Tafakkur Jalan mempertebal Iman
Ust H. Hasbullah Ahmad
(Dosen Tafsir Hadist Fakultas Ushuluddin IAIN Jambi)
Khutbah Jumat Masjid
Agung Al-Falah Jambi
الحمدُ لله الَّذِي كوَّنَ الأشياءَ وأحْكمهَا خَلْقاً، وفتقَ السموات
والأرضَ، وكانتا رَتْقاً، وقسَّمَ بحكمتِه العبادَ فأسعدَ وأشْقى، وجعلَ للسعادةِ
أسباباً فسَلكهَا منْ كانَ أتْقَى، فَنَظَر بعينِ البصيرةِ إلى العواقبِ فاختارَ
ما كَان أبْقَى، أحمدُه وما أقْضِي له بالحمدَ حقَّاً، وأشكُره ولم يزَلْ لِلشُّكر
مستحِقَّاً، وأشْهدُ أنْ لا إِلهَ إِلاَّ الله وحده لا شريكَ له مالكُ الرقاب
كلِّها رِقَّاً، وأشهد أنَّ محمداً عبدُه ورسولُه أكمل البشر خُلُقاً وخَلْقَاً
صلى الله عليه وعلى آلِهِ وأصحابِه الناصرينَ لدينِ
الله حقاً، وسلَّمَ تسليماً كثيرا.. أمَّابَعْدُ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى
اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. فقال عزّ من قائل : يَاأَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا
اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ
Jama’ah
Jumat yang dirahmati Allah SWT
Allah
SWT berfirman :
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ
وَاخْتِلاَفِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لأَيَاتٍ لأُوْلِي اْلأَلْبَابِ
“
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang
terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal “ (QS. Ali Imron
[3] : 190)
Akal adalah anugerah yang tak terkira nilainya yang telah Allah
karuniakan kepada manusia. Dengan akal bisa dibedakan mana yang taat dan
maksiat. Dengan Akal bisa dibedakan mana yang haq yang bathil.
Dengan Akal bisa dibedakan mana yang sesat dan yang selamat. Dengan Akal dapat
membedakan manusia dan hewan. Dengan akal seseorang bisa memilah dan memilih
perkara yang menyesatkan atau yang menyelamatkan dirinya baik di dunia atau di
akhirat. dengan akallah manusia bisa menerima kebenaran Ilahi. SubhanaLLAH.
Dari Akal yang kita miliki akan melahirkan pemikiran yang dikenal
dengan Tafakkur. Tafakur berasal
dari kata fikr yang berarti memikirkan. Memikirkan silih bergantinya
siang dan malam, terdapat keteraturan peredaran antar planet, bulan, demikian
teraturnya hukum gravitasi antar benda-benda angkasa. Itu semua tunduk oleh
sang Maha Pengatur Allah SWT.[1]
Jama’ah
Jumat yang dirahmati Allah SWT
Apalagi
di era sekarang ini kita sedang berhadapan dengan perberkembangan di berbagai
aspek kehidupan dunia, baik ekonomi, politik, sosial budaya, bahkan pesatnya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, membuat kita semakin terbelenggu
dan bermain-bermain dibawah hawa nafsu, sehingga kita lupa
menghitung-menghitung diri dalam ketaatan, atas nikmat-nikmat yang diwujudkan
Allah ke dalam hati dan diri kita.
Mungkin
semua itu diakibatkan oleh semakin kabur dan pekatnya hati kita, karena
kesibukan kita berusaha meraih keinginan dan tujuan tertentu yang berlebihan,
serta kurang istiqamahnya dalam beraktifitas diberbagai aspek kehidupan,
sehingga cenderung mengabaikan dan kurang yakin dengan kekuatan, keagungan dan
kebesaran Allah SWT dalam diri kita. Naudzu biLLAH. Rasulullah Saw.
