Tingginya
Kebudayaan Hawa Nafsu (Motivasi Menyetir Nafsu)
Ust H Hasbullah Ahmad
Dalam
kehidupan modern dewasa ini ketika semangat kapitalisme telah menjelma menjadi
semacam jaring yang mengepung segala tindakan dan perilaku manusia, praktik
konsumsi tidak lagi dipahami hanya sekadar memenuhi kebutuhan dasar manusia,
tetapi juga dimengerti sebagai urusan yang berhubungan erat dengan pemuasan
unsur-unsur simbolik manusia. Dalam pengertian ini, konsumsi akhirnya menjadi
tanda yang dipelintir artinya bagi peningkatan status, prestise, kelas, dan
simbol sosial tertentu. Kegiatan berbelanja di Mal, makan di restoran yang
menyediakan makanan cepat saji, kursus kepribadian dan berpakaian adalah contoh
kecil bahwa aspek kepemilikan/memiliki apa pun yang serba baru dan canggih pada
dasarnya bukan untuk pemenuhan kebutuhan dasar.
Pengertian
konsumsi yang absurd ini dalam kehidupan modern menjadi arena sosial
yang menyedot dan menarik minat energi pelampiasan. Ia menjelma menjadi medan
kesadaran yang harus segera dipenuhi dan dipuaskan kebutuhannya. Identitas diri
di hadapan lingkungan sosial yang demikian diperebutkan dan dibentuk oleh
produk-produk rayuan melalui citra-citra tertentu yang ditawarkan lewat
berbagai media massa: Supaya kelihatan jantan dan macho, maka seolah di harus
mengisap rokok tertentu. Supaya perempuan kelihatan cantik, pergunakanlah
kosmetik merek tertentu. Agar Anda dikategorikan sebagai manusia yang tidak
ketinggalan zaman, milikilah atribut artis yang lagi ngetop! Naudzu biLLAH.
Manusia modern
adalah manusia yang dahaga karenanya mereka sangat bernafsu untuk memburu
segala sesuatu yang berhubungan dengan prestise dan upaya peningkatan status
sosial. Membanjirnya produk-produk yang menawarkan pembentukan citra diri
melalui seni bujuk rayu media massa bukan meredakan gairah, tapi malah semakin
memacu semangat dan prinsip untuk secepat mungkin menggerakkan tungkai menjadi
manusia modern. Faktanya, usaha manusia modern untuk senantiasa berpacu dalam
memenuhi segala hasratnya malah menimbulkan tegangan dan dorongan baru yang
harus dikejar dan dipenuhi yaitu "keinginan".
Keinginan adalah sesuatu yang paradoks:
setelah suatu keinginan terpenuhi, timbul keinginan lain untuk segera
diselesaikan dan dipenuhi hajatnya. Namun, dalam kerangka kehidupan modern,
keinginan haruslah menjadi sesuatu yang tak berujung dan harus selalu
diposisikan sebagai pesona yang dapat menyedot hasrat. Alasannya, dengan cara
inilah kapitalisme dapat memelihara dan menjaga kelanggengan hidup seluruh
produknya.
Dalam tilikan kesadaran agama, yang memprioritaskan kebersahajaan dan yang menganjurkan hidup tidak berlebihan, logika kapitalisme yang mengemas pemuasan hawa nafsu sebagai dalil yang tak tergugat, telah dengan sungguh-sungguh ikut terlibat untuk mengalihkan arah setiap usaha pencarian manusia dari nilai-nilai transendental, spiritual, moral, menuju pencarian identitas yang melulu ditakar berdasarkan hubungan-hubungan kekuasaan, kesenangan, dan rayuan. Iyadzu biLLAH.
Logikanya adalah jika segala hawa nafsu disalurkan demi pemenuhan kenikmatan, ia dapat menjadi semacam dinamo yang pengoperasiannya bisa dilakukan menjadi tanpa batas sehingga akhirnya ia menjelma menjadi sesuatu yang tidak realistis dan membahayakan eksistensi manusia itu sendiri. Oleh karena itu, sangatlah wajar jika kaum sufi, misalnya, memandang manusia modern sebagai manusia yang dibutakan matanya yang hanya tertarik pada kulit ketimbang terpesona untuk mencari dan menemukan isi. Allah SWT mengingatkan kita : "Apakah engkau tidak perhatikan orang yang telah menjadikan hawa nafsu sebagai tuhannya. Apakah engkau akan dapat menjadi pelindungnya. Atau apakah engkau mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu hanyalah seperti binatang ternak bahkan lebih sesat lagi." (Qs. Al Furqan: 43-44)
Dalam tilikan kesadaran agama, yang memprioritaskan kebersahajaan dan yang menganjurkan hidup tidak berlebihan, logika kapitalisme yang mengemas pemuasan hawa nafsu sebagai dalil yang tak tergugat, telah dengan sungguh-sungguh ikut terlibat untuk mengalihkan arah setiap usaha pencarian manusia dari nilai-nilai transendental, spiritual, moral, menuju pencarian identitas yang melulu ditakar berdasarkan hubungan-hubungan kekuasaan, kesenangan, dan rayuan. Iyadzu biLLAH.
Logikanya adalah jika segala hawa nafsu disalurkan demi pemenuhan kenikmatan, ia dapat menjadi semacam dinamo yang pengoperasiannya bisa dilakukan menjadi tanpa batas sehingga akhirnya ia menjelma menjadi sesuatu yang tidak realistis dan membahayakan eksistensi manusia itu sendiri. Oleh karena itu, sangatlah wajar jika kaum sufi, misalnya, memandang manusia modern sebagai manusia yang dibutakan matanya yang hanya tertarik pada kulit ketimbang terpesona untuk mencari dan menemukan isi. Allah SWT mengingatkan kita : "Apakah engkau tidak perhatikan orang yang telah menjadikan hawa nafsu sebagai tuhannya. Apakah engkau akan dapat menjadi pelindungnya. Atau apakah engkau mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu hanyalah seperti binatang ternak bahkan lebih sesat lagi." (Qs. Al Furqan: 43-44)
Dapat
dimengerti jika logika hawa nafsu sanggup memalingkan dan menyamarkan setiap
upaya pencarian manusia terhadap nilai-nilai luhur sebab sebagaimana menurut Gilles
Deleuze dan Felix Guattari, logika hawa nafsu yang mewabah akibat
bekerjanya spirit kapitalisme diproduksi oleh apa yang mereka sebut sebagai
"mesin hawa nafsu". Sebuah peristilahan psikoanalisis yang
mereka gunakan untuk menjelaskan mekanisme produksi "ketidakcukupan"
dalam diri seseorang. Keinginan untuk "memiliki" bukan disebabkan
"ketidakcukupan alamiah" yang ada dalam diri kita, melainkan hanya
untuk memenuhi pencarian identitas yang tidak henti-hentinya. Oleh karena itu,
identitas manusia modern adalah identitas yang dibangun oleh proses konsumsi
dan proses komoditi dari citraan dan rayuan-rayuan media massa.
Identitas
sebagaimana dikatakan Jonathan Rutheford merupakan satu mata rantai masa
lalu dengan hubungan-hubungan sosial, kultural, dan ekonomi di dalam ruang dan
waktu satu masyarakat hidup. Dalam kaitannya dengan hubungan sosial, masyarakat
konsumerisme mengaitkan identitas dengan pola perubahan sosial. Masyarakat
dipandang tidak lebih dari struktur mekanis. Akibatnya, melahirkan kesulitan
bagi manusia untuk memahami hubungan organik sistem kebudayaan yang ada. Dalam
kondisi itu manusia digiring kearah keterasingan atau alienasi. Situasi
keterasingan ini mengakibatkan keterkungkungan manusia di hadapan realitas.
Kebudayaan
yang berdasarkan pada "logika hawa nafsu" tersebut
menggambarkan bahwa revolusi kebudayaan tak lebih dari sebuah revolusi dalam
penghambaan diri bagi pelepasan hawa nafsu belaka. Iklan-iklan di televisi
misalnya, ia beroperasi lewat pengosongan tanda-tanda dari pesan dan maknanya
secara utuh sehingga yang tersisa adalah penampakan semata. Sebuah wajah merayu
yang penuh atribut dan mike-up adalah wajah yang kosong makna sebab penampakan artifisial
dan kepalsuannya menyembunyikan kebenaran diri. Apa yang ditampilkan dari
kepalsuan dan kesemuan tersebut menjadi sebuah rayuan bagi para pemirsa. Hingga
yang muncul dari sebuah rayuan, bukanlah sampainya pesan dan makna-makna,
melainkan munculnya keterpesonaan, ketergiuran, dan gelora hawa nafsu: gelora
seksual, gelora belanja, gelora berkuasa. Naudzu biLLAH
Kemajuan
teknologi sebagai media untuk menuntun pola hidup dan kebudayaan telah mengkondisikan
manusia pada sebuah ruang penjara elektronik dan penjara rumah apalagi dengan
berkembangnya teknologi televisi. Media massa ini pada akhirnya tidak bisa
disalahkan total karena media adalah pembentuk kesadaran sosial yang pada
akhirnya menentukan persepsi manusia terhadap dunia dan masyarakat tempat mereka
hidup. Sisi yang lain, karena rayuan tidak berhenti pada kebenaran tanda,
melainkan beroperasi melalui pengelabuan dan kerahasiaan, maka ia menjadi
sebuah wacana yang menenggelamkan identitas diri ke arah identitas yang
dibangun berdasarkan citraan dan rayuan-rayuan semata.
Berdasarkan
fakta tersebut, otonomi subyektif manusia terkikis habis oleh
kecenderungan-kecenderungan yang mengubur aspek kesadaran manusia terhadap
makna hidupnya. Pasalnya, makna hidup adalah potensi diri yang diaktualkan
lewat perilaku sehari-hari. Identitas diri yang dibangun berdasarkan
citraan-citraan dan rayuan-rayuan semata bukan lahir berdasarkan potensi diri
sebab potensi diri adalah wujud identitas yang menampakkan diri apa adanya
dihadapan realitas. Jika demikian, dapat dikatakan bahwa
kecenderungan-kecenderungan yang mengubur aspek kesadaran manusia pada
masyarakat konsumer adalah "hawa nafsu". Logika hawa nafsu
berdasar pada, ketika sesuatu dilakukan, dibeli dan dinikmati, itu bukan demi
kebutuhan sebab kebutuhan adalah energi murni organik. Dorongan makan, minum
apa adanya ketika buka puasa tiba, itu menggambarkan bahwa pemenuhan kebutuhan
adalah energi murni organik yang tidak bisa ditunda karena jauh dari berbagai
bentuk makanan.
Di era
konsumerisme, kebutuhan dilandasi oleh nilai-nilai prestise, life
style dan citraan ketimbang nilai utilitas. Logika yang mendasarinya bukan
kebutuhan (need), melainkan logika hasrat (desire). Hasrat atau
hawa nafsu dengan begitu dicipta seakan menjadi kebutuhan yang tiada hentinya. Jika
hasrat atau hawa nafsu pada akhirnya menjadi kebutuhan, kebutuhan manusia
adalah pemenuhan hawa nafsu. Jean Baudrillard melihat kebutuhan tersebut
bagai sebuah jaring laba-laba, "Apapun yang mengalir melalui mereka
(konsumer), apa pun menarik mereka bagai magnet, akan tetapi mengalir melalui
mereka tanpa meninggalkan bekas apa-apa".
Hal ini dapat
kita lihat pada sekelompok masyarakat tertentu yang mempunyai budaya konsumsi
berlebihan. Kehadiran hasrat yang ditopang oleh kebutuhan pada kaum selebritis dalam
fenomena hidup, menenggelamkan subjek yang dikuasainya ke dalam tanda, simbol,
atau nilai-nilai yang bersifat tumpang tindih bahkan tampak kontradiktif dari
realitas yang sebenarnya. Naudzu biLLAH. >>>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar