, bagi yang
berprofesi sebagai guru, ia berkurban dengan ilmunya. Pengusaha ia berkurban
dengan bisnisnya yang fair dan halal. Politisi ia berkurban demi kemaslahatan
umum dan bukan kelompoknya. Pemimpin ia berkurban untuk kemajuan rakyat dan
bangsanya bukan untuk pribadinya dan begitu seterusnya. Dengan semangat ini,
bentuk-bentuk kejahatan akan bisa diminimalisir bahkan dihilangkan di bumi
pertiwi ini.
Ibadah
Qurban mengandung dua makna yakni makna spiritual – transendental dan makna
sosial
humanis. Sisi spiritual transendental sebagai
konskuensi wajar dari ketaatan dan kepatuhan kepada Allah, sedangkan sisi sosial
humanis, nampak dari adanya pendistribusian hewan qurban kepada
yang berhak (mustahiq). Namun ini akan bernilai
manakala disertai dengan refleksi ketakwaan kepada Allah. Karena itu Allah swt menegaskan dalam firman-Nya : ”Daging-daging
unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah,
tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah
menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya
kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Hajj:37)
Namun apa yang kita saksikan dewasa ini. Jiwa pengorbanan pada banyak kalangan telah digeser oleh
semangat atau nafsu mengorbankan orang lain. Perhatikan saja kemelut di layar
kaca dirumah kita, Perang terbuka di
media massa, baik itu korupsi, tuduh menuduh, kemaksiatan dan lain-lain
makin membuat kita prihatin. Dari kasus ke kasus yang makin ruwet bagai
gulungan benang kusut. Naudzubillah Analisis secara yuridis dan
sosiologis tidak mampu membawa peta masalah makin terang benderang. Hanya satu
pisau analisis yang mampu memposisikan dan memahami masalah yang ada secara
mendasar dan tepat. Yaitu analisis mental dan moral manusia. Secara mental ada
kerusakan yang serius, yaitu hilangnya kejujuran ”al-Shidq”, dan
diputusnya ketertautan antara apa yang diperbuat di dunia ini dengan kesadaran
terhadap negeri akhirat. Dengan absennya kejujuran maka yang menggantikannya
adalah kedustaan ”al-Kizb”. Kalau sudah begitu, tidak ada lagi orang
yang mau mengakui kesalahan malah justeru menyalahkan pihak lain, dan
ujung-ujungnya mengorbankan pihak lain demi
membela akuisme personal (diri sendiri) atau egoisme lembaga.
Dalam konteks ini Rasulullah saw telah memberikan peringatan dengan sabdanya : ”Hati-hati
dengan dusta, sebab dusta akan membawa pada perbuatan dosa, dan perbuatan dosa
akan menyeret ke naraka. Seseorang berulang kali berdusta hingga terbentuk
sifat dan dituliskan sebagai pendusta”
(Riwayat Muslim)
Kini Allah memanggil kita, menuntut ketaatan total kita
kepada-Nya. Ketaatan itu menuntut kita untuk berkorban; mengorbankan apa saja
yang kita miliki demi menggapai ridha-Nya. Hanya dengan pengorbanan demi
ketaatan itulah, kita akan meraih kembali kemuliaan hidup kita, baik di dunia
maupun di akhirat. Inilah saatnya kita berkorban. Yang tidak hanya berhenti pada penyembelihan kambing, sapi,
atau unta. Namun pengorbanan harta, waktu, jiwa dan raga kita demi tegaknya
agama Allah di muka bumi. Ingatlah, bahwa untuk itulah Nabi bersumpah: ”Demi
Allah, andai saja mereka bisa meletakkan matahari di tangan kananku, dan bulan
di tangan kiriku, (lalu mereka minta) agar aku meninggalkan urusan (agama) ini,
maka demi Allah, sampai urusan (agama) itu dimenangkan oleh Allah, atau aku
binasa di jalannya, aku tetap tidak akan meninggalkannya.” (Hr. Ibn
Hisyam)
Seseorang menjadi besar karena
jiwanya besar. Tidak ada jiwa besar tanpa
jiwa yang punya semangat berkorban. Berkat ruhul badzli wal tadlhiyah wal
mujahadah atau spirit berbagi,
berkorban dan berjuang dengan menyemai semangat memberi, berkorban dan
mujahadah pada diri dan keluarga kita, dan kita
berusaha mewujudkan JAMBI yaitu Jadikan Alqur’an Membangun Bangsa
Indonesia. Amin. Wallahu ’alam >>> (Realise Jambi Independent, Jum'at 11/10/2013)
·
Tidak ada komentar:
Posting Komentar