Bersabda:
تفكروا
فى الخلق ولاتفكروا فى الخالق
“Berpikirlah kamu tentang tanda-tanda
kekuasaan Allah, dan janganlah kamu berpikir tentang Dzat Allah.” (HR Ahmad)
Hadits ini berbicara tentang salah satu ciri khas manusia yang
membedakanya dari makhluk yang lain, bahwa manusia adalah makhluk yang
berpikir. Dengan kemampuan itulah manusia bisa meraih berbagai kemajuan,
kemanfaatan, dan kebaikan. Namun, sejarah juga mencatat, bahwa tidak sedikit
manusia mengalami kesesatan dan kebinasaan akibat berpikir. Karena itu,
Rasulullah saw. mengingatkan kita, kaum muslimin, kepada satu ibadah yang
sering kita lupakan, yaitu ibadah tafakkur. Dalam hal ini ibadah Tafakkur sangat penting dan sering kita lupakan atau sering kita lakukan tetapi hasilnya seringkali
diabaikan dan tidak kita benihkan sebagai suatu kesadaran dalam hati dan
fikiran untuk kemudian kita tumbuhkan menjadi pendewasaan kerohanian kita dan
peningkatan keimanan. Bahkan terkadang seringkali kita merasa tidak yakin dan sangat
berat untuk mengamalkan dan melaksanakan hasil tersebut sebagai usaha
peningkatan kesadaran dan pensucian jiwa.[2]
Banyak ayat-ayat dalam al-Quran dalam ayatnya diakhiri dengan
penegasan untuk tafakur, diantaranya adalah,
كَذَلِكَ
يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمُ اْلأَيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ
“dan
demikian kami jelaskan tanda-tanda itu bagi kalian, Supaya kamu berfikir, “ (QS
[2] : 219) ;
إِنَّ فِي ذَلِكَ لأَيَاتٍ لِّقَوْمٍ
يَتَفَكَّرُونَ
“Sesungguhnya
demikian itu Tanda-tanda bagi kaum yang berpikir,” (QS Ar-Rum [30] : 21 ;
Jama’ah
Jumat yang dirahmati Allah SWT
Dapat kita katakan bahwa kebaikan dunia dan agama tergantung pada
kesempurnaan tafakkur. Ali bin
Abi Thalib ra. Pernah berkata,لاعبادة أهمّ من التفكّر “Tidak ada ibadah sepenting tafakur“.
Dan Orang bijak mengatakan, “Bertafakur adalah pelita kalbu. Bila ia pergi
tiada lagi cahaya yang meneranginya“.Sehingga Habib Abdillah al-Haddad (Shahibur
Raatib) dalam kitabnya yang masyhur, Risaalatul Mu’awanah
menyimpulkan bahwa kebaikan dunia dan agama tergantung pada kesempurnaan
tafakkur, barang siapa lebih banyak bertafakkur, ia lebih banyak mendapatkan
kebaikan di sisi Allah SWT[3]. SubhanaLLAH.
Tafakkur merupakan perenungan terhadap tanda-tanda
kebesaran Allah SWT. Hasil tafakur ini akan bisa mengantarkan kita kepada
kemajuan, kebaikan, ketaatan, keimanan, dan ketundukan kepada Allah SWT.[4]
Agar tujuan itu tercapai, Rasulullah saw. memberi rambu-rambu agar kita tidak
salah dalam bertafakur. Rasulullah saw. memerintahkan kita untuk bertafakur
mengenai makhluk ciptaan Allah swt. Rasulullah melarang kita berpikir tentang
Dzat Allah karena kita tidak akan mampu menjangkaunya, dan berpikir tentang
Dzat Alllah bisa mengantarkan kita kepada kesesatan dan kebinasaan. Firman
Allah:
قُلِ انظُرُوا مَاذَا فِي السَّمَاوَاتِ
وَاْلأَرْضِ وَمَاتُغْنِي اْلأَيَاتُ وَالنُّذُرُ عَن قَوْمٍ لاَّيُؤْمِنُونَ
“Katakanlah:
"Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi. tidaklah bermanfaat
tanda kekuasaan Allah dan Rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang
yang tidak beriman".
(QS. Yunus: 101)
Ruang lingkup
tafakur sangatlah luas. Sedangkan yang paling mulia adalah bertafakur atas
keajaiban-keajaiban semesta alam, langit dan bumi beserta isinya. Sebagaimana
firman Allah SWT.:
وَفِي اْلأَرْضِ ءَايَاتٌ لِّلْمُوقِنِينَ وَفِي
أَنفُسِكُمْ أَفَلاَ تُبْصِرُونَ
“Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda
(kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri.
Maka Apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Az-dzariyat:20-21)
Dan diri kita sendiri, sesungguhnya termasuk
ciptaan Allah yang paling mengagumkan dan paling dekat untuk ditafakkuri.
Begitu banyak fungsi-fungsi organ tubuh kita yang sangat menakjubkan hati dan
fikiran kita, yang kesemuanya itu menunjukkan tanda kebesaran Allah SWT, dan
kita diperintah oleh Allah untuk memperhatikan itu.[5]
Jama’ah
Jumat yang dirahmati Allah SWT
Termasuk merenungkan kelalaian kita dalam
beribadah kepada Allah SWT serta keberanian kita dalam menantang murka-Nya
dengan memasuki pintu-pintu maksiat yang dilarang-Nya akan mengingatkan dan
memperdalam kesadaran kita terhadap firman Allah SWT,
وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ
وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (QS. Adz-Dzariyaat [51]: 56).
Dan Allah SWT berfirman,
يَاأَيُّهَا اْلإِنسَانُ
مَاغَرَّكَ بِرَبِّكَ الْكَرِيمِ
“Hai manusia apakah yang memperdayakanmu berbuat
durhaka terhadap Tuhanmu Yang MahaPemurah“. (QS. Al-Infithar [82]:
6).
Mentafakuri
karunia-karunia dan kemurahan-kemurahan-Nya yang telah dilimpahkan kepada
manusia adalah bagian dari tafakkur yang dapat memperkokoh amaliah-amaliah
tafakur kita. Bertafakur atas nikmat-nikmat-Nya, akan menumbuhkan kesadaran
bahwa betapa nikmat tersebut tidak dapat dihitung,[6]
sebagai firman-Nya :
وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَتَ
اللهِ لاَتُحْصُوهَا إِنَّ اْلأِنسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ
“Dan jika
kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah kamu dapat menghitungnya. Sesungguhnya
manusia itu sangat zhalim dan sangat mengingkari nikmat Allah” (QS.
Ibrahim: 34).
Jama’ah
Jumat yang dirahmati Allah SWT
Kesadaran
seperti ini, akan memunculkan dan mempertebal kecintaan kita kepada Allah SWT
sebagai Pemberi nikmat. Dan pada gilirannya akan mempertebal kecintaan kita
terhadap sesama, dengan saling memberi dan mencukupi. Karena sesungguhnya
nikmat itu adalah karunia, lantas mengapa kita harus menumpuk-numpuknya dan
tidak mau berbagi kepada saudara kita.
Bertafakur seperti ini akan menambah rasa takut
kita pada Allah SWT, serta mendorong kita untuk menjauhi kelalaian dan menambah
kesungguhan serta dapat meningkat Iman kita kepada Allah dan Rasulnya. Bertafakkur
juga dapat dengan mudah kita lakukan dalam setiap keadaan, ruang dan tempat
serta waktu. Meski di dalam situasi sibuk sekalipun dalam berbagai aspek
kehidupan dan di setiap gerak-gerik aktifitas, tafakur harus senantiasa
menyertai. Bahkan ketika kita dihadapkan dengan situasi sulit, sangat baik kita
bertafakur sejenak sebelum menentukan keputusan, bukankah Rasulullah Saw
mengajarkan kita untuk melakukan shalat istikharah.
Bertafakur
juga dapat menjadikan diri kita menjadi pribadi yang selalu ingat dan ingin
dekat dengan Allah, dan menjauhkan diri untuk melakukan perbuatan yang dapat
merusak dan menzhalimi diri. Akan menjadikan pribadi-pribadi yang arif dan
bijak, karena aktifitas bertafakkur akan selalu menemukan hikmah yang sangat bernilai
tinggi dibalik pristiwa dan kejadian. Akan menjadikan pribadi-pribadi yang
senantiasa menghiasi jiwa, watak dan tingkah lakunya dengan yang indah-indah
dari tuntunan Allah dan Rasul-Nya Saw.[7]
Jama’ah
Jumat yang dirahmati Allah SWT
Maka Marilah kita
berusaha memberdayakan nikmat akal dan fikir yang telah dikaruniakan Allah SWT
kepada kita, ke arah yang bernilai ibadah, yaitu salah satunya dengan banyak
bertafakur. Semoga hal ini dapat menjadikan diri kita, menjadi pribadi yang
selalu ingat dan ingin dekat dengan Allah SWT, dan dapat menjauhkan diri kita
dari melakukan perbuatan yang dapat merusak dan menzhalimi diri sendiri dan
orang lain. Sehingga kita bisa menemukan hikmah yang sangat bernilai tinggi
dibalik segala peristiwa dan kejadian, baik di dunia maupun di akhirat. Amien
Ya Rabbal Alamien!
وَفِي اْلأَرْضِ ءَايَاتٌ
لِّلْمُوقِنِينَ وَفِي أَنفُسِكُمْ أَفَلاَ تُبْصِرُونَ
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ
بِاْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَلَّ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ
إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ
خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ.
[1]
Ibn Manzur, Lisan Arab, Dar al-Hadits, Dimasq. 1982 Jilid 2 hal. 102.
[2]
Imam Abu Hamid al-Ghazali, menggali Mutiara Ihya Ulumuddin (terjemah
Pustaka Dwipar), Pustaka Dwipar : Jakarta, 470
[3]
Habib Abdillah al-Haddad, Risalat al-Mu’awanah, Dar al-I’tishom: Yaman.
2000.58
[4]
Wahbah al-Zuhayli, Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari’ati wa
al-Manhaj, Dar al-Fikr : Dimasqi, 2003 Juz : 5 hal 564.
[5]
Lihat dalam Ahmad Musthofa al-Maraghi : Tafsir al-Maraghi, Dar al-Ma’arif :
Mesir, 1982, Jiulid 3 hal 120.
[6]
Haron Din, Islam dan Manusia, Jakim : Ma;aysia, 1990, 342.
[7] H
Hasbullah Ahmad, Mewujudkan Ketenangan Jiwa, Gaung Persada Press :
Jakarta, 2011 : 215.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar